Edisi KATHINA
Tegal, 24 November 2013
No
: 75, Tahun Ketujuh
Penasehat : Ketua Yayasan Metta Jaya ( Loe Lian Phang )
Penanggung Jawab : Ketua
Dayakasabha Metta Vihara Tegal ( Lie
Ing Beng )
Pimpinan Redaksi : Ibu Tjutisari
Redaksi
Pelaksana : 1. Ibu Pranoto 4. Liliyani
2. Suriya Dhammo 5.
Sumedha Amaravathi
3. Ade Kristanto 6. Lie Thiam Lan
Alamat Redaksi : Metta Vihara
Jl. Udang
No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688 an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
DHAMMAPADA ATTHAKHATA
Bab
II - Syair 32
Seorang
bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan
tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.
BAB II – Syair 32
Kisah Nigamavasitissa
Nigamavasitissa
lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi
seorang bhikkhu dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit
keinginan.
Untuk
berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa termpat saudaranya tinggal dan
mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan
kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan
Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada
para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.
Beberapa
orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat
dengan saudara-saudaranya dan tidak memperdulikan orang lain seperti
Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana
makanan.
Ketika
Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan
menanyakan hal itu.
Bhikkhu
Nigamavasitissa dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa memang
benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta.
Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih
jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau
tidak.
Sang
Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavatissa bahkan
Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.
Beliau
bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit
keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua
bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.
Berkenaan
dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.
Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang
sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar
pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi
meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih
tersisa di pohon tersebut.
Sakka,
mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tersebut. Sakka
pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan
menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat
dimana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan
pohon tua tersebut seperti yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain
yang berbuah lebat.
Raja
nuri menjawab, "Karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak
akan meninggalkannya dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak
akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan
pohon ini, meskipun pohon ini akan mati."
Sakka
sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang
sebenarnya. Dia mengambil air dari Sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar
pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan
cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.
Sangat
bijaksana meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang
tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka
adalah Anuruddha.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut:
Seorang
bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan
tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.
Tissa
Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--- oOo ---
SEKAPUR SIRIH
Kaisar Nigamavasitissa Bhikkhu yang hidup dengan sederhana,
sedikit keinginan, selalu waspada dan melihat akan bahaya kelengahan maka
beliau akan mencapai kesucian. Siapapun yang dapat menjalani kehidupan dengan
sedikit keinginan maka akan hidup bahagia.
Redaksi mengucapkan selamat berdana di Bulan Kathina 2557 / 2013.
Makna Kathina diuraikan oleh YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera. Artikel hubungan
antara Bhikkhu dan umat dengan nara sumber Bhikkhu Subhalaratano Mahathera dan
Pandita Dharma K. Widya.
Berdana dengan pengertian benar tulisan YM. Bhikkhu Sri Pannyavaro
Mahathera menarik untuk disimak.
Ajahn Brahm, dalam buku “ Membuka Pintu Hati dengan judul Cabut
Gigi Sendiri,” sebuah konsep untuk menghilangkan rasa sakit. Segenggam Daun
Bodhi memasuki ulasan tentang Sutta Vinaya. Kitab suci agama Buddha Khuddaka
Nikaya, Sutta Pitaka “Sang Pertapa” merupakan pujian-pujian terhadap kehidupan
menyendiri dengan penuh pengendalian.
100 Tanya Jawab Dengan Bhikkhu Uttamo menarik untuk disimak dan di
halaman terakhir Setitik Cahaya di Balik Kabut dengan tema “Memupus Kebencian
Mengembangkan Kasih”. Sebuah kisah yang menarik untuk diterapkan dalam diri
kita yang kerap kali dibuai oleh kebencian yang berakibat sangat merugikan diri
sendiri dan orang lain.
Partisipasi anda sangat berarti bagi redaksi untuk terus berbuat
agar Dhamma dapat menerangi batin kita.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Sadhu , Sadhu , Sadhu .
Metta Cittena,
Redaksi
--- oOo ---
SELAMAT HARI RAYA
KATHINA
2557 TB / 2013
KELUARGA
BESAR METTA VIHARA
Jl. Udang No. 8 Tegal (
(0283) 323570
MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA
INDONESIA
( MAGABUDHI )
Pengurus Cabang Kota Tegal
Sekretariat
: Metta Vihara, Jl. Udang 8 Tegal
WANITA THERAVADA INDONESIA (
WANDANI )
Pengurus Cabang Kota Tegal
Sekretariat
: Metta Vihara, Jl. Udang 8 Tegal
Telah kami
terima dana dari :
1. Romo Rikwan Mettacaro Rp 500.000,-
2. Bpk/Ibu Lie Ing Beng Dana
konsumsi
3. Ibu Oey Gwat In Dana
konsumsi
4. Ibu Tjutisari Dana
konsumsi
5. Bpk/Ibu Tjia Kiem
Liong Dana
konsumsi
6. Ibu Tjioe Hiang Giok Dana
konsumsi
Anumodana dan
terima kasih atas dana Anda.
Semoga
kebajikan yang dilakukan Bapak / Ibu / Saudara berbuah dalam bentuk umur
panjang, sehat, sukses dan bahagia bersama keluarga.
Semoga semua
makhluk hidup berbahagia.
--- oOo ---
Selamat Hari Raya
KATHINA
2557
19 Oktober s.d. 20
November 2013
KJA GUEST HOUSE
BLOK G NO. 2 - 3
JL. YOS SUDARSO
Telp. (0283) 324902
T E G A L
Toko SAPUMAS
Jl. DI. Panjaitan 34 Telp. 0283
-354200 Tegal 5211
Sedia : Sapu , Kesed , Plastik,
Waring, Rupa rupa Tali, Sulak Bulu dan lain lain
Selamat
Hari Raya
KATHINA 2557
19
Oktober s.d. 20 November 2013
Toko MURAH
Jl. Raya
Klampok No. 2
Telp.
0283 -671890 672888
Fax 0283
– 673488
KLAMPOK
- BREBES
MAKNA
PERAYAAN
KATHINA
Oleh :
YM Bhikkhu Uttamo Mahathera
by Buc Pusat (Notes) on Tuesday, 25 October
2011 at 23:25
Setiap tahun, mulai bulan Oktober sampai dengan November kita para
umat dan simpatisan Buddhis di manapun berada secara serentak akan dapat
mengikuti perayaan Kathina yang diselenggarakan di berbagai vihara.
Di berbagai negara Buddhis biasanya perayaan Kathina atau Kathina
Puja dilaksanakan dengan sangat meriah dan bahkan paling meriah dibandingkan
berbagai Hari Besar Agama Buddha lainnya seperti Magha Puja, Waisaka Puja
maupun Asadha Puja.
Perbedaan ini disebabkan karena adanya makna khusus dan khas dalam
perayaan Kathina tersebut.
Salah satu kekhususan yang terdapat dalam Kathina Puja tersebut
adalah bahwa pada hari-hari besar Agama Buddha yang lain para umat serta
simpatisan Buddhis biasanya datang ke vihara untuk berperan serta secara pasif
dalam kegiatan yang diadakan waktu itu.
Pengertian berperan serta secara pasif ini adalah bahwa para umat
seusai melaksanakan Puja Bakti kemudian biasanya mereka segera kembali ke rumah
masing-masing. Berbeda ketika mengikuti Perayaan Kathina, seluruh umat maupun
simpatisan Buddhis (sejak jaman Sang Buddha masih hidup) akan berperan aktif
dalam perayaan ini. Mereka berperan aktif dengan mempersembahkan dana berupa
empat kebutuhan pokok para bhikkhu. Keempat kebutuhan pokok ini adalah kebutuhan
bhikkhu akan makanan, jubah, tempat tinggal serta obat-obatan.
Oleh karena itu, dalam mengikuti perayaan Kathina di manapun juga,
para umat dan simpatisan Buddhis bahkan para bhikkhu sekalipun hendaknya dapat
merenungkan beberapa hal di bawah ini, yaitu:
1. Para umat Buddha dalam
menyambut perayaan Kathina biasanya sejak beberapa waktu sebelumnya mereka
telah mempersiapkan diri untuk memberikan persembahan Kathina. Bahkan pernah
dijumpai seorang anak Sekolah Dasar yang sejak beberapa bulan sebelumnya
menyisihkan sebagian dari uang saku sekolahnya untuk ditabung. Setelah tiba
masa Kathina, maka anak tersebut membuka tabungannya dan seluruh hasilnya
dipergunakan untuk mengadakan seperangkat jubah bhikkhu serta dipersembahkannya
kepada Sangha dalam perayaan Kathina di salah satu vihara terdekat. Tentu saja
niat baik untuk menyediakan persembahan Kathina yang telah dipupuk dalam waktu
yang cukup lama ini akan memberikan kondisi kepada anak tersebut untuk menimbun
banyak karma baik yang pada waktunya nanti pastilah akan memberikan kebahagiaan
sesuai dengan yang diharapkannya.
2. Ketika seorang umat atau simpatisan Buddhis menghadiri Perayaan
Kathina maka bila Perayaan Kathina itu dihadiri lebih dari satu bhikkhu, atau
bahkan dihadiri oleh Sangha yaitu para bhikkhu yang berjumlah empat, lima atau
lebih maka pada saat mempersembahkan Dana Kathina tersebut ia memiliki sedikit
kemungkinan untuk memilih mempersembahkan dananya kepada bhikkhu yang mungkin
dia sukai. Dengan demikian, pada saat mempersembahkan Dana Kathina sesungguhnya
para umat dan simpatisan Buddhis sudah mulai dilatih untuk rela mempersembahkan
dana kepada bhikkhu siapapun juga tanpa harus memilih. Para umat bahkan mungkin
saja memberikan dananya kepada bhikkhu yang sama sekali belum dikenalnya.
Dengan demikian, mengikuti Perayaan Kathina secara aktif ini dimaksudkan adalah
sebagai latihan melepaskan atau merelakan yang sikap batin ini dapat dijadikan
dasar mencapai kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat Kebahagiaan yang bisa
diperoleh ini adalah bahwa hendaknya apabila seseorang melakukan perbuatan baik
adalah demi perbuatan baik atau kebajikan itu sendiri bukan demi pribadi
seseorang yang kita sukai atau dengan maksud-maksud yang lain.
3. Persembahan Dana
Kathina juga bisa mempunyai makna sebagai latihan meningkatkan kesadaran para
umat dan simpatisan Buddhis akan manfaat keberadaan para bhikkhu. Para bhikkhu
yang tergabung dalam Sangha adalah merupakan kumpulan para pertapa yang
berusaha melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari mereka agar
mencapai tingkat batin tertinggi. Selain mempraktekkan Buddha Dhamma, para
bhikkhu dalam kehidupannya juga diisi dengan membabarkan Buddha Dhamma ke
berbagai tempat dengan tujuan agar dapat membahagiakan semua makhluk. Oleh
karena itu, dengan mempersembahkan Dana Kathina umat akan mendapatkan kondisi
untuk mendukung kelestarian Sangha yang tentu saja mempunyai pengaruh langsung
yang positif untuk kelestarian Buddha Dhamma pula.
4. Perenungan makna Dana Kathina ini bukan hanya berlaku untuk para
umat dan simpatisan Buddhis saja melainkan juga untuk para bhikkhu. Para
bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah diturunkan oleh Sang Buddha adalah
merupakan para pertapa yang tidak mempunyai penghasilan ataupun menerima gaji
dari lembaga manapun juga. Oleh karena itu, kehidupan para bhikkhu sepenuhnya
tergantung pada kebajikan para umat dan simpatisan Buddhis. Pemenuhan empat
kebutuhan pokok hidup bhikkhu juga diperoleh dari umat. Padahal, pernah
disebutkan dalam salah satu hasil penyelidikan ilmiah, bahwa karena adanya
proses regenerasi sel yang terus menerus terjadi dalam tubuh manusia maka
seluruh sel tubuh manusia dalam waktu tujuh tahun semuanya akan berganti.
5. Dengan demikian,
apabila para bhikkhu telah menjalani kebhikkhuan lebih dari tujuh tahun,
sesungguhnya seluruh sel tubuhnya telah diperoleh dari hasil kebajikan dan
keyakinan para umat serta simpatisan Buddhis di manapun mereka berada. Kalau
hal ini direnungkan, maka tentunya akan hilanglah kesombongan yang mungkin
masih tersisa dalam batin para bhikkhu. Para bhikkhu hendaknya bisa menyadari
bahwa ia tidak akan hidup tanpa umat. Padahal, sering dijumpai para umat
membantu kehidupan para bhikkhu yang dijumpainya tanpa harus mengenalnya
terlebih dahulu. Oleh karena itu, walaupun pengertian ini hendaknya tidak
menjadikan bhikkhu sebagai 'pesuruh' umat, namun hendaknya para bhikkhu
kemudian merenungkan, kebajikan apakah yang bisa dijadikan sebagai ‘balas jasa'
kebajikan para umat dan simpatisan Buddhis tersebut?
Dengan perenungan ini, maka hendaknya para bhikkhu dapat lebih
meningkatkan pelaksanaan Buddha Dhamma dalam kehidupannya dengan lebih tekun
dan bersemangat menjalankan kemoralan serta melatih meditasi. Dengan demikian,
para bhikkhu akan dapat memberikan manfaat yang besar untuk para umat yang
telah mendukung kehidupannya. Para bhikkhu benar-benar akan menjadi ladang yang
subur untuk kebajikan mereka. Dan, tentu saja, dengan demikian para bhikkhu
tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan baik untuk melatih diri agar lebih
baik dan terus bertambah baik sehingga mencapai tingkat tertinggi yaitu
kesucian atau Nibbana dalam kehidupan ini juga. Demikianlah, paling tidak
terdapat empat hal yang bisa dan pantas direnungkan dalam masa Kathina ini.
Semoga kita semua tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan
Kathina ini untuk secara aktif mengembangkan kebajikan dan meningkatkan
kualitas batin kita masing-masing.
Semoga Semua Makhluk Hidup Bahagia
Selamat
Hari Raya
KATHINA
2557
19 Oktober s.d. 20
November 2013
Keluarga
EDDY HERJANTO
UD. HASIL BUMI “HOSANA”
Jl. Kapt. Sudibyo No. 42 – 44
T E G A L
Telp.
0283 353503 Hp. 081931818555
Keluarga
Ny. TJIA SOEN TJAY
T E G A L
Selamat
Hari Raya
KATHINA
2557
19 Oktober s.d. 20
November 2013
Keluarga
Bp. Indra Gunawan
Toko Mas Sawo
Jl. Jend. A Yani
Brebes
UTAMA
TOKO SEPATU & TAS MASA KINI
Jl. Jend. A Yani 99 Telp. (0283)353779
TEGAL
Artikel
HUBUNGAN ANTARA BHIKKHU DAN UMAT
by Buc Pusat (Notes) on Sunday, 29 July 2012 at 09:30
Hubungan Antara Bhikkhu dan Umat
merupakan hubungan yang bersifat moral-religius dan bersifat timbal balik,
sebagaimana telah dijelaskan Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta :
"Umat hendaknya menghormati
Bhikkhu dengan membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan, perkataan
dan pikiran yang baik, membiarkan pintu terbuka untuk mereka dan memberikan
makanan serta keperluan yang sesuai untuk mereka."
"Bhikkhu mempunyai
kewajiban kepada umat yaitu melindungi dan mencegah mereka dari melakukan
perbuatan jahat, memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, menerangkan
ajaran yang belum didengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum
dimengerti, dan menunjukkan jalan untuk menuju Pembebasan."
Bhikkhu tidak mempunyai
"kekuasaan" terhadap umat dan tidak memberikan "sanksi"
pada umat. Namun, kepada umat yang berbuat tidak pantas atau melakukan
penghinaan terhadap Dhamma-Vinaya, maka Bhikkhu akan "berpaling" dari
mereka dengan tidak menerima segala persembahannya. Dengan demikian, umat
tersebut dianggap tidak pantas mempersembahkan sesuatu kepada Bhikkhu (Sangha),
sehingga umat itu kehilangan kesempatan yang baik untuk melakukan perbuatan
baik atau jasa.
Sebaliknya, umat pun dapat
"berpaling" dari Bhikkhu yang melakukan perbuatan melanggar
Dhamma-Vinaya dengan tidak melayani atau memberi persembahan kepadanya.
Ada beberapa hal mengenai
kebhikkhuan yang perlu kiranya diketahui oleh umat Buddha. Dalam hubungannya
dengan wanita, seorang Bhikkhu tidak boleh dengan nafsu indranya menyentuh
seorang wanita (Sanghadisesa ke-2) dan tidak boleh duduk berdua dengan wanita
di tempat tertutup (Pacittiya ke-44).
Sang Buddha mengajarkan kepada
Yang Ariya Ananda (Maha Parinibbana Sutta):
"Jangan melihat kepada
seorang wanita, Kalau mesti juga, maka janganlah berbicara dengannya, Kalau
mesti juga, maka berbicaralah tentang Dhamma dan Sila dan sebutlah Sang Buddha
dengan segala kekuatan batinmu."
Selain itu, Bhikkhu tidak boleh menjadi :
1. Perantara dalam
hubungan perjodohan antara pria dan wanita (Sanghadisesa ke-5).
2. Bhikkhu tidak boleh
menumpuk kekayaan emas, perak dan lain-lain. (Nissagiya Pacittiya ke-18).
3. Bhikkhu tidak boleh
terlibat dalam perdagangan atau jual-beli (Nissagiya Pacittiya ke-20).
4. Bhikkhu tidak boleh
berbohong (Pacittiya ke-1).
5. Bhikkhu tidak boleh mencaci-maki (Pacittiya ke-2).
6. Bhikkhu tidak boleh memfitnah (pacittiya ke-3).
7. Bhikkhu tidak boleh
pula menjawab secara menghindar dan menimbulkan kesulitan dengan berdiam diri
(Pacittiya ke-12).
Selain itu, ia melatih diri
untuk tidak menonton pertunjukan, nyanyian, tarian dan segala sesuatu yang membawanya
ke arah kenikmatan indranya. la melatih diri untuk tidak mempergunakan tempat
tidur atau tempat istirahat yang mewah dan membatasi kebutuhan hidup
sesederhana mungkin.
Ada beberapa cara penghormatan
tingkah laku yang diperkenankan Sang Buddha dari umat kepada Bhhikkhu :
1. Vandana (berlutut
"menunjukkan penghormatan dengan lima titik" dahi, kedua lengan
bawah, kedua lutut).
2. Utthana (berdiri untuk menyambut).
3. Anjali (merangkap kedua
telapak tangan untuk menghormat).
4. Samicikamma (cara-cara
lain yang baik dan terpuji untuk menunjukkan kerendahan hati).
Umumnya Bhikkhu akan menerima
penghormatan tersebut dengan mengatakan : "Sukhi hotu" Semoga engkau
berbahagia (Sri Lanka) atau "Ayu vanno sukham balam" (Muangthai).
"Pada mereka yang senantiasa
menghormat pada orang yang lebih tua akan bertambah empat hal : panjang umur,
kecantikan, kebahagiaan, kekuatan" (Dhammapada 109)
"Tak bergaul dengan orang
yang tak bijaksana, Bergaul dengan mereka yang bijaksana. Menghormat mereka
yang patut dihormat, Itulah Berkah Utama." (Mangala Sutta)
Nara sumber :
Bhikkhu Subhalaratano.
Dharma K. Widya
Pengantar Vinaya
STAB Nalanda.
Selamat
Hari Raya
KATHINA 2557
19
Oktober s.d. 20 November 2013
BERDANA
DENGAN PENGERTIAN BENAR
Oleh : YM Bhikkhu Pannyavaro Mahathera
Pada
kesempatan Kathina ini, dimana selama sebulan para umat Buddha merayakan
kathina puja, yaitu dengan berdana kebutuhan pokok para bhikkhu, Bhante
Pannyavaro memberikan penjelasan dhamma mengenai makna pemberian ataupun dana
itu sendiri. Diawali bahwa ada 2 dalam kehidupan ini.
Hal yang
pertama, adalah hal yang PASTI. Mengapa disebut PASTI? Pasti karena hal
tersebut tidak terbantahkan, tidak bisa diingkari kebenarannya dan tidak bisa
dihindari oleh siapapun. Tidak peduli ia umat buddha atau bukan, tidak peduli
status sosial kaya atau miskin, tidak peduli suku atau ras apapun. Hal ini
PASTI berlaku bagi semuanya.
Lantas
apakah Hal-hal yang PASTI itu?
1. Menjadi tua.
Semua
orang menjadi tua. Kita pun mengalaminya setiap hari. Jadi sangat mudah
dimengerti.
2. Mengalami
sakit
Meskipun
pada jaman ini teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan semakin signifikan,
namun siapa yang belum pernah mengalami sakit? Semua orang pernah mengalaminya.
Jadi hal ini juga mudah dimengerti.
3. Kematian.
Kita
tahu bahwa kita semua juga akan mati. Tidak pernah ada satu orang pun, dari
jaman dulu hingga sekarang, yang hidup terus dan tidak pernah mati. Maka walau
kematian belum datang, tetapi kita tahu bahwa suatu saat kematian PASTI akan
datang. Ini juga mudah dimengerti.
4. Bahwa
semua akan berpisah dengan yang dicintainya.
Pasti
semua pernah mengalami kehilangan sanak saudara yang dicintai. Suami dan istri,
orang tua dan anak, teman-teman, suatu saat juga akan berpisah dari diri kita.
Itu semua adalah hal yang pasti.
5. Hukum Kamma.
Bahwa
semua orang akan memetik buah dari akibat perbuatannya itu sendiri.
Anda
tidak perlu percaya, baru hukum itu akan berlaku bagi anda. Terserah dan tidak
peduli anda percaya atau tidak, menerima atau menolak, hal -hal yang PASTI tadi
itu tetap akan berlaku bagi siapapun juga.
Tetapi
anehnya, kita mengerti hal-hal yang PASTI itu, mudah sekali dipahami, namun
kita sulit untuk menerimanya. Siapa yang sudah siap menjadi tua, sakit apalagi
mati? Takutnya luar biasa, jika bisa ingin menghindari atau menolaknya. Padahal
jelas-jelas hal itu tidak mungkin dihindari ataupun ditolak.
Sebaliknya,
setelah melakukan perbuatan baik, kita mengerti bahwa kita akan memetik buah
kamma dari perbuatan baik itu. PASTI akan datang pada waktunya. Namun kita
seringkali berharap-harap cemas, meminta-minta, kapan buah kamma baik itu akan
diterima.
Contoh
sederhananya begini : Kita tahu dengan pasti bahwa besok, matahari akan terbit
di sebelah timur. Itu adalah HAL yang PASTI. Jika kita sudah tahu dan yakin
bahwa matahari pasti akan terbit besok di sebelah timur, apakah kita akan berdoa
dan memohon-mohon agar besok matahari terbit di timur? Tentu tidak bukan.
Apa
tidak boleh Bhante, saya mengharapkan dan memohon setelah melakukan perbuatan
baik. Tentu saja boleh. Tetapi, jika anda tahu bahwa perbuatan baik pasti
menghasilkan buah kamma yang baik, untuk apa anda mencemaskannya, seperti memohon esok matahari terbit di sebelah timur? Tanpa dimintapun,
hal itu akan terjadi. Namun perlu dicatat, bahwa semuanya akan membawa akibat
atau berbuah sebagaimana mestinya, bukan harus selalu sesuai dengan keinginan
Anda.
Hal yang
kedua, adalah HAL yang TIDAK PASTI. Bagaimana kita berperilaku, bersikap, mengisi
hidup kita itu adalah hal-hal yang TIDAK PASTI. Bagaimana kita menghadapi dan
menangani hal-hal yang pasti (tua, sakit dan mati), itu adalah hal-hal yang
TIDAK PASTI. Ini penting sekali.
Hal-hal
yang PASTI, jelas tidak bisa diubah. Namun kita dapat mengubah hal-hal yang
TIDAK PASTI. Karena itu, daripada kita mencemaskan hal-hal yang PASTI, lebih
baik kita memikirkan apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap hal-hal yang
tidak pasti ini. Sudahkah kita mengendalikan pikiran, ucapan dan berperilaku
benar? Sudahkah kita berdana, menjaga sila dan menjalankan kemoralan? Saat
kamma buruk datang, saat usia menua, penyakit tiba dan kematian menyapa,
sudahkah kita siap menghadapinya?
Ini
lebih penting daripada anda mencemaskan tentang semua hal itu, tanpa berbuat
apa-apa untuk mempersiapkan diri. Lebih penting daripada mengharapkan perbuatan
baik berbuah, yang mana itu hanya akan menjadi kekotoran batin saja.
Lantas
bagaimana cara kita mempersiapkan diri menghadapi hal-hal yang pasti tadi?
Menghadapi tua, sakit dan mati? Memang tidak mudah, namun bisa latih.
Caranya?
Dengan berdana, menjaga sila dan terus berbuat baik.
Bhante
mengatakan bahwa berdana adalah SALAH SATU CARA (bukan satu-satunya cara) untuk
mengurangi kekotoran batin. Kalau kekotoran batin berkurang, maka penderitaan juga
akan berkurang. Kalau penderitaan berkurang, maka kebahagiaan bertambah.
Tetapi, untuk itu, anda harus memiliki PENGERTIAN YANG BENAR tentang
berdana. Tujuan dari berdana tersebut harus sudah berbeda, harus sudah lebih
tinggi. Tujuan anda berdana, bukan lagi untuk mendapatkan kamma baik, hokki,
keselamatan, sanjungan atau bahkan surga.. Harus lebih tinggi dari itu semua.
Tetapi dengan menyadari,
bahwa dengan berdana, anda bertekad (memiliki tujuan) untuk mengurangi
kekotoran batin, kemelekatan, kemarahan, kebencian, kebodohan. Berdana untuk
latihan melepas.. Sehingga saat kita mengalami kerugian, berpisah dengan yang
dicintai, tua, sakit, mati, kita sudah siap -dan tidak takut lagi.. Bisa
menerima hal itu sebagaimana adanya dan tidak perlu mengalami penderitaan
karena batin tenang dan seimbang.
Hanya jika kita
berdana dengan tujuan dan pemikiran yang benar, maka berdana bisa mengurangi
kotoran batin, dan pada akhirnya membebaskan kita dari penderitaan.
Selamat Hari Raya Kathina.
Dan mari mulai memiliki pengertian
berdana yang sesungguhkan.
Semoga semua
makhluk berbahagia.
Sumber :
Buc Pusat Note, 5 November 2011
Ringkasan
Dhammadesana Ktahina 4 November 2011
Vihara
Buddha Sasana Kelapa Gading
Membuka
Pintu Hati
Rasa Takut dan Rasa Sakit
CABUT GIGI SENDIRI
|
Seorang
anggota komunitas kami mempunyai gigi yang sangat buruk. Dia perlu mencabut
beberapa giginya, tetapi dia lebih suka melakukannya tanpa dibius. Akhirnya,
dia menemukan seorang ahli bedah gigi yang bersedia mencabut giginya tanpa
pembiusan. Dia telah ke sana beberapa kali, dan tak ada masalah.
Membiarkan
gigi dicabut tanpa pembiusan oleh dokter gigi mungkin lumayan mengesankan,
tetapi tokoh kita ini ternyata lebih mengesankan lagi. Dia berani mencabut
sendiri giginya tanpa pembiusan.
Kami
melihatnya, di luar bengkel vihara, dengan sebuah tang biasa, dia memegang gigi
segar yang baru dicabutnya dan masih berlumur darah. Tak masalah: dia
membersihkan darah dari tang itu sebelum mengembalikannya ke bengkel.
Saya
bertanya kepadanya bagaimana dia melakukan hal itu. Apa yang dia katakan
memberikan satu contoh lagi tentang rasa sakit sebagai faktor utama dari rasa
takut.
"Ketika saya memutuskan untuk mencabut sendiri gigi saya kok
repot-repot ke dokter gigi segala itu tidak menyakitkan. Ketika saya berjalan
menuju bengkel, itu tidak menyakitkan. Saat saya mengambil tang, itu tidak
menyakitkan. Ketika saya menjepit gigi dengan tang, itu masih tidak
menyakitkan. Ketika saya menggeliatkan tang dan mencabut giginya, itu baru
menyakitkan, tetapi cuma beberapa detik saja. Saat gigi sudah tercabut, tak ada
lagi rasa sakitnya. Rasa sakitnya hanya lima detik saja. itu saja kok."
Anda, para pembaca, mungkin akan meringis ketika membaca kisah
nyata ini. Karena takut, barangkali Anda akan merasa lebih kesakitan ketimbang
dia! Jika Anda mencoba cara yang sama, itu mungkin akan sangat menyakitkan,
bahkan sebelum Anda mengambil tang dari bengkel. Antisipasi rasa takut adalah
faktor utama dari rasa sakit.
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN
TULISAN
BHIKKHU
DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
Liberation, Relevance Of
Sutta-Vinaya
KEBEBASAN SEMPURNA :
PENTINGNYA SUTTA - VINAYA
Namo Tassa Bhagavato
Arahato Samma Sambuddhassa
PENDAHULUAN
Pada
masa sekarang ini, terdapat perkembangan beragam buku-buku Buddhis. Mempelajari
buku-buku ini secara tidak terelakkan akan mengakibatkan para pembaca mengikuti
beberapa pandangan dan interpretasi pribadi para penulis terhadap apa yang
sebenarnya Buddha ajarkan, yang bisa membawa pada pandangan salah. Di
pihak lain, ada beberapa guru meditasi yang menasehatkan murid-murid mereka
untuk sama sekali tidak belajar Dhamma tetapi hanya bermeditasi.
Sebenarnya apa yang mereka sarankan kepada murid-murid mereka adalah hanya
untuk mendengarkan mereka saja. Menghindari kedua ekstrim ini, kita harus
melatih jalan tengah yang diajarkan Buddha - menyelidiki/meneliti
ajarannya dan berlatih sebaik mungkin Jalan Ariya Berunsur Delapan,
seperti yang Beliau nasehati. Pentingnya khotbah Buddha untuk praktek Dhamma,
bagi umat awam maupun para bhikkhu hampir tidak dapat
dilebih-lebihkan.
Buddha memperingatkan
masa depan ketika orang-orang akan menolak untuk mendengarkan khotbahnya
(Sutra). Samyutta Nikaya Sutta 20.7 berisi : "... di masa depan,
sutta-sutta yang diucapkan oleh Tathagata, yang mengandung arti yang sangat
dalam & halus, melampaui hal-hal duniawi, berhubungan dengan
kekosongan : kepada hal-hal ini, ketika diucapkan, mereka tidak akan mendengar,
tidak mengkondisikan telinga yang siap untuk mendengar, tidak bersedia
untuk memahami, mengulangi, dan menguasainya. Tetapi khotbah-khotbah yang
dibuat oleh penyajak/penyair, yang merupakan puisi/persajakan belaka,
pencampuran dari kata-kata dan ungkapan-ungkapan, yang bertentangan (di luar
ajaran Buddha), ungkapan para pemula : kepada hal-hal ini, ketika diucapkan,
mereka akan mendengar, akan mengkondisikan telinga yang siap untuk mendengar,
bersedia untuk memahami, mengulangi, dan menguasainya. Demikianlah, para bhikkhu,
bahwasanya, sutta-sutta yang diucapkan oleh Tathagata, mengandung
arti yang sangat dalam & halus, melampaui hal-hal duniawi, berhubungan
dengan kekosongan, akan hilang. Oleh karena itu, para bhikkhu, latihlah diri
kalian demikian : kepada sutta-sutta inilah kami akan mendengar, mengkondisikan
telinga yang siap untuk mendengar, memahami, mengulangi dan menguasainya."
Daripada
sutta-sutta itu sendiri, banyak yang lebih menyenangi untuk mempelajari
buku-buku lain atau mendengarkan ajaran lain, yang mungkin tidak konsisten
dengan Sutta. Hasil yang merusak berdampak pada dua hal :
Sutta-sutta
akan hilang, dan
Orang-orang
akan memperoleh pemahaman yang salah tentang
Dhamma.
NIKAYA
Sutta-sutta
terdapat di dalam Sutta Pitaka (Kumpulan khotbah), mencakup
lima kumpulan (Nikaya-nikaya). Di antara ini, ke-empat yang pertama
adalah :
Digha
Nikaya terdiri dari tiga buku dengan khotbah-khotbah yang panjang isinya
(34 Sutta);
Majjhima
Nikaya terdiri dari tiga buku dengan khotbah-khotbah yang
menengah-panjang isinya (152 Sutta);
Samyutta
Nikaya berisi sekitar 2000 khotbah-khotbah pendek dalam lima buku; dan
Anguttara
Nikaya berisi sekitar 2000 khotbah-khotbah pendek dalam lima buku.
Khuddaka
Nikaya, yang kelima, adalah kumpulan yang 'minor' atau 'kecil'. Walaupun
dinyatakan "kecil", pada kenyataannya adalah yang terbesar
dimana banyak buku telah ditambahkan di dalamnya selama berjalannya waktu. Buku
tersebut telah berkembang menjadi 15 buku menurut versi Thailand dan Sri Lanka.
Pada tahun 1956, Sidang Sangha di Burma menambahkan tiga buku lainnya,
yang bukan merupakan kata-kata Buddha sendiri. Ketiga tambahan tersebut adalah Milinda
Panha, Petakopadesa dan Nettipakarana. Demikianlah halnya Khuddaka
Nikaya berkembang dari kumpulan kecil menjadi kumpulan besar dalam masa
berabad lamanya! Di masa depan, katakan dalam kurun waktu 500 atau 1000 tahun,
ini pasti akan menciptakan bahkan lebih banyak kebingungan. Di luar dari
delapan belas buku yang ada sekarang ini, dalam versi Burma, hanya enam saja
yang dapat diandalkan, dimana mereka tidak bertentangan dengan keempat Nikaya.
Keenam buku yang bisa diandalkan itu adalah Dhammapada, Sutta Nipata,
Theragatha, Therigatha, Itivuttaka, dan Udana.
Sebagai umat Buddhis, kita seharusnya mengenali sutta-sutta dan
jika mungkin, mempunyai pegangan buku sendiri. Adalah fakta yang menyedihkan
dimana kita jarang menemukan umat Muslim tanpa Quran atau umat Kristen tanpa
Alkitab, tetapi masih saja kita temui banyak umat Buddhis tanpa memiliki buku Nikaya.
---
oOo ---
Penerjemah
:
Yuliana
Lie Pannasiri, MBA
Penyunting
:
Nana
Suriya Johnny, SE
Andromeda
Nauli, Ph.D
Kitab Suci Agama Buddha bagian dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H.
Saddatissa
11. MUNI SUTTA
Sang Pertapa
Puji-pujian terhadap kehidupan menyendiri yang penuh dengan
pengendalian diri
1 Rasa takut muncul karena
keintiman. Nafsu indera terlahir dari kehidupan berumah-tangga. Karena itu,
keadaan tak-berumah dan ketidakmelekatan dihargai oleh para bijaksana. (207)
2 Orang yang memotong kekotoran
batin yang telah muncul dan tidak mau menanamnya lagi, serta yang tidak mau
masuk ke dalam apa yang sedang tumbuh, dia disebut orang bijaksana yang
berkelana sendiri. Guru agung itu telah melihat Keadaan Damai [Nibbana]. (208)
3 Setelah memeriksa tanah,
setelah membuang benih dan tidak menyiramnya sehingga benih itu tidak tumbuh,
setelah meninggalkan tipu muslihat, orang bijak yang telah melihat akhir
kelahiran tidak dapat digambarkan menurut kategori secara pasti. (209)
4 Dia yang telah mengetahui
segala jenis kelahiran, tetapi tidak memiliki nafsu untuk masuk ke dalam salah
satu darinya, orang bijak seperti itu telah terbebas dari keserakahan dan nafsu
keinginan. Dia tidak lagi perlu berjuang keras, karena dia telah mencapai
pantai seberang [Nibbana]. (210)
5 Orang yang telah mengatasi
segalanya, yang mengetahui segalanya, yang cerdas, yang tidak melekat pada
obyek apa pun, yang telah meninggalkan segalanya, yang telah membebaskan
dirinya dengan cara menghancurkan nafsu keinginan, disebut orang suci oleh para
bijaksana. (211)
6 Orang yang memiliki kekuatan kebijaksanaan,
yang terlahir dari peraturan-peraturan moralitas serta pengendalian diri, yang
tenang pikirannya dan bergembira di dalam meditasi, yang penuh perhatian, bebas
dari kemelekatan, bebas dari pikiran yang tak terlatih, dan bebas dari apa yang
meracuni2, disebut.... (212)
7 Orang bijak yang berkelana
sendiri, yang tekun dan tidak goyah oleh pujian maupun celaan, yang tidak takut
oleh suara seperti singa, yang tidak terperangkap di dalam jaring seperti
angin, yang tidak dikotori air seperti teratai, yang memimpin orang lain dan
tidak dipimpin oleh orang lain, disebut.... (213)
8 Orang yang kokoh, bagaikan
tiang di tempat pemandian, yang terkendali ketika mendengar apa yang dikatakan
orang lain, yang tidak memiliki nafsu, yang inderanya terjaga baik, disebut....
(214)
9 Orang yang berpikiran teguh dan
lurus bagaikan puntalan datar, yang memandang rendah tindakan-tindakan jahat,
yang menyelidiki apa yang baik dan buruk, disebut.... (215)
10 Orang yang memiliki
pengendalian diri dan tidak melakukan kejahatan, orang bijaksana seperti itu,
tak peduli apakah masih muda atau setengah baya, yang pikirannya terkendali
dengan baik, yang tidak tergoda dan tidak menggoda yang lain, disebut.... (216)
11 Bhikkhu yang bergantung kepada
orang-orang lain, yang tidak memuji atau mencela si pemberi ketika menerima
sedekah baik dari [porsi] atas, atau [porsi] tengah, atau sisanya, dan yang
tidak memuji-muji dengan kata-kata manis atau memperlakukan dengan tidak
hormat, disebut.... (217)
12 Orang bijak yang berkelana sendiri,
yang tidak melakukan keintiman seksual, yang bahkan pada masa mudanya tidak
terikat pada apa pun, yang telah menjauhkan diri dari kesombongan dan
kemalasan, disebut.... (218)
13 Orang yang telah mengenal
dunia, yang telah memahami Kebenaran tertinggi, yang telah menyeberang banjir
dan lautan [dumadi], yang telah memotong ikatan [tumimbal lahir], yang tidak
memiliki keterikatan terhadap obyek-obyek indera, yang bebas dari racun-racun,
disebut.... (219)
14 Orang bijak yang terbiasa hidup
di tempat-tempat terpencil, yang tanpa ego serta baik perilakunya, dibandingkan
dengan perumah-tangga yang menyokong keluarga
mereka tidak setara, karena perumah-tangga tidak terkendali dan
menghancurkan makhluk hidup; sedangkan orang bijak terkendali dan melindungi
makhluk hidup. (220)
15 Burung merak berleher biru yang
terbang membubung di angkasa tidak pernah mendekati kecepatan angsa. Demikian
pula, perumah-tangga tidak pernah dapat menyamai bhikkhu yang memiliki
sifat-sifat orang bijak yang bermeditasi, menyendiri, di hutan. (221)
Catatan
1. Orang yang telah bersumpah untuk tidak berbicara, orang suci,
orang bijaksana. Istilah ini berlaku bagi siapa pun yang telah mencapai
pandangan terang, memiliki pengendalian diri dan kesempurnaan.
2. Racun -- asava: nafsu indera (kamasava), nafsu
untuk proses kehidupan (bhavasava), kurangnya pengetahuan yang lebih
tinggi atau kebodohan (avijjasava), dan pandangan-pandangan (ditthasava).
Lihat H. Saddhatissa Buddhist Ethics, hal. 83, catatan kaki 2.
3. Dari nomor 6 sampai 13,
setiap bait berakhir dengan pengulangan, 'disebut orang suci oleh para
bijaksana'.
--- oOo
---
100 TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO
Dari : Lina, Canada
Namo Buddhaya Bhante,
Saya mempunyai beberapa
pertanyaan:
1. Setelah membaca Forum Tanya
Jawab sebelumnya tentang 'dewa lokal', saya menjadi sedikit bingung. Saya
mempunyai area dan gambar Sang Buddha yg biasa saya jadikan objek saat saya membaca
paritta dan meditasi. Apakah itu berarti akan lebih baik kalau saya tidak usah
menggunakan obyek-obyek seperti itu saat membaca paritta di rumah ?
2. Kadang-kadang beberapa
bhikkhu ataupun umat di vihara suka memberi hadiah berupa gambar Sang Buddha,
majalah-majalah Dhamma, atau juga Liontin Sang Buddha. Saya sudah punya cukup
banyak, tapi saya tidak enak kalau menolak. Sekarang hadiah-hadiah itu jadi
terlalu banyak, tetapi saya tidak tahu mau diapakan. Kalau dibuang begitu saja,
apakah pantas, terutama Liontin-liontin yang berbentuk Buddha ?
3. Bila ada teman saya yang
ingin mengetahui / belajar tentang agama Buddha, apakah yang pertama kali
sebaiknya saya jelaskan untuk
menggambarkan Agama Buddha secara tidak bertele-tele dan membingungkan untuk mereka ? Terima kasih Bhante.
Jawaban:
1. Tujuan seorang umat
Buddha mengadakan altar Sang Buddha dan membiasakan membaca paritta di depan
altar tersebut adalah agar ia dapat merenungkan berbagai sifat luhur dan Ajaran
Sang Buddha. Dengan perenungan ini, ia dapat selalu berusaha memperbaiki
perilaku, ucapan serta pikirannya agar sesuai dengan Buddha Dhamma. Keberadaan
'dewa lokal' di sekitar altar Sang Buddha hendaknya jangan dijadikan tujuan
pengadaan altar. Biarkan saja 'dewa lokal' muncul ataupun tidak muncul di altar
Sang Buddha. Oleh karena itu, seorang umat Buddha tidak perlu menyingkirkan berbagai
obyek konsentrasi berupa area, gambar dan sebagainya karena obyek konsentrasi
adalah tetap obyek konsentrasi tanpa maupun dengan adanya 'dewa lokal'.
2. Sungguh berbahagia mempunyai berbagai macam gambar Buddha maupun
majalah Buddhis yang belum tentu dimiliki oleh setiap umat Buddha. Oleh karena
itu, apabila memang dirasa sudah terlalu banyak memiliki barang seperti itu, boleh
saja barang-barang tersebut dibagikan kepada para umat Buddha yang lain.
Barang-barang tersebut dapat dibawa ke vihara terdekat untuk dibagikan kepada
para murid Sekolah Minggu Buddhis ataupun dibagikan ke berbagai vihara di lain
daerah. Seperti telah diketahui bersama bahwa cukup banyak vihara di daerah
yang kekurangan bahan bacaan Dhamma maupun gambar-gambar Sang Buddha. Kepada
merekalah barang-barang ini dapat bermanfaat untuk membangkitkan semangat
mempelajari serta melaksanakan Buddha Dhamma.
3. Apabila ada seseorang
yang ingin mengetahui secara singkat tentang Agama Buddha, maka kepada orang
itu dapat dijelaskan tentang INTISARI AJARAN SANG BUDDHA yaitu :
a. Kurangi kejahatan.
b. Tambah kebajikan, dan
c. Sucikan pikiran.
Tiga
pokok Ajaran yang menjadi intisari Ajaran Sang Buddha ini dapat diuraikan satu
persatu sesuai dengan kebutuhan yang hendak dimengerti oleh si penanya. Makin
banyak hal yang ditanyakan, makin panjang pula uraian setiap bagiannya. Semakin
sedikit pertanyaannya, semakin sedikit pula keterangan yang diberikan, tanpa
perlu uraian yang bertele-tele.
Semoga dengan memahami intisari Ajaran Sang Buddha ini akan
semakin mudah menerangkan Dhamma kepada berbagai pihak yang ingin mengetahui
keluhuran Buddha Dhamma. Semoga selalu bahagia.
--- oOo
---
|
Setitik Cahaya di Balik
Kabut
Memupus
Kebencian
Mengembangkan
Kasih
Pandita Dr. R. Surya Widya, Sp.Kj
Wednesday,
October 7,2009 at 2:39pm
Katanya
permusuhan antara orang Israel dan Palestina tidak mungkin dipadamkan,
demikianlah telah "tertulis".
Thic Nhat Nanh, seorang biksu
Vietnam yang berdomisili di Paris mencoba "membantah" pernyataan
diatas, demikian tutur Ramani Camellia Darmawan kepada saya. Selanjutnya beliau
bercerita bahwa biksu Vietnam itu lalu berusaha mempertemukan 10 orang Israel
dan 10 orang Palestina dalam suatu ruangan yang khusus disiapkan untuk
keperluan itu. Pada pertemuan pertama, kedua kelompok manusia yang
"bermusuhan" itu tidak mau saling melihat, kalau toh terpaksa
melihat, matanya penuh dengan kemarahan dan kebencian. Juga tidak mau salaman,
apalagi tempel pipi!
Pada pertemuan kedua dan seterusnya
Biksu Thic Nhat Hanli mempersilahkan agar mereka mengungkapkan perasaan mereka
masing-masing. Ternyata apa yang terucap adalah kisah sedih semata, ada yang
bercerita bagaimana ibunya kena rudal dan meninggal dunia, ada yang bercerita
anaknya mati kena bom bunuh diri ketika mau berangkat sekolah, pendek kata
semuanya menceritakan kisah duka yang menyayat hati. Setelah sekian kali
pertemuan ternyata timbul kesadaran, bahwa semua pihak, baik pihak Israel
maupun pihak Palestina sebetulnya sama-sama menderita, sama-sama kehilangan
anggota keluarga yang dicintai, sehingga kemudian timbul rasa sependeritaan dan
rasa sepenanggungan, dan selanjutnya muncul rasa simpati yang mendalam kepada
pihak lain dan akhirnya terbitlah secuil rasa persahabatan.
Pada pertemuan terakhir mereka
berpisah dengan berlinang air mata, bersalaman, berpelukan dan menempelkan pipi
mereka masing-masing kepada pihak "lawan". Ini adalah kisah nyata.
Kebencian bisa dihapus dengan
kasih sayang, tentunya dengan berdasarkan pengertian yang benar.
Siapa lagi mau mencoba ??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar