|
Tegal, 24 September 2013
No
: 73, Tahun Ketujuh
Penasehat : Ketua Yayasan Metta Jaya ( Loe Lian Phang )
Penanggung Jawab : Ketua
Dayakasabha Metta Vihara Tegal ( Lie
Ing Beng )
Pimpinan Redaksi : Ibu
Tjutisari
Redaksi
Pelaksana : 1. Ibu Pranoto 4. Liliyani
2. Suriya Dhammo 5.
Sumedha Amaravathi
3. Ade Kristanto 6. Lie Thiam Lan
Alamat Redaksi : Metta Vihara
Jl. Udang
No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688 an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
DHAMMAPADA ATTHAKHATA
Bab
II - Syair 30
Dengan menyempurnakan
kewaspadaan Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji dan kelengahan akan selalu
dicela.
BAB II – Syair
30
II. (7) Kisah Magha
Suatu waktu, seorang Pangeran
Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang
disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha
Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat.
Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka
secara langsung. Untuk menyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang
Buddha.
Sang Buddha menjawab,
"Mahali, Aku mengenal Sakka; Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia
menjadi Sakka." Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali bahwa Sakka, raja
para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama
Magha, tinggal di desa Macala.
Pemuda Magha dan tiga puluh dua
temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad
untuk melakukan tujuh kewajiban.
Tujuh kewajiban tersebut adalah:
(1) dia akan merawat kedua orang tuanya;
(2) dia akan menghormati orang yang lebih tua;
(3) dia akan berkata sopan;
(4) dia akan menghindari membicarakan orang lain;
(5) dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang
yang murah hati;
(6) dia akan berkata jujur; dan
(7) dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.
Karena kelakuannya yang baik dan tingkah lakunya yang benar pada
kehidupannya yang lampau Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para
Dewa.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 30 berikut:
Dengan menyempurnakan
kewaspadaan Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji dan kelengahan akan selalu
dicela.
Sumber : 1. Dhammpada Atthakhata. Penerbit : Vidyasena
2.
Kitab suci Dhammapada. Penerbit :
Bahusutta Society
--- oOo ---
SEKAPUR SIRIH
Kewaspadaan
selalu dipuji dan membawa manfaat yang sangat besar bagi diri sendiri dan orang
banyak. Sebaliknya kelengahan selalu dicela dan membawa akibat yang merugikan.
Lengkapnya dapat diikuti dalam Dhammapada Atthakhata Bab II Syair ke 30 “Kisah
Magha”.
Sang
Buddha menguraikan bagaimana menghadapi caci maki dalam cerita inspiratif yang
akan membawa manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Artikel
kali ini YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera menulis “Hidup Selalu Berorganisasi”.
Dalam kehidupan masyarakat, organisasi mutlak sangat diperlukan, dengan
berorganisasi tentu perlu ditunjang komunikasi sehingga pembagian tugas dapat
berjalan dengan baik.
Ajahn
Brahm dalam buku Membuka Pintu Hati memasuki tema Takut Sakit, karena rasa
takut akan menimbulkan rasa sakit menjadi lebih menyakitkan, untuk mengatasinya
dengan cara enyahkan rasa takut.
Segenggam
Daun Bodhi, kumpulan tulisan Bhikkhu Dhammavudho Mahathera menguraikan
kebenaran mulia ke empat jalan. Ada jalan yang disebut jalan mulia berunsur
delapan yang menuntun pada penghentian Dukkha, ini adalah kebenaran mulia
keempat yang dinyatakan oleh Buddha.
Kitab
suci agama Buddha bagian dari Khudaka Nikaya, Sutta Pitaka Dana Arca Buddha apa
perlu ditulis nama? 2. Paritta apa yang dibaca pada saat memberi penghormatan
ke orang meninggal? 3. Apakah karena jiong tidak boleh melayat ke orang meninggal?
YM. Bhikkhu Uttamo memberi jawaban menurut pandangan agama Buddha.
Setitik
Cahaya di Balik Kabut, kenapa hidup ini selalu menderita? Pangeran Sidharta
telah menemukan jawabannya.
Redaksi
sudah berusaha sesuai kemampuan yang dimiliki, namun sadar tidak mungkin bisa
memberi kepuasan kepada pembaca semua, saran dan kritik yang membangun sangat
dibutuhkan untuk menyempurnakan buletin Brivi Metta Vihara. Dukungan moril
maupun materiil akan sangat bermanfaat bagi redaksi agar buletin kesayangan
kita ini dapat terbit dengan lebih baik dan menambah pengetahuan Dhamma.
Anumodana
dan terima kasih kami ucapkan atas perhatian dan dukungan anda.
Semoga
semua makhluk hidup berbahagia.
Metta
Cittena,
Redaksi
--- oOo ---
Cerita Inspiratif
MENGHADAPI CACI MAKI
Brahmana
(pendeta atau keturunan pendeta) Akkosaka, anak buah brahmana Bharadvaja
(lihat artikel berjudul "Mandi Penyudan Diri") mendengar bahwa
pemimpinnya sudah pindah agama dan sekarang menjadi bhikku.
(la
tidak suka pada Buddha, karena Ia merasa bahwa Buddha sudah merusak organisasi
tempat brahmana Akkosaka bernaung). Dengan rasa marah ia mencari
Sang Buddha, setelah ketemu, ia melabrak dan mencaci maki Beliau.
Setelah
ia puas mencaci maki dan melampiaskan kemarahan, kemudian Sang Buddha bertanya
kepadanya : "Brahmana,
apakah anda pernah menerima tamu di rumah anda ?"
"
Pernah." Jawab Brahmana Akkosaka. (Rupanya si brahmana benar-benar
sudah puas mencaci maki, sehingga kemarahannya sudah habis, dan kini ia mau
mendengar dan menjawab pertanyaan dengan baik)
“Apakah
anda menyuguhkan sesuatu untuk tamu anda, makanan atau minuman?"
"
Ya, kadang saya suguhi."
"
Kalau tamu anda menolak suguhanmu, maka barang itu menjadi milik siapa?”
“Tentu
kembali menjadi milik saya."
"
Demikian pula yang terjadi sekarang brahmana. Caci maki yang anda tujukan pada
saya yang sama sekali tidak mencaci, tidak saya terima. Maka semua ucapan itu
kembali padamu brahmana. Seseorang yang membalas makian ketika ia dimaki,
adalah bagaikan tuan rumah dan tamunya yang sedang makan bersama dan saling
menjamu.n
SAMYUTTA
NIKAYA I/161
MENGHADAPI CACI MAKI (2)
Sama
seperti Brahmana Akkosaka, anak buah Bharadvaja yang lain, yang bernama
Asurinda, juga tidak suka pada Buddha. Alasannya sama. Kemudian ia mencari Sang
Buddha, setelah ketemu lantas dicaci maki.
Sang
Buddha membiarkan saja Asurinda berbicara sesuka hatinya sampai puas, dan
Beliau sama sekali tidak membalas. (Asurinda berpikir bahwa diamnya Sang
Buddha berarti bahwa Beliau takut dan kalah). Kemudian ia berkata : w
Petapa (maksudnya Buddha), anda sudah kalah, Ahhh. Saya puas!"
(Setelah
mengetahui bahwa kemarahan Asurinda sudah mereda karena sudah dilampiaskan
habis-habisan, dan kini ia sudah mulai mau mendengar akal sehatnya
sudah mulai bekerja), barulah Sang Buddha menjawab :
Orang
bodoh mengira bahwa ia telah memenangkan suatu pertarungan.
Ketika
ia berhasil lebih banyak memaki.
Padahal
ia yang lebih bisa mengendalikan diri
Dialah
yang menang.
Adalah
lebih jelek membalas makian
Dibandingkan
memaki lebih dulu (tentu Buddha juga mengatakan bahwa memaki lebih dulu juga jelek)
Orang yang tidak membalas makian (walaupun
sebenarnya bisa) Telah memenangkan suatu pertarungan yang berat
Mengetahui
kalau orang lain sedang marah
Seseorang
yang bisa tetap mengendalikan diri
Telah
bertindak benar demi kebaikannya sendiri
dan juga
demi kebaikan orang lain (lawannya)
Ia
adalah pelindung bagi dirinya sendiri
dan juga
menjadi pelindung bagi orang lain
Ia hanya
akan dianggap lemah
oleh
mereka yang tidak menyadari kebenaran."
SAMYUTTA
NIKAYA I/163
BERSUKUR
“Berderma yang sesungguhnya , bersifat tanpa pamrih serta harus
disertai dengan rasa syukur “ ( Master Cheng Yen )
Setiap
orang pasti tahu sudah berapa lama mereka hidup didunia . Tentunya paling mudah
dengan mengetahuina dari tanggal lahir mereka bukan ?
Pertanyaannya adalah sudah berapa kali mereka mengalami
rasa bahagia , perasaan menderita ? sudah berapa kali mereka menerima , sudah
berapa kali mereka melepaskan ?
Yang paling mudah menjawabna adalah tidak terhitung ,
karena hamper setiap saat perasaan kita berubah , kadang sedih kadang bahagia .
Yang sering terjadi adalah akan berbahagia jika kita
menerima sesuatu yang kita inginkan . Namun bagi yang
sudah mulai mengerti , bahwa dengan melepas kita berbahagia . Karena itu kita
mulai belajar untuk melepaskan rasa , melepaskan kemelekatan atas apa yang kita
miliki .
Namun beberapa hari ang lalu
saya sempat tersentak tiba tiba terlintas bahwa
:
“
Kebahagiaan yang sesungguhnya bukan saat kita menerima ataupun saat kita
melepas , namun saat dimana kita mampu bersyukur “
Rasa syukur , terkadang hal ini
dianggap sangat sepele . Saat kita mendapatkan sesuatu yang baik , kita terlalu
terlena akan kegembiraan , kita lupa bersyukur . Sampai tibalah saatnya bahwa
segala sesuatu itu tidak kekal begitu pula dengan yang kita miliki akan lenyap
, maka kita akan bersedih . Kita menderita atas apa yang kita miliki telah pergi , kita mulai kembali larut dalam
kesedihan . Dengan Sesutu yang kita
miliki telah pergi meninggalkan kita , hendakna kita sadar untuk tidak lagi
terpuruk dalam kesedihan , sebaliknya kita bersyukur . kita kembali diingatkan
bahwa apapun yang kita miliki tidak kekal adanya , dengan kehilangan itu kita
bersyukur tidak lagi melekat seperti pada
saat kita memilikinya.
Begitu pula dengan saat kita
melepas , yang paling mudah kita pahami adalah saat kita melepaskan apa yang
kita miliki misalnya kita memberikan dana atau melepas makhluk hidup kita
biasanya merasakan kegembiraan yang penuh suka cita . Namun terkadang hal
demikian jika tanpa adana rasa syukur , yang akan muncul adanya keakuan disana,
di mana kita merasa “ berbangga diri “ karena telah menolong mereka yang
kesusahan .
Mengapa rasa syukur itu begitu
penting ? krena dengan rasa syukur itu kita belajar untuk melepas keakuan ,
dengan bersyukur bahwa kita diberikan kesempatan untuk berbuat baik . Artinya
bahwa kita merekalah ladang untuk kita berbuat baik, kita menanam benih benih
di sana . Jika tidak ada lading berbuat baik dimanakah kita akan menanam benih
benih itu ?
Jadi apapun atau siapapun yang
kita tolong atau bantu , yang membuat kita bias berbuat baik . Maka bersyukur
dan berterima kasihlah kepada mereka, kareana merekalah kita dapat menanam
benih , karena mereka adalah lading untuk menanam benih kebajikan yang kita
buat .
Naga kecil Dhammacakka. Juli 2011
Artikel
HIDUP SELALU
BERORGANISASI
Oleh :
YM Bhikkhu Uttamo Mahathera
Di dalam
kehidupan sehari-hari, kita tentu sering mendengar kata "organisasi".
Istilah "organisasi" itu sendiri berasal dari dua suku
kata. Yaitu, "organ" yang berarti bagian dari tubuh dan "sasi"
yang berarti tindakan untuk membagi-bagi sesuai dengan kapasitas
masing-masing.
Di dalam
suatu masyarakat, organisasi itu mutlak diperlukan. Suatu organisasi adalah
milik kehidupan. Jangankan kita manusia yang sudah berbudaya, binatang pun
sebetulnya mempunyai organisasi. Misalnya: ada se-kelompok gajah maka gajah
yang paling hebatlah yang akan menjadi pemimpinnya. Dialah yang akan mengatur
gajah-gajah yang lain. Itu adalah suatu organisasi.
Kemudian, di dalam kehidupan manusia sehari-hari, misalnya dalam
sebuah rumah tangga, itu pun mempunyai organisasi, yang tentu saja di sini
harus ditunjang oleh komunikasi. Contohnya kalau suatu hari akan datang tamu
dari luar kota yang akan menginap di rumah kita, tentu ibu kita (yang dulunya
meskipun tidak sempat sekolah) akan mengaturnya, misalnya pembantu A disuruh ke
pasar untuk membeli makanan dan minuman, sedangkan pembantu B disuruh
menyiapkan kamar dan tempat tidur.
Ini
sudah merupakan suatu organisasi yaitu pembagian tugas. Tidak mungkin misalnya
pembantu B yang bisu yang disuruh ke pasar tetapi pembantu A yang bisa menawar
harga dengan baiklah yang akan disuruh ke pasar. Ini sebetulnya adalah
organisasi. Dengan demikian setiap masyarakat, baik masyarakat manusia maupun
masyarakat binatang mempunyai organisasi.
Suatu
vihara juga merupakan suatu organisasi, merupakan suatu masyarakat yang
mempunyai tujuan dan cita-cita tertentu. Untuk mengatur jalannya organisasi ini
maka dipilihlah seorang ketua beserta seksi-seksinya. Dalam lingkup yang lebih
luas, ketua dan seksi-seksi tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan kebutuhan.
Di dalam suatu organisasi, seorang ketua sebetulnya berfungsi sebagai
perancang. Seorang ketua hams bisa mencetuskan ide-idenya untuk memajukan
organisasinya dan bekerjasama dengan seksi-seksi lainnya.
Sebagai umat
Buddha, kita harus berpikir realistis! Kunci hidup di dalam agama Buddha adalah
"Hidup adalah saat ini!" Tadi pagi (misalnya pukul 10:00),
kita memang pernah hidup tetapi kita sudah tidak hidup pada pukul 10:00 tadi
pagi. Begitu juga nanti sore, kita akan hidup tetapi belum hidup. Yang hidup
adalah saat ini, bukan satu menit yang lalu dan bukan satu menit yang akan
datang. Yang penting adalah saat ini, saat inilah kita berjuang. semaksimal
mungkin! Saya teringat ketika Bhante Pannavaro mengatakan sebuah pepatah bahwa :
"Di dalam kehidupan kita tidak perlu menginginkan jabatan,
kita tidak perlu menginginkan pangkat... Tetapi kalau kita sudah diberi
jabatan, sudah diberi tanggung-jawab maka kita harus mengerjakannya dengan
semaksimal mungkin. Tidak ada lagi kata "mundur"! pokoknya harus selesai!"
Kalau
kita melihat pada ajaran Sang Buddha, kita akan menemukan bahwa Sang Buddha
membagi generasi penerus itu dalam tiga hal, yaitu:
* generasi
penerus (anak) yang mempunyai hasil yang sama dengan generasi sebelumnya (orang
tua). Misalnya serah-terima antara pengurus vihara yang terdahulu kepada
pengurus yang baru. Kepengurusan yang baru menerimanya misalnya dalam kondisi
seperti "ini", karpetnya "ini", Buddha rupam-nya juga
"ini". Setahun kemudian, pengurus yang "ini" menyerahkan
lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam keadaan seperti "ini",
tidak ada perubahan dan tidak berusaha untuk memperbaiki atau mengembangkan
yang sudah ada. Ini adalah generasi penerus yang sama dengan generasi
sebelumnya. Tipe generasi penerus seperti ini tidak disarankan oleh Sang
Buddha.
* generasi
penerus (anak) yang lebih jelek daripada generasi sebelumnya (orang tuanya). Misalnya
dalam periode ke-pengurusan yang sebelumnya, bekas-bekas lem cuma menempel di
pintu saja. Setahun kemudian dalam periode kepengurusan yang baru, bekas-bekas
lem ternyata sudah ada di semua tembok dan bekas-bekas lilin juga menempel di sana-sini,
Setahun kemudian diserahkan lagi kepada pengurus yang berikutnya juga dalam
keadaan yang demikian. Jadi dapatnya bagus, diserahkannya lebih jelek! Ini juga
tidak disarankan oleh Sang Buddha.
*
generasi penerus (anak) yang lebih balk daripada generasi yang sebelumnya (orang
tuanya). Misalnya: kalau dulu vihara hanya mempunyai sebuah kipas angin
maka dalam kepengurusan yang baru sudah diganti dengan AC Split.
Kegiatan-kegiatan vihara yang mengarah kepada kemajuan juga terus ditingkatkan,
seperti: latihan membaca Dhammapada, yang dulunya hanya dilakukan kalau mau
perlombaan dan Waisak saja, sekarang menjadi 2x seminggu, supaya dapat
menghasilkan umat Buddha yang bermutu. Jadi harus ada kreativitas!
Setiap
pergantian pengurus, pengurus yang baru hendaknya bisa menentukan targetnya:
apakah mau meneruskan, membangun, merusak atau bagaimana? Apalagi kita sudah
mendapat so-rotan dari luar negeri. Berdasarkan pengamatan beberapa bhikkhu
asing yang datang dan meninjau vihara-vihara yang ada di Indonesia, mereka
menyimpulkan bahwa Indonesia itu mempunyai vihara yang cukup baik, mempunyai
generasi muda yang cukup banyak dan pembinaan bhikkhu yang baik, tetapi
sayangnya, belum dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Vihara hanya dijadikan
sebagai pusat pertemuan dan hura-hura, tidak ada minat untuk mendalami dan
mempraktekkan Dhamma. Bahkan kita mempunyai kebiasaan kalau sedang banyak
problem, baru pergi ke vihara. Jadi umat Buddha di Indonesia ini datang ke
vihara hanya untuk hiburan. Padahal ini adalah suatu anggapan atau kebiasaan
yang salah.
Berbeda
halnya kalau kita melihat di negara-negara Buddhis misalnya Thailand. Pada hari
Sabtu atau libur, para generasi muda di sana mempunyai kebiasaan untuk datang
ke vihara. Dengan pakaian putih-putih, mereka ikut membantu membersihkan
vihara, menjalankan athasila, berdiskusi Dhamma dan bermeditasi.
Mereka
tidak mempunyai anggapan bahwa hari Sabtu dan libur itu adalah hari untuk
jalan-jalan, nonton atau hura-hura. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan
di benak kita: "Kalau semua generasi muda Buddhis begitu, apakah nanti
tidak berat jodoh ?"
Dari
beberapa pengalaman, ternyata mereka yang sering datang ke vihara dan
menjalankan athasila itu justru cepat mendapat jodoh. Mengapa demikian? Karena
mereka saling bertemu dan berkenalan. Bersama-sama mereka melatih meditasi dan
mendengarkan Dhamma, sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain. Jadi mereka
berpacaran di vihara dengan gaya vihara, tidak lirik-lirikan dan sebagainya.
Bahkan mereka mengalami kemajuan batin yang pesat, disamping mendapatkan
pasangan hidup.
Dengan
demikian jelaslah sudah bahwa vihara bukan sekedar tempat pemujaan begitu saja!
Vihara adalah tempat belajar Dhamma. Kalau vihara itu memang tidak ada
pelajaran Dhamma, ramainya memang kalau sedang banyak problem/masalah saja.
Ternyata vihara adalah tempat pemberian Dhamma dan Dhamma itu diperlukan baik
dalam keadaan susah maupun senang.
Oleh
karena itu, kalau kita bisa mengajak teman-teman kita untuk datang ke vihara,
sebetulnya kita telah mempunyai jasa yang besar yaitu memperkenalkan kebenaran
kepada mereka yang belum kenal. Terutama bagi mereka yang telah ditunjuk
sebagai pengurus suatu vihara.
Kalau
kita ditunjuk sebagai pengurus atau ditunjuk untuk menjabat satu jabatan
tertentu, sebetulnya kita harus berterima-kasih. Mengapa demikian? Karena kita
diberi kesempatan untuk berbuat baik. Dengan kita menjadi pengurus walaupun
nanti menyerahkannya kepada pengurus yang berikutnya sama dengan yang kita
terima sebelumnya, itupun sudah termasuk berbuat baik yaitu 'melestarikan
agama Buddha'.
Contohnya
kalau Saudara menyelenggarakan kebaktian dan mengundang penceramah, ini sebetulnya
adalah berdana Dhamma. Bila ada 5 orang yang mengikuti kebaktian, Saudara sudah
berdana Dhamma kepada 5 orang. Apalagi kalau ceramah tersebut dikasetkan dan
dijual kemana-mana.
Telah dikatakan oleh Sang Buddha bahwa "sabba Danam,
Dhamma Danam Jinati" ; dari seluruh dana, dana Dhammalah yang paling
tinggi. Mungkin ada sebagian orang yang tidak bisa ceramah ataupun menjadi
bhikkhu, tetapi dengan Saudara menjadi pengurus yang baik, itu pun sudah
termasuk dana Dhamma. Dengan demikian, di dalam agama Buddha segala sesuatunya
bisa menjadi konsep untuk mengenalkan Dhamma kepada orang lain, baik melalui
seksi bursa (misalnya: ceramah-ceramah yang baik dikasetkan dan dijual), melalui
seksi puja bhakti, dll.
Tentu
hal ini akan menimbulkan pertanyaan: "Apakah hal tersebut tidak
bertentangan dengan dhamma?" Tidak! Karena kita tidak menarik mereka
untuk menjadi umat Buddha. Kita tidak bertujuan untuk mengisi KTP orang lain
dengan agama Buddha tetapi kita menarik mereka untuk mengenal Dhamma/kebenaran.
Umpamanya
kalau Saya mengatakan bahwa benda ini adalah "meja", semua agama akan
mengakui bahwa ini adalah "meja" dan bukan "roti" misalnya.
Karena kebenaran itu adalah milik semua orang!
Jadi
kita mengajak mereka datang ke vihara itu berarti kita mengajak mereka untuk
mengerti Dhamma, kebenaran yang tidak dapat ditolak oleh semua orang.
Kebenaran
apakah yang tidak bisa ditolak oleh semua orang? Kebenaran yang tidak bisa
ditolak oleh semua orang adalah "Empat Kesunyataan. Mulia" bahwa
"Hidup adalah dukkha, berkumpul dengan yang dibenci dan berpisah dengan
yang dicinta adalah dukkha!" Karena itulah "Empat Kesunyataan
Mulia" ini menjadi kurikulum dasar Sang Buddha di dalam mengajarkan
Dhamma.
Empat Kesunyataan Mulia ini diajarkan pertama kali oleh Sang
Buddha ketika Beliau membabarkan Dhammacakkappavattana Sutta. Selama 45 tahun
Sang Buddha mengajar, pada hakekatnya semua mengenai Empat Kesunyataan Mulia.
Bahkan hal ini berlangsung sampai sekian tahun pengembangan agama Buddha yang
akan datang. Tidak ada yang lain selain Empat Kesunyataan Mulia.
Kalau
Saudara mau memperkenalkan agama Buddha kepada prang lain, kenalkanlah dari
Empat Kesunyataan Mulia! Karena kalau Saudara mengenalkannya dari sudut tradisi
seperti patung, lilin dan dupa; mereka pasti akan menolak. Tetapi kalau dari
Empat Kesunyataan Mulia, tidak ada yang bisa menentangnya.
Umpamanya
duduk di lantai, kita merasa kesemutan. Ini berarti kita berkumpul dengan yang
dibenci yaitu kesemutan, dan berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa enak duduk
di lantai. Ini adalah milik semua orang, bukan milik agama tertentu saja.
Hukum
Kesunyataan inilah yang kita berikan kepada mereka, karena mereka pun pasti
mengalaminya! Tidak mungkin ada makhluk yang tidak pernah mengalami dukkha. Dan
Sang Buddha sendiri telah menjelaskan sebab-sebab dukkha dan cara mengatasi
dukkha sehingga hidup bisa menjadi lebih bahagia.
Selain
mempertahankan umat, kepengurusan suatu vihara perlu mempunyai program untuk
memperbanyak umat Buddha, yaitu dengan mengenalkan Dhamma kepada mereka yang
belum kenal. Adapun hal-hal yang perlu untuk kita perhatikan di sini adalah:
* Teknik
Promosi
Promosi
ini penting sekali!! Hendaknya kita mulai memikirkan bagaimana caranya kita
mempromosikan ajaran Sang Buddha ini kepada masyarakat. Teknik promosi ini ada
bermacam-macam, misalnya dengan koran yang merupakan media massa. Umpamanya
pada hari Waisak kita membuat artikel mengenai makna Waisak dan kita muat di beberapa
media massa sehingga masyarakat bisa mengenai agama Buddha. Itu adalah promosi.
Untuk bisa berhasil maka promosinya harus kuat.
* Produk
Jasa
Vihara
harus menjadi tempat yang bisa menghasilkan produk jasa, misalnya: untuk
latihan baca paritta /Dhammapada, diskusi Dhamma, meditasi, belajar bahasa
Inggris, badminton, dsb. Atau ikut melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti;
ikut berpartisipasi mengaspal jalan, sehingga lingkungan merasa bahwa umat
Buddha juga ada manfaatnya.
*
Perhatian
Perhatian
harus diberikan bukan hanya untuk umat yang ada saja tetapi juga kepada umat
yang belum pernah datang maupun yang sudah pernah datang tetapi tidak datang
lagi. Mereka yang belum datang / tidak datang lagi, kita ajak untuk datang ke
vihara. Mereka yang sudah datang ke vihara juga kita rawat dan kita berikan
perhatian. Misalnya : dengan mengadakan acara keakraban, kemping Dhamma, dsb.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah jangan sampai terjadi
pengelompokkan-pengelompokkan sehingga mereka yang baru datang juga mempunyai
teman. Jangan sampai mereka merasa tidak nyaman atau tidak dipedulikan, karena
ini bisa menimbulkan kesan yang tidak baik dan di masa yang akan datang mereka
tidak mau datang lagi.
Di sinilah
letak peranan dan fungsi Dhammaduta. Dhammaduta bukan ditujukan untuk
umat di lingkungan vihara saja tetapi lebih luas lagi, misalnya di tempat kost,
tetangga, dll. Mereka itulah yang menjadi obyek ke-dhammaduta-an kita! Minimal
mereka bisa mengerti Dhamma tanpa menjadi umat Buddha. Oleh karena itu, tugas seorang
pengurus sebetulnya adalah melakukan Dana Dhamma. Kalau setiap pengurus dapat
menjalankan fungsinya masing-masing dengan sebaik-baiknya, sebetulnya pengurus
tersebut sudah melakukan Dana Dhamma.
Kalau
kita perhatikan riwayat hidup Sang Buddha, sebetulnya ajaran Sang Buddha adalah
ajaran yang aktif. Ketika Sang Buddha menyuruh 60 orang Arahat untuk pergi
mengajarkan Dhamma, Sang Buddha mengatakan :
"... Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan
keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama..."
Ini
berarti kalau pada masa itu terdapat 60 orang Arahat maka juga terdapat 60
tempat. Karena kalau bergabung, itu tidak efisien. Padahal Sang Buddha itu
sangat efisien. Bahkan senyum-Nya pun efisien.
Kalau
kita mau mengenalkan Dhamma kepada orang lain, itu pun perlu efisien! Supaya
efisien, tidak buang-buang waktu; setiap pengurus harus produktif sesuai dengan
tanggung-jawabnya. Masing-masing harus menjadi Dhammaduta. Orang yang terdekat
dengan kita adalah orang yang menjadi sasaran kita untuk mengenalkan Dhamma.
Selama
perjalanan hidup Sang Buddha, Beliau tidak pernah pasif atau hanya menunggu
saja. Setiap pagi Beliau mencari dan melihat melalui mata batin-Nya siapa yang
hari itu dapat mencapai kesucian. Itu berarti Beliau mengajarkan kita untuk
aktif! Kalau kita yang mengaku sebagai muridnya Sang Buddha tidak aktif, maka
sebetulnya kita belum menjadi umat Buddha yang sesungguhnya, karena masih menyimpang dari ajaran Sang
Buddha.
Begitu
juga ketika Sang Buddha telah mencapai kesucian / Nibbana. Beliau berjalan dari
Bodhgaya menuju Benares untuk mengajarkan Dhamma kepada 5 orang pertapa yang
akan menjadi muridnya. Ketika Sang Buddha selesai ceramah, hanya 1 orang saja
yang mencapai kesucian yaitu Bhante Anna Kondanna. Tetapi Sang Buddha tidak
putus asa atau membiarkan saja hal tersebut. Beliau kemudian ceramah lagi
sehingga Bhante Vappa dan Bhaddiya mencapai kesucian. Kemudian Beliau ceramah
lagi sehingga Bhante Mahanama dan Assaji juga mencapai kesucian. Akhirnya
kelima pertapa itu semuanya dapat mencapai kesucian. Itu adalah sistem Sang
Buddha; dan sebagai murid-murid Sang Buddha, teladan Beliau harus kita ikuti!
Cobalah Saudara mulai merenungkan: "Berapa biji soya mau
menanam jagung supaya saya bisa panen
banyak?" Kalau Saudara menanamnya cuma satu : pada diri Saudara sendiri; panen
jagungnya juga cuma satu.
Tetapi
kalau Saudara menanamnya banyak: tidak hanya pada diri Saudara sendiri, tetapi
juga pada orang tua, pada tetangga, dll.; tanaman jagung Saudara juga banyak,
sehingga bila musim kelaparan tiba, Saudara tidak perlu khawatir. Inilah "Sabba Danam, Dhamma Danam Jinati"; dari
seluruh dana, dana Dhamma-lah yang paling tinggi. Karena kehidupan itu tidak
pasti, kematian itu pasti... tidak ada lagi kesempatan untuk menunda menanam kebajikan!
Kita
jangan hanya menunggu! Ingatlah bahwa waktu itu sangat pendek. Hidup adalah SAAT
INI, bukan yang telah lampau dan bukan pula yang akan datang. Karena itu, "Saat
ini" harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kalau
Saudara ditunjuk sebagai pengurus, janganlah Saudara berpikir: "Kenapa
harus saya?" tetapi justru Saudara harus berpikir sebaliknya :
"Untung
saya yang diberi kepercayaan... Untung saya yang diberi kesempatan untuk
berbuat baik!"
Jadilah pengurus yang lebih baik daripada pengurus yang sebelumnya!
Ciptakanlah suatu kondisi supaya Dhamma menjadi kebutuhan pokok bagi seluruh
umat Buddha. Jangan sampai mereka mempunyai konsep bahwa datang ke vihara itu
kalau sedang kesusahan saja. Karena sebetulnya setiap segi kehidupan itu adalah
Dhamma!
Sumber : Lentera, edisi Waisak 2557
Rasa Takut dan Rasa Sakit
RASA TAKUT DAN RASA SAKIT
|
Takut
Sakit
Rasa
takut adalah unsur utama rasa sakit. Rasa takut membuat rasa sakit tambah
menyakitkan. Enyahkan rasa takut, maka perasaan sajalah yang tertinggal. Pada
pertengahan tahun 70-an, di sebuah vihara hutan kecil yang terpencil di bagian
timur laut Thailand, saya mengalami sakit gigi yang parah. Tidak ada dokter
gigi, tidak ada telepon, dan tidak ada listrik. Kami bahkan tidak punya aspirin
atau parasetamol di kotak obat. Bhikkhu hutan memang diharapkan dapat bertahan
dalam keadaan seperti itu.
Petang harinya, seperti penyakit pada umumnya, sakit gigi saya
menjadi makin parah saja. Saya merasa diri saya adalah seorang bhikkhu yang
lumayan kuat, tetapi sakit gigi itu sedang menguji kekuatan saya. Satu sisi
dari mulut saya terasa penuh dengan rasa sakit. Itu adalah sakit gigi terhebat
yang pernah saya alami, atau barangkali yang pernah ada. Saya mencoba lari dari
rasa sakit dengan melakukan meditasi pernapasan. Saya pernah belajar memusatkan
pikiran pada napas sewaktu digigit nyamuk; kadang-kadang dengan berhitung
sampai empat puluh pada saat yang sama, dan saya bisa mengatasinya. Namun rasa
sakit ini benar-benar keterlaluan. Saya mengisi pikiran saya dengan sentuhan
napas selama dua atau tiga detik, lalu rasa sakit itu kembali mendobrak pintu
pikiran yang telah saya tutup dan meledak dengan kekuatan yang dahsyat.
Saya
berdiri, keluar dan mencoba meditasi jalan. Tak lama kemudian saya menyerah
lagi. Bukannya meditasi "dengan berjalan", tetapi saya meditasi
"dengan berlari". Saya tidak dapat berjalan perlahan. Rasa sakit
menguasai saya; membuat saya berlarian. Tapi mau kabur ke mana? Serasa dalam
siksaan. Saya jadi gila.
Saya masuk
kembali ke pondok, duduk, dan mulai menguncarkan paritta yang dikatakan
mempunyai kekuatan gaib. Paritta bisa membawa keberuntungan, menjauhkan
binatang buas, dan menyembuhkan penyakit dan rasa sakit, begitulah kata orang.
Saya tidak percaya. Saya adalah mantan ilmuwan. Paritta sakti adalah semacam
bim salabim, hanya untuk orang-orang yang lugu. Tapi sekarang saya mencoba
membaca paritta, siapa tahu itu akan berhasil. Saya putus asa, Tak lama
kemudian, saya berhenti membaca. Saya meneriakkan kata-kata parittanya karena
saking sakitnya! Malam telah larut dan saya takut bhikkhu-bhikkhu yang lain
terbangun. Teriakan saya bisa jadi telah membangunkan seluruh penduduk desa
yang berkilo-kilo meter jauhnya! Kekuatan rasa sakit membuat saya tidak bisa
menguncarkan paritta dengan normal.
Sendirian, ribuan mil dari negara asal saya, di hutan terpencil
tanpa fasilitas apa pun, dalam rasa sakit yang tak tertahankan dan tiada henti.
Saya sudah mencoba semua yang saya ketahui, semuanya. Tak tahu harus bagaimana
lagi. Seperti itulah.
Sebuah
momen keputusasaan kadang bisa membuka pintu kebijaksanaan, pintu yang tak
terlihat dalam keadaan biasa. Pintu itu terbuka dan saya masuki. Sejujurnya,
saya memang tidak punya pilihan.
Saya
teringat dua kata singkat ini: "let go" (lepaskan). Saya sudah
mendengar kata-kata ini berkali-kali. Saya sudah menjelaskan maknanya kepada
teman-teman saya. Saya pikir saya tahu apa artinya itu, ya begitulah gelap
batin itu. Saya bersedia mencoba apa saja, jadi saya mencoba melepas, seratus
persen lepas. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar melepas.
Apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Rasa sakit yang luar
biasa tadi dengan cepat lenyap, digantikan oleh perasaan yang sangat
menyenangkan. Gelombang demi gelombang kenikmatan menggetarkan seluruh tubuh.
Pikiran saya berdiam pada satu kedamaian yang dalam, begitu hening, begitu
menyenangkan. Saya bermeditasi dengan mudah, tanpa kesulitan. Setelah
bermeditasi, pada dini hari, saya berbaring untuk beristirahat. Saya tidur
dengan nyenyak dan damai. Sewaktu terbangun, saya menyadari ada sakit gigi,
tapi rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang semalam.
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN
TULISAN
BHIKKHU
DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
Message
of The Buddha
PESAN BUDDHA
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Samma Sambuddhassa
9. KEBENARAN MULIA YANG KEEMPAT
: JALAN
“Ada
jalan yang disebut Jalan Mulia Berunsur
Delapan yang menuntun para penghentian dukkha.” Ini adalah Kebenaran Mulia
keempat yang dinyatakan oleh Buddha.
Jalan Mulia Berunsur
Delapan
(i) Pandangan Benar
Pandangan benar adalah pemahaman tentang Empat Kebenaran Mulia. Ia
meliputi dimilikinya pandangan benar atau pemahaman tentang hukum kamma vipaka.
Pandangan benar adalah faktor
yang paling penting dan merupakan kondisi untuk masuk ke dalam Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Pandangan benar diperoleh dengan mendengarkan Dhamma dan
memiliki perhatian / pengamatan yang teliti dan seksama. Seseorang
dengan pandangan benar sudah merupakan seorang Ariya.
Demikian kita
temukan di dalam Sutta (khotbah) dan Vinaya (peraturan
kebhifcfchuan) bahwa setiap orang yang memperoleh visi. Dhamma atau Jalan yang
pertama (magga) adalah dengan mendengarkan Dhamma. Demikianlah
pentingnya mendengarkan khotbah Buddha, dan ini alasannya siswa Buddha di
sebut pendengar (savaka).
Visi Dhamma berarti bahwa seseorang memiliki pemahaman dasar tentang
Empat Kebenaran Mulia dan menyadari bahwa "Segala subjek dari
bentukan/kelahiran adalah subjek daripada penghentian/kematian." Orang
yang demikian telah memahami Dhamma (secara mendasar), melampaui
keraguan dan telah menjadi tidak bergantungan terhadap yang lain dalam ajaran Buddha.
Dia melihat ketidakkekalan dalam segala sesuatu di dunia dan keberadaan
tersebut adalah dukkha.
Kamma vipaka.
Aspek lain dan pandangan benar adalah memahami Kamma
vipaka. Segala tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan melalui tubuh,
ucapan dan pikiran adalah kamma. Dengan demikian semua kemauan/kehendak
bajik dan tak bajik adalah kamma. "Saya nyatakan, para bhikkhu, bahwa
kemauan (atau kehendak) adalah kamma. Dengan kehendak seseorang bertindak
dengan jasmani, ucapan dan pikiran."
Demikianlah keheridak adalah kondisi yang paling dibutuhkan
untuk menghasilkan kamma. Hukum kamma vipaka menyatakan bahwa segala ... tindakan yang
disertai kehendak, memiliki akibat yang menyertainya (vipaka).
"Pikiran adalah pelopor dari segala kondisi (yang
jahat). Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang
berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka oleh karenanya, penderitaan
akan mengikutinya, bagaikan roda pedati yang mengikuti langkah kaki lembu yang
menariknya.”
"Pikiran
adalah pelopor dari segala kondisi (yang bajik). Pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran
murni, maka oleh karenanya, kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan
bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya."
Buddha berkata bahwa hal-hal yang diinginkan di dunia tetapi yang
sulit untuk diperoleh, tidak dapat dicapai dengan sumpah-sumpah, doa-doa,
dengan memikirkannya, jika tidak, mengapa makhluk hidup menderita disini?39
Apa yang kita cari di dunia ini diperoleh dengan usaha, menciptakan kondisi
sebab-akibat (kamma) yang tepat. Semuanya ada di tangan kita. Jika kita
menginginkan umur panjang, kita seharusnya tidak membunuh, untuk kesehatan,
kita seharusnya tidak menyakiti yang lain; untuk kekayaan, kita seharusnya
melatih kemurahan hati; untuk pengaruh dan kekuasaan, kita seharusnya tidak iri
hati atas keberhasilan. orang lain; untuk kebijaksanaan, kita seharusnya secara
rutin mendekati mereka yang banyak belajar dan yang bajik untuk mendapatkan
nasehat; menghindari minuman keras dan melatih meditasi; untuk kecantikan, kita
seharusnya bersikap ramah tamah, tidak mudah marah dan berniat jahat. Dengan
kondisi kamma yang tepat, kita akan memetik buahnya pada waktu yang
tepat.
Bagaimanapun, apa yang kita petik sekarang adalah sangat
banyak berhubungan dengan kamma masa lampau kita. Tidak .ada yang dapat
kita lakukan kecuali memperbaiki pengaruh yang tidak menyenangkan ini dengan
melakukan banyak kamma baik sekarang dan bekerja keras. Kita seharusnya
tidak berdoa kepada "sesuatu makhluk adi kuasa" untuk bantuan
karena tidak ada seorangpun dapat menolong kita, bahkan Buddha sendiri,
seperti yang dinyatakan dengan sederhana "Kamulah yang harus berusaha;
Sang Tathagata hanya sebagai guru..." Jika ada makhluk adi kuasa yang
bisa membantu kita, itu berarti dia dapat mengesampingkan jalannya kamma, yang
mana merupakan hal tidak mungkin sesuai dengan ajaran Buddha. Buddha yang
Tercerahkan dengan Sempurna, lengkap dengan semua kekuatan supranormal, tidak
pergi menyembuhkan penyakit orang-orang, atau menghidupkan kembali seseorang
dari kematian dan Beliau juga melarang para siswa-Nya melakukan hal tersebut.
Ini karena pemahaman-Nya yang sempurna akan Kamma vipaka.
Buddha selalu membabarkan pesan kemendesakan, bahwa kehidupan ini
pendek dan kita berada di alam keberadaan yang kritis. Alam-alam surga berada
di atas kita tetapi dibawah kita pintu ke alam kelahiran kembali yang
menyedihkan terbuka lebar. Kehidupan ini tidak memiliki tempat berlindung dan
tiadanya perlindungan, kita hanya tergantung pada kamma kita. Dan karena
pesan Buddha sangat mendesak, bahkan pangeran-pangeran, orang terhormat
dan pedagang kaya, melepaskan hidup mereka yang mewah dan memasuki hidup tanpa
rumah dan sebagai peminta sedekah yang miskin. Mereka memahami Pesan Buddha dan
berkeinginan untuk melatih Jalan Mulia untuk mengakhiri dukkha.
(ii) Pikiran
Benar
Pikiran Benar membantu mengembangkan keadaan
mental yang baik dan terdapat tiga komponen:
Pikiran cinta
kasih dan bermanfaat terhadap semua makhluk.
Pikiran yang
bebas dari menyakiti dan welas asih kepada semua
makhluk.
Pikiran untuk
melepaskan kesenangan duniawi karena mereka
membawa pada
penderitaan dan kesedihan.
Pikiran benar seharusnya juga dikembangkan untuk mencegah
munculnya pikiran salah, yakni pikiran niat jahat, pikiran menyakiti dan tamak,
yang sering muncul. Pandangan Behar dan Pikiran Benar mulai meniadakan ketamakan,
kebencian dan kebodohan tiga akar kejahatan. Untuk .mengendalikan akar-akar
kejahatan ini kita perlu secara rutin mengamati pikiran kita untuk mengetahui
tujuan sebenarnya dibalik ucapan dan perbuatan kita.
(iii) Ucapan
Benar
Ucapan benar
adalah menghindari empat jenis ucapan yang tidak benar :
Menghindari
kebohongan - ini membantu mengembangkan kejujuran / keterbukaan yang
diperlukan untuk menghapus keinginan yang egois.
Menghindari ucapan dengki yang menyebabkan
ketidakharmonisan antara sesama.
Menghindari
ucapan kasar - selalu berbicara yang lembut.
Menghindari
omong kosong - berbicara yang berguna dan yang
bermanfaat.
Buddha berkata bahwa kata-kata
yang diucapkan dengan benar adalah kata-kata yang tepat waktu, benar,
bermanfaat, lembut dan dengan pikiran penuh cinta kasih.
(iv) Perbuatan Benar
Perbuatan Benar adalah menghindari tiga jenis
perbuatan jasmani yang Salah.
Menghindari
pembunuhan.
Menghindari
pengambilan sesuatu yang tidak diberikan.
Menghindari
perbuatan asusila.
(v)
Penghidupan Benar
Penghidupan Benar adalah penghidupan yang tidak
jahat. Umat Awam dinasehati oleh Buddha untuk menghindari perdagangan
lima jenis barang
Sbb :
Makhluk Hidup - walaupun perbudakan tidak umum lagi
sekarang, perdagangan manusia masih terjadi di dunia ini.
Daging - seseorang seharusnya tidak memelihara binatang
untuk dijual kemudian disembelih.
Alat-alat
berbahaya - senjata dan lain-lain untuk membunuh.
Minuman keras
- alkohol, obat bius, dan lain-lain.
Racun - yang
di gunakan untuk membunuh, misalnya obat insektisida.
Buddha menasehatkan bahwa
kekayaan seharusnya diperoleh dengan cara yang benar, tanpa paksaan dan
kekerasan, jujur dan tanpa menyakiti makhluk yang lain.
(vi) Usaha
Benar
Mulai dari sini kita mulai pada pengembangan
pikiran, untuk 'menyucikan pikiran yang merupakan bagian ketiga dari
pesan Buddha. Hanya seseorang yang menyucikan pikiran yang memiliki
kesempatan untuk mengakhiri lingkaran kehidupan. Latihan untuk menyucikan
pikiran terdiri dari Usaha Benar, Perenungan Benar dan Konsentrasi Benar. Usaha
benar terdiri dari empat bagian, yaitu usaha untuk :
Menghilangkan
pikiran-pikiran jahat yang telah muncul.
Mencegah
munculnya pikiran-pikiran jahat yang belum muncul.
Mengembangkan
pikiran-pikiran bajik yang belum muncul.
Mempertahankan
pikiran-pikiran bajik yang sudah muncul.
Pikiran jahat adalah pikiran yang disertai keterikatan,
dengki, tidak tahu malu, sombong, kebencian, iri hati, kikir, gelisah, dan
lain-lain.
Pikiran baik
adalah pikiran yang babas dari keterikatan, memiliki rasa malu/percaya diri,
penuh perhatian, cinta kasih, ketenangan, dan lain-lain.
(vii)
Perenungan Benar
Perenungan
Benar, adalah perenungan yang terus menerus dari:
Tubuh – sifat alami tubuh. Meliputi 4 elemen, 32 bagian
tubuh, membusuknya tubuh dan berbagai jenis mayat yang berbeda.
Perasaan -
muncul dan lenyapnya perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral.
Pikiran -
kondisi pikiran, apakah dalam keadaan konsentrasi, terpencar, mengantuk,
terang, dan lain-lain.
Dhamma - ajaran Buddha, yang
berhubungan dengan lima kelompok
kehidupan, landasan berunsur enam, Empat Kebenaran Mulia, dan lain-lain.
Perenungan yang terus menerus tentang keempat hal ini tanpa
mengizinkan pikiran melayang akan menenangkan pikiran, menuntun pada
Konsentrasi Benar, dan membuat seseorang memahami sifat alami dari "diri/pribadi".
(viii)
Konsentrasi benar
Seperti yang dijelaskan di sepanjang Nikaya-nikaya,
Konsentrasi Benar berarti pencapaian empat jhana (penyerapan
meditasi). Konsentrasi Benar yang mulia adalah empat jhana yang didukung
oleh tujuh faktor lain dari Jalan Mulia Berunsur Delapan,
Menjinakkan Pikiran. Pikiran
yang tidak terlatih adalah liar dan gelisah seperti kuda yang liar. Ini perlu
dijinakkan sebelum menjadi pikiran yang bermanfaat. Buddha menyamakan pikiran biasa dengan enam
jenis binatang terikat bersamaan dan selalu menarik ke arah yang
berbeda. Mereka harus diikat pada sebuah tiang .untuk menjinakkan dan
mengendalikan mereka. Sama halnya juga, kita, mengikat pikiran kita hanya
kepada satu objek pikiran; yang tetap dalam meditasi, tanpa mengijinkannya
ditarik oleh enam objek indera. Perlahan pikiran akan berpusat kepada objek
meditasi. Inilah jalan satu\satunya untuk menjinakkan dan mengendalikan pikiran
digunakan oleh Yang Terberkahi sendiri. Ini adalah metode umum yang cocok untuk
banyak orang. Posisi duduk dan berjalan adalah yang paling umum dalam meditasi.
Seseorang memusatkan perhatiannya pada pernafasan jadi secara perlahan pikiran
menjadi berpusat kepadanya. Dengan latihan yang terus menerus, pernafasan secara
berangsur-angsur mencapai ketenangan sampai hampir tidak terasa/halus sekali.
Yang kemudian membawa seseorang ke dalam jhana pertama, kondisi dimana
seseorang sepenuhnya bangun dan siaga. Ketika seseorang melatih meditasi, dia
akan menyadari pentingnya pelepasan keduniawian. Pikiran yang berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat duniawi, selalu membawa pikiran pada hal-hal yang
tidak penting dan tidak dapat menjadi konsentrasi.
Buah dari
menjalani kehidupan suci. Ketika jhana diperoleh,
pikiran menjadi terpusat. Seseorang mengalami kebahagiaan yang jauh melebihi
semua kesenangan duniawi. Dengan demikian menjadi mudah untuk meninggalkan
kesenangan duniawi. Ini adalah keistimewaan/pencapaian pertama dari kehidupan
suci yang lebih tinggi dari keadaan manusia biasa. Ketika seseorang mencapai jhana
seseorang juga telah melampaui kekuasaan Mara, menurut Buddha.
Buddha berkata kesenangan duniawi tidak seharusnya dituruti tetapi
kebahagiaan jhana seharusnya dikejar, dikembangkan dan diperluas karena
membawa pada pencapaian tingkat kesucian (Ariya)". Buddha memuji
pencapaian jhana demikian "Para bhikkhu, bahkan untuk waktu selama
menjentikkan jari saja, seorang bhikkhu seharusnya melatih jhana pertama,
seorang seperti dia boleh disebut Bhikkhu. Tidak sia-sia pencapaian jhana-nya;
dia berdiam di dalam petunjuk Guru; dia adalah seorang yang menaati nasihat dan
dia memakan makanan sedekah untuk tujuan tertentu. Apa yang tidak dapat saya
katakan dari seseorang yang banyak maju dalam jhana pertama?”
Ketika pikiran menjadi lebih tenang lagi, seseorang memasuki jhana
kedua, ketiga dan keempat. Jhanna keempat adalah kondisi yang dalam dari konsentrasi dimana Buddha berkata berada dalam
keadaan tak tergoyahkan dan berhentinya pernafasan. Dalam tahap ini pikiran
menjadi "terang, dapat ditaklukkan, tenang dan terarahkan", dan
"memiliki perenungan yang seksama dan mendalam (sati)"
Hasil alami
dari pikiran yang sangat kokoh ini adalah pengetahuan yang membebaskan.
Seseorang mampu menyadari bahwa ini "Aku" dan dunia pada
dasarnya adalah proyeksi pikiran. Sementara kebanyakan orang berpikir bahwa
pikiran ada di dalam tubuh, seseorang mulai menyadari bahwa tubuh dan bahkan
keseluruhan dunia adalah proyeksi pikiran, berhubung ini hanyalah persepsi dari
kesadaran kita. Seseorang juga dapat menyadari muncul dan lenyapnya fenomena
dan penembusan pengetahuan lainnya. Juga, dengan pikiran yang jernih, terang,
ketika seseorang mendengarkan atau mempelajari Sutta, seseorang dapat
segera memahaminya dan mencapai pembebasan. Demikianlah kita temukan bahwa
1.060 Arahat yang pertama mencapai kesucian tingkat Arahat hanya
dengan mendengarkan khotbah Buddha.
Buddha mengatakan bahwa setelah
mendapatkan pandangan benar, lima faktor pendukung lain dalam pencapaian
kebebasan adalah : kemoralan, mendengarkan (mempelajari) Dhamma, diskusi
Dhamma, ketenangan pikiran (samatha), dan perenungan (vipossana).
Demikianlah kita lihat di sini pentingnya meneliti/menyelidiki sutta dari
tahap pertama untuk masuk ke Jalan Mulia Berunsur Delapan sampai tahap terakhir
dalam pencapaian kebebasan.
--- oOo
---
SEGENGGAM
DAUN BODHI
Penerjemah
:
Rety
Chang Ekavatti, S. Kom, BBA
Yuliana
Lie Pannasiri, MBA
Penyunting
:
Nana
Suriya Johnny, SE
Andromeda
Nauli, Ph.D
Kitab Suci Agama Buddha bagian
dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H.
Saddatissa
10. ALAVAKA SUTTA
ALAVAKA
Makhluk raksasa lain pada mulanya mengancam Sang Buddha, namun
kemudian mengajukan pertanyaan, yang semuanya terjawab dengan jelas.
Demikian yang telah saya dengar :
Suatu ketika Sang Buddha berdiam di tempat kediaman Yakkha Alavaka di
dekat kota Alavi. Maka Alavaka datang mendekati Sang Buddha dan berteriak:
Pergilah dari sini, pertapa!' Sang Buddha pun pergi sambil berkata: 'Baiklah,
sobat.’ Namun kemudian yakkha itu memerintahkan: 'Masuklah, pertapa!' Dengan
mengatakan: 'Ya, sobat', Sang Buddha pun masuk. Untuk kedua kalinya yakkha itu
berteriak lagi kepada Sang Buddha: 'Pergilah dari sini, pertapa!' Sang Buddha
pun sekali lagi pergi sambil mengatakan: 'Baiklah, sobat.' Untuk kedua kalinya
yakkha itu memerintah: 'Masuklah, pertapa!' Sambil mengatakan: 'Ya, sobat!',
Sang Buddha pun kembali masuk. Untuk ketiga kalinya, lagi-lagi yakkha itu
berteriak: 'Pergilah dari sini, pertapa!' Dan untuk ketiga kalinya pula Sang
Buddha pergi sambil berkata: 'Baiklah, sobat.' Tetapi ketika Alavaka
meneriakkan lagi perintahnya, Sang Buddha berkata: 'Aku tidak akan mematuhimu.
Kini terserah apa yang akan kamu lakukan!' 'Kalau demikian, saya akan
mengajukan pertanyaan kepadamu. Jika kamu tidak bisa menjawab, saya akan
menyesatkan pikiranmu atau mencabik-cabik jantungmu atau mencengkeram kakimu
dan melemparmu ke sisi sungai sebelah sana!' 'Sobat, baik di dunia para dewa,
Mara, Brahma, atau manusia, tidak kulihat satu makhluk pun yang dapat melakukan
padaku hal seperti yang kamu katakan. Walaupun demikian, sobat, ajukanlah
pertanyaanmu.'
1 Alavaka: Kekayaan apakah yang
paling berharga bagi manusia di dunia ini? Praktek yang baik apakah yang dapat
membawa kebahagiaan? Dari segala citarasa, apakah yang terasa paling manis?
Cara hidup yang bagaimanakah yang dikatakan paling mulia? (181)
2 Sang Buddha: Keyakinan adalah
kekayaan yang paling berharga bagi manusia di bumi ini. Dhamma yang
dipraktekkan dengan baik akan membawa kebahagiaan [yang terbesar]. Dari segala
citarasa, Kebenaranlah yang termanis. Hidup dengan kebijaksanaanlah yang
dikatakan sebagai kehidupan yang paling mulia. (182)
3 Alavaka : Bagaimanakah orang
menyeberang banjir [tumimbal lahir]? Bagaimanakah orang menyeberang lautan
[keberadaan]? Bagaimanakah orang dapat meninggalkan ketidakbahagiaan?
Bagaimanakah orang menjadi suci? (183)
4 Sang Buddha : Orang menyeberang
banjir [siklus kelahiran dan kematian = samsara] lewat keyakinan. Orang
menyeberangi lautan [keberadaan] lewat perhatian kewaspadaan. Orang
meninggalkan ketidakbahagiaan lewat usaha yang tak putus. Orang menyucikan diri
lewat kebijaksanaan. (184)
5 Alavaka: Bagaimana caranya
orang memperoleh pengetahuan? Bagaimana caranya orang memperoleh kekayaan? Bagaimana
caranya orang memperoleh kemasyhuran? Bagaimana caranya orang mendapat teman?
Bagaimana caranya orang tidak menyesal meninggalkan dunia ini menuju dunia
berikutnya? (185)
6 Sang Buddha : Orang memperoleh
pengetahuan dengan membangun keyakinan dan mendengarkan Dhamma para Arahat
dengan raj in dan penuh perhatian untuk mencapai Nibbana. (186)
7 Orang yang melakukan apa yang
pantas, yang berhati teguh, yang bekerja keras, akan memperoleh kekayaan. Orang
memperoleh kemasyhuran lewat kebenaran. Orang yang memberi akan mendapat teman.
(187)
8 Perumah tangga yang penuh
keyakinan, yang memiliki empat keluhuran, kejujuran, kebaikan, semangat dan
kedermawanan tidak akan menyesal setelah
kematian. (188)
9 Kutantang engkau untuk bertanya
pada para pertapa dan brahmana lain guna memastikan apakah ada sifat-sifat lain
yang lebih tinggi daripada kebenaran, pengendalian diri, kedermawanan dan
kesabaran! (189)
10 Alavaka : Mengapa saya harus
bertanya kepada para pertapa dan brahmana lain? Hari ini telah saya ketahui
mana yang bermanfaat bagiku di masa depan.
(190)
11 Wahai, Sang Buddha, silakan
datang ke tempat kediamanku di dekat Alavi untuk kebaikanku! Hari ini saya
mengetahui apa yang harus diberikan agar memperoleh hasil yang besar. (191)
12 Mulai hari ini saya akan
berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota seraya memberikan rasa hormatku
kepada Yang Tercerahkan dan kepada ajaran-Nya yang sempurna! (192)
Sumber : Kitab Suci Agama Buddha
Sutta –
Nipata
Diterbitkan
oleh :
Vihara
Bodhivamsa - Klaten
100 TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO
Dari : Tity, Tangerang
Namo Buddhaya,
Saya mau bertanya:
1. Mengenai dana arca Buddha.
Jika berdana arca Buddha lebih baik menulis nama orang yang akan memberi dana atau
tidak? Kalau tidak menulis nama, apa yang sebaiknya ditulis?
2. Jika melayat ke tempat
orang yang meninggal, paritta apa yang harus dibacakan pada saat memberi hormat
?
3. Apakah benar orang yang
jiong di tahun itu tidak boleh melayat orang meninggal? Apakah yang harus
dilakukan untuk mengatasinya?
Jawaban:
1. Banyak umat Buddha yang
mempunyai niat baik untuk berdana area Sang Buddha. Dana ini dapat dimanfaatkan
untuk vihara-vihara yang belum mempunyai area Buddha atau mungkin area Buddha
yang ada sudah kurang memadai. Pada area Buddha ini sebenarnya TIDAK HARUS
ditulis apapun juga. Dalam pengertian Dhamma, kebajikan apabila telah tiba
saatnya pasti akan langsung dirasakan buahnya oleh si pelaku tanpa harus
menuliskan namanya pada suatu media apapun juga. Namun, boleh saja kalau donatur
ingin menuliskan namanya pada area Sang Buddha tersebut. Penulisan nama atau
kalimat lainnya ini merupakan pilihan donatur, bukan keharusan.
2. Sudah menjadi tradisi,
apabila seseorang berkunjung ke tempat orang meninggal, ia perlu menyempatkan
diri sejenak untuk menjenguk atau menghormat pada jenasah sebelum ia bertemu
dengan keluarga yang sedang berduka. Pada saat memberi hormat di depan jenasah,
ia dapat mengucapkan dalam batin kalimat: SEMOGA SEMUA MAHLUK BERB AHAGIA.
Maksud kalimat ini adalah harapan agar orang yang meninggal apabila telah
terlahir di alam lain sebagai makhluk, semoga ia berbahagia; keluarga yang
ditinggalkan juga makhluk, semoga mereka berbahagia; para tamu sesama pelayat
juga makhluk, semoga semuanya berbahagia. Dengan kalimat sederhana yang
diucapkan pada saat melakukan penghormatan di depan jenasah, seseorang dapat
mengharapkan semua makhluk yang tampak maupun tidak tampak memperoleh
kebahagiaan sesuai dengan kondisi kamma mereka masing-masing.
3. Terdapat tradisi yang
berkembang dalam masyarakat tertentu bahwa seseorang yang terlahir pada tahun
tertentu akan berpotensi mendapatkan kesulitan pada tahun-tahun yang telah
disebutkan dalam semacam buku petunjuk kehidupan. Istilah yang dipergunakan
untuk kondisi ini adalah 'jiong'. Ketika karena tahun kelahirannya seseorang
sedang jiong terhadap tahun tertentu, ia disarankan sepanjang tahun tersebut untuk
tidak berkunjung ke orang meninggal, bepergian jauh, pindah rumah, atau bahkan
mengadakan upacara-upacara ritual tertentu.
Dalam pengertian
Buddhis, seseorang melayat ke rumah duka adalah merupakan kebajikan. la datang
dengan mengharapkan agar semua makhluk berbahagia. la mungkin juga mempunyai
kesempatan untuk memberikan penghiburan kepada keluarga yang sedang berduka.
Oleh karena itu, seorang umat Buddha tidak perlu ragu untuk melayat walaupun
menurut ramalan, ia termasuk jiong pada tahun tersebut. la hendaknya menyadari
bahwa suka duka seseorang sangat tergantung dengan kebajikan yang dimilikinya.
Semakin banyak kebajikan yang diperbuat melalui ucapan, badan serta pikiran,
semakin bahagia pula kehidupannya. Seseorang yang berkunjung ke tempat duka
adalah termasuk orang yang melakukan kebajikan dengan badan, ucapan serta
pikiran. Adapun orang yang mempunyai kamma buruk banyak, hidupnya akan kurang
bahagia walaupun ia tidak pernah berkunjung ke tempat duka di manapun juga.
Semoga penjelasan ini
dapat meningkatkan rasa percaya diri para umat Buddha untuk melayat dan
memberikan penghiburan kepada keluarga yang sedang berduka tanpa harus ketakutan
menjalani tahun tertentu.
Semoga
selalu bahagia
--- oOo
---
|
Setitik
Cahaya di Balik Kabut 2
16. Brahma yang maha kejam dan
maha
tidak kuasa
Pandita Dr. R. Surya Widya,
Sp.Kj
Saturday,
September 26, 2009 at 10:56pm
Ketika
Pangeran Sidharta terombang ambing dalam keraguan untuk meninggalkan istana
berikut segala kemewahan di dalamnya, muncullah pikiran sebagai berikut:
Apabila
Brahma itu maha pengasih dan maha penyayang, dan Dia mau menolong manusia yang
sedang menderita, itu berarti la maha tidak kuasa, karena la tidak mampu
menolong semua manusia yang hidup dalam penderitaan.
Atau
apabila Brahma itu maha kuasa dan maha kuat, dan la punya kemampuan untuk
menolong semua manusia, itu berarti la maha kejam, oleh karena la tidak mau
berbuat sesuatu yang membuat semua manusia terbebas dari penderitaan.
Mungkin
yang benar adalah bahwa Brahma itu tetap maha kasih dan maha kuasa, hanya mengapa
manusia tetap menderita? Itu artinya harus ada keterangan yang lain!
Setelah
Pangeran Sidharta meninggalkan istana, lalu menjadi seorang pertapa, dan
akhirnya Beliau mencapai Penerangan Sempurna dan menemukan jawabannya :
penderitaan selalu ada karena adanya perbuatan yang dilakukan berlandaskan
"aku" yang sarat dengan pandangan keliru. Jadi jangan menyalahkan
makhluk lain.
Semua makhluk akan terus mengalami dukkha sebelum mampu mencapai
Nibbana.
--- oOo
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar