Tegal, 24 Juli 2013
No
: 71, Tahun Ketujuh
Penasehat : Ketua Yayasan Metta Jaya ( Loe Lian Phang )
Penanggung Jawab : Ketua
Dayakasabha Metta Vihara Tegal ( Lie
Ing Beng )
Pimpinan Redaksi : Ibu Tjutisari
Redaksi
Pelaksana : 1. Ibu Pranoto 4. Liliyani
2. Suriya Dhammo 5.
Sumedha Amaravathi
3. Ade Kristanto 6. Lie Thiam Lan
Alamat Redaksi : Metta Vihara
Jl. Udang
No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688 an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
DHAMMAPADA ATTHAKHATA
Bab
II - Syair 28
Bilamana
orang bijaksana telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan
bebas dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan dan memandang
orang-orang yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri di
atas gunung memandang mereka yang berada di bawah.
BAB II – Syair
28
Kisah Mahakassapa
Thera
Suatu waktu ketika Mahakassapa Thera tinggal di gua Pipphali,
beliau menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kesadaran batin aloka kasina
dan mencoba untuk memperoleh kemampuan batin mata dewa, mengetahui siapa yang
waspada dan siapa yang lengah, juga siapa yang mati dan akan dilahirkan.
Sang Buddha, dari vihara, mengetahui melalui kemampuan batin mata
dewa Beliau, apa yang dikerjakan oleh Mahakassapa Thera dan ingin mengingatkan
bahwa apa yang dia lakukan hanyalah menghabiskan waktu. Maka Beliau menampakkan
diri di depan thera tersebut dan berkata, "Anakku Kassapa, jumlah
kelahiran dan kematian makhluk hidup tak terhitung dan tak dapat dihitung. Hal
ini bukan tugasmu, hal ini adalah tugas para Buddha."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 28 berikut ini :
Bilamana orang
bijaksana telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan bebas
dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan dan memandang orang-orang
yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung
memandang mereka yang berada di bawah.
--- oOo ---
SEKAPUR SIRIH
Purnama bulan ketujuh penanggalan lunar atau sering disebut
penanggalan imlek yaitu Cit Gwee Cap Go menurut tradisi adalah sembahyang
rebutan, umat Buddha sering menggunakan saat itu sebagai upacara Pattidana atau
pelimpahan jasa kepada leluhur yang telah mendahului kita.
Sejarah Pattidana dapat diikuti dalam tulisan :
1. Tirokhuda Sutta
2. Abhayadana karya dr. Dharma K. Widya
3. 100 Tanya Jawab B. Uttamo Mahathera.
Sajian buletin kesayangan kita Brivi Metta Vihara edisi Juli 2013
hadir dengan artikel Dhamma tulisan YM. Sri Panyavaro Mahathera dengan judul
Tantangan Iman Era Teknologi menarik untuk disimak.
Ajahn Brahm guru si cacing dan kotoran kesayangannya menulis : “Apakah
Rasa Takut Itu”. Segenggam Daun Bodhi tulisan Bhikkhu Dhammavudho Mahathera
memasuki kebenaran mulia kedua yaitu : PENYEBAB. Dapat anda ikuti Kitab Suci
Khuddaka Nikaya, Sutta Nipata dengan judul “Metta Sutta”.
Cerita inspiratif tentang Buddha di rumah sebuah uraian yang
sangat baik dalam kehidupan sehari-hari.
Setitik Cahaya di Balik Kabut karya Pandita Dr. R. Surya Widya,
Sp.KJ. Cara hidup yang benar dari tempat gelap pergi ke tempat terang, dari
tempat terang pergi ke tempat yang lebih terang. Sebuah uraian yang sangat
bagus untuk membawa batin kita berubah menjadi lebih baik dan menjadi lebih
bijaksana asal kita mau berusaha untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga sajian Brivi Metta Vihara dapat membawa manfaat bagi kita
sebua.
Semoga dengan kekuatan TIRATANA, Buddha Dhamma dan Sangha, dengan
kekuatan karma baik kita, kehidupan kita semakin baik, sehat dan bahagia.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Metta Cittena,
Redaksi
--- oOo ---
DANA
Dayakasabha
Metta Vihara Tegal telah menerima dana dari :
1. Almh. Ibu Tan Kwie Wen Rp
500.000,-
2. Bpk Sien Cay & Ibu Tjioe Hiang Giok Rp
300.000,-
3. Kel. Tjoe Tjai Kwang (Toko Pilar Jaya) Rp
100.000,-
4. Bpk. Kho Sioe Han Rp 200.000,-
Dana Konsumsi
1.
Ibu Thio Hong
2.
Ibu Liem Tjie Kwie
3.
Ibu Puspa Minarti
4.
Ibu Tjutisari
5.
Ibu Sri Rahayu
6.
Ibu Elsye
Semoga kebajikan yang telah
Bapak / Ibu / Saudara lakukan mendapat berkah keselamatan, kesehatan dan bahagia.
YAYASAN
METTA JAYA
METTA VIHARA
Jl.
Udang No. 8 ( (0283) 323570 Tegal
PATTIDANA
Dengan
melakukan perbuatan baik pada leluhur atau makhluk lain, adalah salah satu cara
mempraktekkan ajaran kebenaran (Dhamma). Kebaikan yang kita lakukan akan berpengaruh
pada diri sendiri dan leluhur kita yang terlahir di alam menderita.
Ada petuah jasa orang
tua / para leluhur tidak dapat dibalas dengan apapun, kecuali dengan rasa bakti
dan kasih kita sebagai anak terhadap mereka, merupakan kewajiban kita memberi
penghormatan dan membuat jasa kebajikan dan melimpahkan / mengirim jasa
kebajikan kepada para leluhur kita yang sudah tiada.
Ketika
Raja Bimbisara mengundang Sang Buddha dan Siswanya untuk berdana dan
mendengarkan Dhamma, malam harinya Raja Bimbisara terganggu dengan suara-suara
bising di sekitar istananya. Raja bertanya kepada Sang Buddha, dijelaskan bahwa
makhluk-makhluk di sekitar istana adalah leluhur Raja Bimbisara yang terlahir
di alam menderita, menunggu pelimpahan jasa dari Raja Bimbisara agar mereka
dapat terbebas dari alam menderita.
Suatu
kesempatan baik bagi kita bisa memberi kasih dan rasa bakti kepada leluhur
kita, dengan berbuat kebajikan dan melimpahkan jasa kebajikan dalam upacara
Pattidana yang akan kami selenggarakan pada :
Hari/Tanggal :
Sabtu, 31 Agustus 2013
Waktu :
Pukul 18.00 WIB - selesai
Tempat :
Metta Vihara, Jl. Udang No. 8 Tegal
Acara pk 18.00-19.00 : 1.
Sembahyang di Stupa
2. Sembahyang kepada leluhur di Ruang
Penghormatan Leluhur Adiguna Sarana
3.
Ramah Tamah
Pk 19.00 - selesai 4. Puja
Bhakti di Dhammasala
Dhammadesana oleh : Bhikkhu Dhammavijayo
Mahathera
Untuk Upacara
Pattidana kami akan menyediakan :
· PAKET I Rp 500.000,-
(Lima Ratus Ribu Rupiah) disediakan satu meja khusus dupa, lampu minyak, makanan
dan buah-buahan tersendiri.
· PAKET II Rp 75.000,-
(Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) satu nama Almarhum, disediakan satu meja untuk
masal.
Bagi yang berminat dapat menghubungi
Panitia Pattidana :
1. Metta Vihara
Jl.
Udang No. 8 Telp. (0283) 323570 Tegal
2. Bp. Lukman Susilo (Apotik Nasional)
Jl.
P. Diponegoro 119 Telp. 356628 Tegal
3. Bp. Lie Ing Beng (Toko Mira)
Jl.
HOS Cokroaminoto 69 Telp. 353005 Tegal
4. Ibu Yuningsih Pranoto
Jl.
Cendrawasih No. 17 Tegal Telp. (0283) 351238
5. Ibu Tusita Wijaya
Jl.
Salak 123 Tegal Telp. (0283) 353685
6. Ibu Ang Siu Lan
Jl.
Udang No. 7 Tegal Telp. (0283) 356313
7. Ibu Lie Thiam Lan
Jl.
Rambutan Raya 11 Tegal HP. 087730580990
8. Bp.
Suriyadhammo
Jl. KH. Nakhrawi 10 Tegal HP.
085727489261
Dana
dapat anda transfer ke : BCA No Rek : 0479073688
an.
YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
Anumodana
kami ucapkan kepada Bapak/Ibu/Saudara atas partisipasinya dalam upacara ini,
semoga para leluhur kita dapat terlahir kembali di alam kebahagiaan. Demikian
juga Bapak/Ibu/Saudara selalu dalam keadaan sehat walafiat, banyak rejeki,
sukses dan bahagia bersama keluarga.
Metta Cittena
DAYAKASABHA METTA
VIHARA TEGAL
Ttd ttd
Lie Ing Beng Suriyadhammo
Ketua Sekretaris
ABHAYA DANA
Pdt. dr. Dharma K. Widya
Sumber : Permata Dharma edisi 22
1.
Belum lama ini seorang teman berkata.
"Hari Minggu ini, kami umat vihara akan melepas binatang di sungai".
Tentu saja yang akan dilepas adalah binatang yang hidup di dalam air, seperti
ikan atau belut. Ada juga orang yang melepas burung, dengan maksud agar burung
itu mendapatkan kebebasan dalam hidupnya. Apakah melepas binatang yang tadinya
terkurung merupakan dana?
2.
Berbicara tentang dana, dalam agama Buddha
dikenal tiga jenis dana. Yang pertama adalah Amisa Dana, dana dengan materi
yang merupakan pelaksanaan paling mendasar dalam dana. Meliputi dana empat
kebutuhan pokok untuk para bhikkhu yaitu makanan, jubah, tempat tinggal dan
obat-obatan. Untuk yang bukan bhikkhu, tentu selain empat kebutuhan pokok ini,
dapat diberikan berupa uang atau barang-barang kebutuhan lain. Termasuk pula
persembahan sebagai penghormatan kepada Sang Buddha seperti bunga, buah, dupa,
lilin atau penerangan dan persembahan lain. Meliputi juga pemberian pelayanan,
waktu dan keterampilan untuk menolong orang-orang, kerja sukarela untuk
kegiatan sosial dan keagamaan. Dengan melaksanakan Amisa Dana maka seseorang
akan berkurang rasa keserakahannya, dan rasa mementingkan diri sendiri. Orang
tersebut akan memperoleh kebahagiaan, kekuatan, kehidupan yang baik dan
kedamaian.
3.
Yang kedua adalah Abhaya Dana. Kata Abhaya
berarti tidak takut (fearless), merupakan dana dengan melakukan perbuatan yang
menyelamatkan kehidupan makhluk hidup seperti binatang yang akan dipotong,
memberikan keselamatan bagi mereka yang sedang menderita karena ancaman bahaya
api atau banjir, melepaskan orang-orang yang terkurung, menyembuhkan
orang-orang yang sedang menderita sakit, menyumbangkan darah atau kornea mata
juga organ tubuh lainnya, termasuk pula perbuatan sederhana seperti melepaskan
burung atau binatang lainnya (yang terkurung) dari sangkarnya. Dengan
melaksanakan Abhaya Dana, maka seseorang akan memperoleh umur panjang dan
terbebas dari musuh.
4.
Yang ketiga adalah Dhamma Dana, yaitu membantu
seseorang dalam perkembangan spiritualnya agar ia dapat mengerti Dhamma,
mengerti apa yang baik dan apa yang tidak baik. Membabarkan Dhamma,
menyelenggarakan kelas Dhamma, membuat tulisan tentang Dhamma dan melakukan
segala upaya untuk menyebarkan Dhamma, merupakan Dhamma Dana. Dana ini dianggap
sebagai dana yang tertinggi. Dinyatakan dalam Dhammapada 354 : Sabbadanam
Dhammadanam jinati (Dana Dhamma melebihi semua dana lainnya).
5.
Ada cerita tentang Pangeran Siddhattha yang
sedang berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta
yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burung belibis terbang di
udara. Devadatta membidikkan anak panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh
ke tanah. Pangeran Siddhattha bergegas menghampiri belibis yang terluka itu.
Dengan penuh kasih sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun
yang diremas. Devadatta meminta belibis itu, tetapi Pangeran Siddhattha tidak
mau memberikannya. Menurut Pangeran, bila belibis itu mati maka ia menjadi
milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup, maka ia menjadi milik
dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi menghadap ke
Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan. Dewan memutuskan bahwa hidup
adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya, dan bukan milik dari orang
yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu menjadi milik
Pangeran Siddhattha. Setelah sembuh maka belibis itu dilepaskan kembali oleh
Sang Pangeran. Menyelamatkan burung itu merupakan Abhaya Dana yang dilakukan
oleh Pangeran Siddhattha.
6.
Karena iri Devadatta yang jahat ingin
mencelakai Sang Buddha. Di jalan yang akan dilalui Sang Buddha, dilepaskannya
gajah Nalagiri yang besar dan buas yang sengaja telah dibuat mabuk. Ketika
gajah itu berlari menuju Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan
dirinya di antara Sang Buddha dan gajah. la bermaksud melindungi Sang Buddha,
meskipun Sang Buddha telah memperingatkannya untuk tidak berbuat demikian.
Dengan menggunakan kekuatan gaib-Nya yaitu membuat bumi mengerut, Sang Buddha
berada di depan Ananda. Dengan posisi tangan Abhaya Mudra dan cinta kasih yang
dipancarkan Sang Buddha, gajah tersebut segera saja menjadi jinak. Gajah itu
pun berlutut di hadapan Sang Buddha. Abhaya Mudra adalah posisi tangan dengan
tangan kanan terangkat setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke depan dengan
jari tangan mengarah ke atas.
7.
Abhaya Dana dilaksanakan oleh para raja
beragama Buddha di jaman dahulu. Dari prasasti raja Asoka pada Pilar Asoka,
diketahui adanya Prevention of Cruelty to Animals (Perlindungan dari kekejaman
terhadap binatang). Mahawamsa menyatakan bahwa beberapa raja di Srilanka
melarang penyembelihan binatang, secara menyeluruh maupun dalam keadaan-keadaan
tertentu.
Catatan
prasasti Nissanka Malla pada abad kedua belas memberikan keselamatan kehidupan
dari binatang seperti ikan, burung dan binatang hutan. Di negeri Buddhis, umat
Buddha sering membebaskan binatang dari tempat pemotongan hewan, untuk
merayakan acara khusus dalam kehidupan mereka seperti hari lahir, perkawinan,
hari jadi, kadang-kadang untuk merayakan kesembuhan dari sakit yang berat. Di
Thailand umat Buddha membeli burung dan melepaskannya sebagai pelaksanaan
Abhaya Dana.
8.
Di internet ada cerita berkaitan dengan Abhaya
Dana. Pada jaman dahulu terdapatlah seorang tuan tanah yang sangat kikir. Tuan
ini mempunyai tanah yang sangat luas. Tanah yang sedemikian luas tersebut
banyak disewakan untuk para penduduk di sekitar tempat ia tinggal. Banyak pula
tanahnya yang disewakan untuk orang dari daerah lain. Setiap tahun dia mengutus
beberapa anak buahnya untuk menagih uang sewanya. Para utusan ini pergi ke
berbagai daerah untuk menagih uang sewa tersebut. Pada waktu utusan itu menagih
di suatu tempat, biasanya tuan tanah akan berpesan kepada mereka untuk membawa
pulang oleh-oleh yang khas dari daerah tersebut. Para utusan dengan taat
melakukan pesan tuannya. Mereka setiap kali kembali selalu membawa buah-buahan,
makanan khas, souvenir dan masih banyak barang lainnya. Hal ini sungguh
membahagiakan si tuan tanah. Demikianlah hal ini dilakukan untuk waktu yang
lama.
9.
Namun, pada suatu saat ada seorang utusan yang
pulang dan tidak membawa buah tangan apapun juga. la bahkan tidak membawa
pulang uang tagihan bersamanya. Si tuan tanah heran dan marah mengetahui hal
ini. la menanyakan alasan utusan itu tidak membawa uang tagihan rutinnya.
Utusan itu memberikan alasan, bahwa daerah tempat ia harus menagih itu telah
gagal panen, dan ada bencana alam sehingga penyewa tanah sudah tidak mempunyai
harta lagi. Karena itulah ia membebaskan mereka dari tagihan uang sewa tahun
itu. Tuan tanah ini menjadi sangat marah, dan langsung memecat utusan tersebut.
10.
Beberapa waktu kemudian, timbullah huru-hara
besar di tempat si tuan tanah tinggal. Banyak rumah dihancurkan. Kerusuhan terjadi
di mana-mana. Si tuan tanah bersama dengan semua anggota keluarganya melarikan
diri dan meninggalkan rumahnya. Mereka sekeluarga lari, dan minta pertolongan
serta perlindungan ke penduduk desa di sekitar mereka tinggal. Sayangnya,
karena kekejamannya selama ini, mereka bukannya ditolong oleh penduduk, bahkan
mereka akan dibunuh oleh penduduk. Tidak ada orang yang mau menolongnya. Mereka
terus berjalan dari desa ke desa untuk meminta pertolongan. Namun, semua usaha
ini mengalami kegagalan. Mereka bahkan selalu akan dibunuh di setiap tempat pemberhentian
mereka.
11.
Perjalanan mereka yang penuh ketakutan ini,
akhirnya membawa mereka ke sebuah desa yang terpencil. Mereka dengan penuh
kekhawatiran mencoba untuk minta tolong dan perlindungan kepada penduduk desa
itu. Di luar dugaan, kedatangan mereka sekeluarga justru disambut hangat oleh
para penduduk desa itu. Mereka disambut seolah orang yang sangat disayangi oleh
penduduk di sana. Mereka merasa heran dengan sikap penduduk desa itu. Mereka
kemudian menanyakan penyebab kehangatan sambutan yang dilakukan oleh semua
penduduk.
12.
Ternyata, para penduduk desa ini merasa sangat
berterima kasih kepada si tuan tanah bahwa pada saat panenan mereka gagal dan
terjadi bencana alam, si tuan tanah telah membebaskan mereka dari segala
tagihan uang sewa. Dan, hal inilah yang akhirnya menjadi kenangan indah untuk
mereka. Ini pula yang menjadikan mereka merasa berhutang budi kepada si tuan
tanah. Mendengar hal ini, menangislah si tuan tanah itu.
13.
la menjadi teringat kepada utusannya yang telah
diusirnya, karena telah membebaskan tagihan uang sewa orang di desa ini.
Ternyata, justru dari kebijaksanaan utusan itulah yang membuatnya selamat dan
mendapatkan perlindungan.
la
kemudian berubah menjadi orang yang baik. la memulai usahanya di desa tempat ia
ditampung dan dilindungi tersebut. la kemudian menjadi orang yang suka berdana,
tidak lagi kikir. la pun menjadi orang yang sangat dicintai oleh masyarakat di
manapun juga. Namanya menjadi harum, bahkan sampai ke daerah-daerah lainnya.
14.
Demikianlah, menolong orang pada saat gagal
panen dan bencana alam melanda merupakan Abhaya Dana. Abhaya Dana menghilangkan
ketakutan dan memberikan keselamatan, kebahagiaan, kedamaian bagi
makhluk-makhluk yang kehidupannya terancam. Ini merupakan pelaksanaan nyata
dari pengembangan Metta atau cinta kasih, dan berlandaskan pada sila. Dengan
pelaksanaan sila maka akan didapat keadaan yang terbebas dari tindakan
menyakiti atau kecemasan.
15.
Ya, melakukan Abhaya Dana adalah hal yang
sangat terpuji. Mungkin ada yang bertanya, apa ada bedanya berdana kepada
binatang dan kepada manusia, yang keduanya sama-sama makhluk hidup ? Berkaitan
dengan itu terdapat sabda Sang Buddha,
"Giving dana to animals one hundred times is not
equivalent to giving dana to one human being without sila just one time.
Giving
dana to human beings without sila one hundred times is not equivalent to giving
dana to a human being with sila just one tune."
(Berdana
kepada binatang seratus kali, tidaklah sebanding dengan berdana kepada seseorang
tanpa sila sebanyak satu kali).
(Berdana
kepada seseorang tanpa sila seratus kali, tidaklah sebanding dengan berdana kepada
seseorang dengan sila sebanyak satu kali).
16.
Ingin panjang umur dan terbebas dari musuh atau
kesulitan ? Lakukanlah Abhaya Dana dengan setulus hati ......
(Bahan : http://books.google.co.id/books7id
http://bodhi-language7.blogspot.com/2009/02/abhaya-dana.html
http://www.buddhachannel.tv/portail/spip.php7aFticle3844
www.dhammanow.com/book_3/Practice_dharma-revised.doc
http://www.tharunayaweb.lk/english/buddhist/page.php?id=355stylomilo.com/dhamma/wp-admin/downloads/,,,/Notes/…/Dana.pdf)
Sumber :
Permata Dhamma
Edisi 22
Artikel
TANTANGAN IMAN DALAM ERA
TEKNOLOGI
oleh: Bhikkhu Sri Pannavaro
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern yang membawa modernisasi dan industrialisasi sering
dipandang oleh sementara bangsa-bangsa Timur sebagai meluasnya pengaruh Barat.
Modernisasi dan industrialisasi ditanggapi juga sebagai penyebab makin
meluasnya agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa-bangsa Barat. Sebagian
umat Buddha, dan juga Hindu, melihatnya sebagai budaya yang memacu materi yang
akan membahayakan kehidupan spritual. Dengan demikian akan menjauhkan manusia
dari Tuhan.
Pendalaman dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan teknologi modern adalah dorongan alami manusia
untuk berkembang dan mencapai hidup yang lebih baik. Tetapi, menggunakan
teknologi untuk mencapai hidup lebih baik tidak mungkin dicapai hanya dengan
ketrampilan. Demikian juga untuk mencapai kemajuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lebih besar, tidak mungkin dicapai hanya dengan
bekal kecerdasan otak.
Selisih kecerdasan otak dan
ketrampilan, agama harus mampu merasuki suatu bangsa untuk modernisasi dan
industrialisasi dengan membekali sikap-sikap mental: disiplin, kesungguhan,
tekun, berani menghadapi kehidupan, jujur, dan bertanggung jawab.
Antara Iman dan Akal
Persoalannya sekarang adalah
agama bersumber pada keyakinan atas kebenaran mutlak sedangkan ilmu pengetahuan
berdasarkan pada akal. Keyakinan atau iman itu bukanlah akal. Dan sebaliknya,
akal yang terus berkembang kadang-kadang tidak bisa menerima keyakinan apabila
akal tidak terelakkan untuk berhadapan dengan keyakinan.
Bangsa yang ingin mencapai kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, menginginkan modernisasi dan
industrialisasi; tidak bisa terelakkan lagi cara hidupnya telah dirasuki oleh
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Kehidupannya berdasarkan alur akal. Sebagai
contoh: hari depan harus kita atur dan kita persiapkan sekarang. Majunya taraf
hidup suatu bangsa adalah hasil kerja keras bangsa itu sendiri. keberhasilan
adalah hasil usaha kita. Kalau sekarang kita tidak membangun dengan kerja
keras, hari depan kita akan gelap. Kita menjadi tertinggal jauh di
tengah-tengah bangsa lain. Kalau kita malas, menerima apa adanya yang ada di
depan mata tanpa usaha, maka kehancuran pasti terjadi.
Cara berpikir rasional ini tidak
jarang memojokkan atau paling tidak menyisihkan keyakinan. Di manakah kemudian
bisa tampak keyakinan terhadap Tuhan dalam cara berpikir zaman modern ini?
Apakah keyakinan itu hanya tinggal bahwa pada awal Tuhan mencipta, selanjutnya
tergantung tingkah laku manusia itu sendiri? Apakah maju mundurnya kehidupan,
makmur miskinnya bangsa, suka-duka manusia, urusan mereka sendiri?
Kebaikan, kejahatan, dan dosa
mulai disentuh juga oleh akal. Apakah batasan kebaikan dan kejahatan? Apa
gunanya berbuat baik? Mengapa tidak boleh melakukan kejahatan? Mengapa manusia
bisa berbuat jahat? Mengapa bisa melakukan dosa? Jawaban atas keragu-raguan ini
harus diberikan oleh agama dalam dimensi yang dituntut ilmu pengetahuan.
Pemuka-pemuka agama dihadapkan
pada suatu tantangan untuk menerjemahkan ajaran-ajaran agama ke dalam alur ilmu
pengetahuan. Ajaran agama adalah kebenaran, bagi kita tidak ada persoalan.
Tetapi sekarang, bagaimana pokok-pokok kebenaran yang menjadi keyakinan itu
diajarkan kepada bangsa yang menuju modernisasi dan industrialisasi dengan alur
ilmu pengetahuan.
Kalau ini tidak disadari dan dimulai,
maka orang akan hidup dengan rasional karena maju dalam industrialisasi; tetapi
mengambang dalam keyakinan beragama. Bukannya menjadi tidak beragama, tetapi
keyakinannya tidak hidup dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan membawa resiko,
manusia kehilangan nilai-nilai kejujuran, kesabaran, siap menghadapi
penderitaan, rendah hati, kerukunan, dan tanggung jawab. Atau sebaliknya, kalau
pemuka agama tidak menempatkan diri pada alur ilmu pengetahuan, maka orang akan
mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pincang.
Tuhan Menyatukan Makhluk
Agama Buddha memandang Tuhan
sebagai Yang Maha Esa, Yang Mutlak, Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Diciptakan. Tuhan bukan makhluk, dan juga bukan dewa, bukan alam.
Oleh karena apapun yang dipandang sebagai makhluk atau memiliki sifat makhluk
adalah tidak kekal, rangkaian, dan selalu berubah. Hakikat Tuhan akan disadari
oleh semua makhluk pada akhir perjuangan hidup, akhir penderitaan. Oleh karena
itu Tuhan menyatukan semua makhluk.
Keyakinan ini akan membuahkan
rasa satu, persaudaraan, kerja sama, dan saling menghargai. Masing-masing ingin
membantu yang lain, tanpa perlu lagi dikenal nama agamanya, timbul rendah hati,
tanggung jawab, jujur, dan cinta kasih tanpa perlu menonjolkan agama yang
dianutnya. Ini bukan berarti identitas agamanya lenyap, tetapi sikap-sikap yang
telah dipunyai itu adalah identitas agama yang sesungguhnya.
Hukum Dharma
Timbul tenggelamnya kehidupan,
bergeraknya tata surya, dan sesuatu di alam semesta ini diatur oleh Tuhan
dengan dipahami oleh agama Buddha sebagai Hukum Dharma. Hukum Dharma ini adalah
Tuhan sebagai Maha Pengatur, Maha Tahu, ada di mana-mana. Demikian sepanjang
masa, tanpa awal, tanpa akhir dan tanpa berubah.
Hukum Dharma harus dimengerti
dan diyakini untuk memberikan arah pada setiap perbuatan. Kesengsaraan dan
kemiskinan adalah akibat dari kelalaian, kemalasan, kejahatan. Keberhasilan
adalah hasil dari kerja keras, disiplin, dan kebajikan. Hari depan kita adalah
tanggung jawab kita. Kita tidak mungkin menggantungkan diri pada siapapun juga.
Berani menghadapi persoalan dalam kehidupan ini, karena persoalan-persoalan itu
tidak kekal. Timbul tenggelam silih berganti, Apa yang terjadi pada kehidupan
kita adalah akibat tindakan yang kita lakukan sendiri. Kita harus berusaha
menyadari dan menerima dengan wajar. Kemudian berjuang kembali menuju yang
lebih baik. Ini adalah Hukum Dharma yang tidak mungkin berubah.
Kelaparan di Ethiopia,
bencana-bencana alam yang banyak membawa korban, dan segala macam penderitaan
hendaknya disadari sebagai akibat yang menjadi tanggung jawab manusia atas perbuatannya.
Jawaban ini tidak member! tempat lagi bagi akal untuk mempertentangkan
kepincangan-kepincangan dunia itu dengan Maha Dewa atau Tuhan Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Tuhan sebagai Hukum Dharma meliputi semuanya, baik Buddha,
manusia biasa, dewa maupun binatang. Tetapi pada saat yang sama, penderitaan
dan kesulitan menuntut kita untuk melakukan amal kebajikan. menggunakan
sepenuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menolong orang lain. Melihat
penderitaan dan kesulitan dengan tanpa melakukan amal kebajikan apapun adalah
kejahatan mental.
Tuhan sebagai tujuan semua
makhluk, Yang Maha Esa dan Yang Mutlak, dan Tuhan sebagai Hukum Dharma bukan
kebenaran yang datang dari akal. Kebenaran yang merupakan keyakinan bagi
umatnya ini bukan hasil renungan filosofis, tetapi bersumber pada Penerangan
Sempurna (Bodhi) yang dicapai oleh Manusia Yang Telah Bangun (Buddha). Tetapi
keyakinan itu adalah keyakinan yang bisa diterima oleh alur akal.
Agama Buddha tidak mengakui
bahwa akal adalah sumber kebenaran (atakkavacara). Malahan kalau akal dijadikan
sumber kebenaran maka akan timbul rimba pendapat (takkagahana). Sumber
kebenaran adalah pengetahuan langsung melalui pencapaian. Tetapi karena semua
orang mempunyai akal, maka akal harus dipakai untuk menuntun orang dalam
usahanya mencapai pengetahuan langsung.
Akal harus digunakan untuk
memberi pegangan iman. Iman yang diterima akal akan membuat manusia sepenuhnya
beragama, dan sepenuhnya bisa menggunakan serta mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk modernisasi dan industrialisasi.
Modernisasi sebagai Kebajikan
Umat beragama harus bisa
menggunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan
sepenuhnya demi kesejahteraan dan demi kepentingan manusiawi seutuhnya. Kerja
dengan sungguh-sungguh adalah kebajikan. Sebaliknya, kerja setengah hati akan
membuahkan akibat yang tidak baik, bukan kebajikan. Hasil kerja yang
dimanfaatkan demi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan demi kepentingan
bangsa adalah kebajikan. Sebaliknya, kalau mempunyai cara hidup bahwa hasil
kerja keras harus dimiliki sebanyak mungkin, dipakai sedikit dan tidak peduli
orang lain; adalah kejahatan yang muncul dari keserakahan dan kepicikan.
Umat beragama menggunakan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan penuh kesungguhan, sebagai upaya memupuk
amal kebajikan tanpa kontradiksi dalam dirinya dengan keyakinan agama.
Dampak-dampak negatif yang muncul dari modernisasi dan industrialisasi, dan
persoalan-persoalan kehidupan harus dihadapi dengan ulet dan sabar, siap
menderita, tidak gampang mengeluh dan menyerah.
Kesulitan hidup yang disadari
sebagai ketidak-kekalan akan dihadapi dengan lebih banyak mendalami pengetahuan
agama. Semua itu akan menumbuhkan dan memperkuat sikap-sikap mental: keuletan,
ketabahan, kebijaksanaan; dan makin teguhnya keyakinan terhadap Tuhan. Semua
itu adalah kebajikan dalam iman.
Umat beragama seperti pisau.
Ilmu pengetahuan dan teknologi laksana batu asah. Setelah diasah tajam, pisau
digunakan untuk berbagai keperluan dengan fungsi utama memotong. Ketajaman
sebagai kebajikan. Kebajikan menyebabkan terpotongnya kemalasan, kekikiran,
keserakahan, keputus-asaan, dan kejahatan. Juga terpotongnya keterbelakangan,
kesengsaraan, dan kemiskinan. Selesai tugas memotong, selesailah kewajiban
hidup.
Cita-cita bersama mewujudkan
citra masyarakat Pancasila yang utuh sejahtera, beragama sepenuhnya dan
berteknologi modern bukan suatu impian. Tetapi benar-benar paduan harmoni yang
bisa terwujud.
Rasa Takut dan Rasa Sakit
APAKAH
RASA TAKUT ITU?
|
Rasa
takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja kita selalu
ingat bahwa masa depan itu' tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan
apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.
Suatu
hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus pergi ke dokter
gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu dengan dokter gigi, tetap
saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir sendiri dengan tololnya. Saat tiba di
tempat praktik dokter gigi, saya diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan.
Saya belajar betapa sia-sianya rasa takut itu.
Rasa
takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita tidak memakai
kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa takut. Ada seorang
samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut, namanya Si Belalang Kecil,
seorang tokoh dari film seri kuno di televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu
gemar sekali menonton film seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah,
sebelum saya menjadi bhikkhu.
Suatu hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke
ruangan di belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu
terdapat kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan
yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru memperingati Si
Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir kolam, karena kolam itu
bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam yang sangat pekat.
"Tujuh hari lagi," Si Belalang diberi tahu, "kamu
akan diuji. Kamu harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga
keseimbangan di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati-hati! Kamu lihat kan
tulang-belulang di dasar kolam itu?"
Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat
banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.
"Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu."
Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang
mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di sana,
beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran hampir sama
dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di atas tanah dengan
disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh hari berikutnya Si Belalang
Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk berlatih keseimbangan di atas papan
itu.
Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan
keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun; menyeberangi papan di
halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.
Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolam asam itu.
Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari dasar
kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah gurunya.
"Jalan!" perintah sang guru.
Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di
halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia mulai
bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin terhuyung-huyung.
Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam. Tiba-tiba film itu
terpotong oleh iklan.
Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali
mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.
Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si
Belalang mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah
dengan gemetar, lalu oleng..., dia jatuh!
Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara
Si Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air. Tulang-belulang
tua itu telah ditaruh di dalam koiam sebagai "tipuan khusus". Mereka
telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga jadi korban akal-akalan.
"Apa yang membuatmu jatuh?" tanya sang guru dengan
serius. "Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa
takut."
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN
TULISAN
BHIKKHU
DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
Message
of The Buddha
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Samma Sambuddhassa
7. KEBENARAN MULIA KEDUA :
PENYEBAB
"Sebab dari Dukkha adalah
nafsu keinginan." Ini adalah Kebenaran Mulia kedua yang
dinyatakan oleh Buddha.
"Dari nafsu keinginan
timbullah kesedihan, dari nafsu keinginan timbullah ketakutan. Kepada dirinya
yang telah terbebas sepenuhnya dari nafsu keinginan, tiada lagi kesedihan
terlebih ketakutan."
Nafsu keinginan yang tidak terpuaskan.
Kegelisahan yang alami dari makhluk hidup membuat mereka tidak
puas dan mereka menginginkan untuk memuaskan nafsu mereka melalui
indera-indera. Bagaimanapun nafsu untuk kesenangan duniawi tidak bisa
dipuaskan, jadi mereka terus menginginkan lebih lagi. Diantara kesenangan duniawi,
nafsu untuk hasrat seksual adalah kemungkinan yang terbesar, yang mungkin
diikuti dengan makanan. Mulut kita seperti lubang yang tak beralas. Kita makan
dengan rakus hingga kenyang dan hanya setelah beberapa jam, kita merasa lapar
lagi.
Bahkan jutawan tidak puas dengan
kekayaan mereka dan mereka menginginkan lebih lagi. Makhluk-makhluk surgawi dengan
usia kehidupan jutaan tahun, juga mati secara tidak puas dengan berbagai ambisi
yang belum dipenuhi, menurut Buddha.
Selain menginginkan kesenangan duniawi,
makhluk hidup juga menginginkan keberlangsungan hidup yang abadi (yaitu tidak
sudi mati) dan ada yang menginginkan ketiadaan (yaitu mereka yang bunuh diri)
yang mengakibatkan kemelekatan atau keterikatan terutama pada saat-saat
meninggal. Ketika makhluk meninggal dengan tidak puas, bara api nafsu tidak
terpadamkan dan hasrat untuk hidup masih ada. Demikian kelahiran kembali
terjadi dan lingkaran kehidupan terus berlanjut.
"Ada sebuah kondisi dari
berakhirnya dukkha yang disebut nibbana." Ini
adalah Kebenaran Mulia ketiga yang dinyatakan oleh Buddha.
Nibbana secara
harfiah diartikan pemadaman, dan hanya satu-satunya kondisi bebas dari dukkha.
Nibbana dapat dialami dalam kehidupan sekarang, atau setelah meninggal yang
sering disebut parinibbana. Sementara keberadaan, yang terkondisi karena
sebab-sebab, adalah tidak kekal dan dukkha, nibbana adalah tidak
terkondisi, abadi dan sukha. Segala sesuatu yang berkondisi
mempunyai karakteristik untuk muncul, berubah, dan berakhir, tetapi Nibbana adalah
tanpa dilahirkan, tanpa berubah dan tanpa kematian. Ini adalah keadaan yang
unik.
Buddha menyatakan “Nibbana
adalah kebahagiaan yang tertinggi” bahkan walaupun adanya penghentian segala
persepsi dan perasaan ketika seseorang mengalami pencapaian nibbana. Buddha
menjelaskan : “Wahai para bhikkhu, Tathagata tidak mengenali kebahagiaan karena
sensasi yang menyenangkan sahaja, tetapi para bhikkhu, kemanapun kebahagiaan
dicapai, disana dan hanya disana Tathagata mengenali kebahagiaan.”
[Tidak seperti orang biasa yang
bergantungan pada hal-hal yang bersifat duniawi untuk merasakan kebahagiaan,
Tathagata mengenali Nibbana sebagai kebahagiaan tertinggi].
Parinibbana. Ketika mencapai
parinibbana, tidak ada sesuatu yang
diabadikan maupun dibinasakan karena bahkan disini dan sekarang dalam kehidupan
ini juga ada inti dari sesuatu pribadi yang kekal. Tubuh jasmani dan batin
adalah keadaan yang terus berubah. Buddha menyamakan pencapaian parinibbana dengan
api yang menyala yang tergantung pada
rumput dan ranting, yang dipadamkan ketika mereka tidak ada. Untuk bertanya
apakah api tersebut telah pergi ke utara, selatan, timur atau barat, tidak
cocok dengan kasus ini. Sama halnya
ketika bertanya apakah dalam pencapaian parinibbana, sesuatu makhluk
dilahirkan kembali, tidak dilahirkan kembali, dilahirkan kembali dan tidak
dilahirkan kembali, bukan dilahirkan kembali maupun tidak dilahirkan kembali
juga tidak cocok dengan kasus ini. Hanya seperti api yang terus berlanjut
membakar karena rumput dan ranting-ranting, begitu juga makhluk hidup berlanjut
berputar di dalam lingkaran eksistensi karena ketamakan, kebencian dan
kebodohan. Nibbana dicapai dengan lenyapnya noda-noda (kilesa) secara
keseluruhan, pelenyapan pribadi yang kekal, yang bersifat khayalan, dan
pemusnahan ketamakan, kebencian dan kebodohan. Ini adalah. pembebasan yang sempurna
dari dukkha.
--- oOo
---
SEGENGGAM
DAUN BODHI
Penerjemah
:
Rety
Chang Ekavatti, S. Kom, BBA
Yuliana
Lie Pannasiri, MBA
Penyunting
:
Nana
Suriya Johnny, SE
Andromeda
Nauli, Ph.D
Kitab Suci Agama Buddha bagian
dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H.
Saddatissa
7. METTA SUTTA
Cinta Kasih
Pujian
terhadap cinta kasih dan niat baik terhadap semua makhluk
1 Dia yang terampil mengusahakan kesejahteraan,
yang ingin mencapai keadaan tenang [Nibbana], harus bertindak demikian ini: dia
harus mampu, jujur, sungguh jujur, berucap luhur, lemah lembut, dan rendah
hati. (143)
2 Merasa puas, mudah disokong, sedikit tugasnya,
sederhana hidupnya, tenang inderanya, berhati-hati, tidak kurang ajar, tidak
dengan tamak melekat pada keluarga-keluarga. (144)
3 Tidak melakukan apa pun yang
dicela oleh para bijaksana. Semoga semua makhluk bahagia dan damai. Semoga
hati' mereka penuh kebajikan! (145)
4-5 Makhluk hidup apa pun juga yang ada: yang
lemah atau kuat, tinggi, gemuk atau sedang, pendek, kecil atau besar, tanpa
kecuali; yang terlihat atau tidak terlihat, yang tinggal jauh maupun dekat,
yang sudah lahir atau pun yang akan lahir, semoga semua makhluk bahagia! (146-7)
6 Jangan menipu orang lain, atau
menghina siapa saja di mana pun juga. Janganlah karena marah atau berniat jahat
mengharap orang lain celaka. (148)
7 Bagaikan seorang ibu mau
melindungi anaknya yang tunggal dengan mengorbankan kehidupannya sendiri,
demikian pula hendaklah dia mengembangkan hati yang tak terbatas kepada semua
makhluk. (149)
8 Hendaklah pikirannya dipenuhi
cinta kasih yang tak terbatas, menyelimuti seluruh dunia. Ke atas, ke bawah dan
ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa kebencian, tanpa rasa permusuhan apa pun.
(150)
9 Apakah sedang berdiri,
berjalan, duduk atau pun berbaring, selama masih terjaga, dia harus
mengembangkan perhatian-kewaspadaan ini. Inilah yang dikatakan hidup termulia
di sini. (151)
10 Tidak terjatuh ke dalam
pandangan salah, memiliki moralitas dan kebijaksanaan, dengan melepaskan
kemelekatan terhadap nafsu indera, dia tak akan pernah terlahir lagi. (152)
100 TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO
Dari : Siong, Makassar
Bhante, saya ingin menanyakan
beberapa hal :
1. Bagaimana cara melakukan pelimpahan jasa untuk para leluhur
kita? Apakah setelah berbuat baik, cukup dengan berkata dalam hati: "Semoga
para leluhur berbahagia"? Mohon Bhante menjelaskan.
2. Saya pernah mendengar bahwa ada seseorang yang sudah menikah
cukup lama tetapi belum memiliki anak. Dan ketika orang tersebut pergi meminta bantuan
paranormal, paranormal mengatakan bahwa orang tersebut sangat jarang sembahyang
para leluhurnya Dan setelah orang tersebut mendengar petunjuk paranormal
tersebut, dia mulai rajin untuk sembahyang para leluhurnya. Tidak lama
kemudian, mereka berhasil mempunyai anak.
Bhante,
yang ingin saya tanyakan adalah: apakah memang orang tersebut berbuat salah
terhadap leluhurnya sehingga dihukum lama untuk mempunyai anak?
Apabila kita
bersalah pada leluhur, apa yang mesti dilakukan?
3. Bhante, di ajaran agama lain
dikatakan bahwa dunia ini diciptakan. Dikatakan pula bahwa ada nabi yang
memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit.
Apakah memang
nabi itu ada dan memiliki kekuatan menyembuhkan orang sakit?
Jika hal
itu benar, apakah benar pula bahwa ada yang menciptakan Dunia ini?
4. Bhante, apakah memang
dewa ada?
Bagaimana
membuktikannya? Karena biasanya ketika teman saya yang beragama lain bertanya,
dan saya jawab "Ya", tetapi dia seakan-akan tidak percaya karena saya
tidak dapat memberi sebuah bukti. Mohon Bhante membantu.
Jawaban:
1. Mempunyai niat untuk
melakukan pelimpahan jasa kepada leluhur adalah merupakan niat yang mulia.
Sebaiknya, pelimpahan jasa ini selain dilakukan pada waktu-waktu tertentu
dengan upacara ritual keagamaan, juga dapat dilakukan setiap hari.
Pelimpahan
jasa setiap hari dapat dilakukan pada malam hari sebelum beristirahat.
Setelah
melakukan suatu kebajikan, misalnya dengan membaca paritta dan bermeditasi maka
dapat diucapkan tekad dalam batin:
"Semoga
dengan kebajikan yang telah dilakukan sampai saat ini akan memberikan
kebahagiaan untuk para leluhur di kehidupan yang sekarang. Semoga leluhur bahagia.
Semoga semua makhluk bahagia."
Ucapkan
kalimat ini berulang-ulang sampai dirasakan cukup.
Pelimpahan
jasa dapat juga dilakukan dengan membaca Ettavatta
Gatha yang pada salah satu syairnya berisi:
Semoga
jasa-jasa ini melimpah
Pada
sanak keluarga yang telah meninggal
Semoga
mereka berbahagia
2. Orang yang lama tidak
memiliki anak dan dapat melahirkan setelah bersembahyang pada leluhur bukan
berarti mereka mempunyai kesalahan kepada leluhur. Sebenarnya keluarga itu
mempunyai kekurangan karma baik sehingga sulit memiliki anak. Dengan melakukan persembahyangan
kepada leluhur, keluarga itu terkondisi untuk menambah kebajikan melalui
ucapan, badan dan pikirannya.
Apabila,
timbunan kebajikan keluarga itu telah mencukupi, maka keinginan mereka dapat
terkabul. Namun, apabila timbunan kebajikan mereka belum mencukupi, walaupun
telah banyak melakukan persembahyangan, mereka tetap tidak akan mempunyai
keturunan.
Jadi,
para prinsipnya, suatu keluarga akan dapat terkabul harapannya bila mereka
memperbanyak kebajikan dengan mengembangkan kerelaan, kemoralan dan
konsentrasi.
Bersembahyang
pada leluhur adalah merupakan salah satu bentuk kerelaan. Begitu pula dengan
pelepasan makhluk ke habitatnya, atau membaca paritta secara rutin, atau
bermeditasi bersama dlsb.
Jika
seseorang sejak lahir belum pernah bertemu dengan leluhurnya, maka ia tidak
mempunyai kondisi untuk bersalah kepada leluhur.
Namun,
apabila seseorang telah pernah bertemu dengan leluhur sebelum mereka meninggal,
maka ada kemungkinan ia melakukan kesalahan kepada leluhurnya tersebut.
Secara
Buddha Dhamma, seseorang baik yang telah mengenal leluhur secara langsung
maupun tidak mengenal leluhur yang telah meninggal sebelum ia terlahir,
hendaknya tetap melakukan pelimpahan jasa yaitu berbuat baik atas nama leluhur.
Pelimpahan jasa ini akan mengkondisikan leluhur berbahagia di kelahirannya
yang sekarang. Semakin banyak menerima pelimpahan jasa, semakin banyak pula
leluhur terkondisi untuk menambah kebajikan melalui pikirannya sendiri.
Timbunan kebajikan melalui pikiran inilah yang kan menyebabkan leluhur terlahir
di alam yang lebih baik.
3. Memang dipercaya oleh
ajaran lain bahwa dunia ini terjadi karena diciptakan.
Sedangkan
dalam pengertian Agama Buddha, dunia ini terjadi sebagai hasil dari suatu
proses evolusi yang membutuhkan waktu sangat lama.
Dari
kedua pandangan yang amat berbeda ini sampai sekarang masih belum diketahui
pandangan yang paling benar. Sedangkan para ahli ilmu pengetahuan lebih cenderung
meyakini bahwa bumi ini terbentuk karena proses panjang, bukan penciptaan.
Namun,
kalaupun bumi ini terjadi karena proses penciptaan, pencipta tidak harus sama dengan
yang diceritakan oleh agama lain tersebut.
Jadi,
membicarakan masalah ini hanya akan memancing perdebatan panjang yang tidak ada
habisnya.
Dalam
Dhamma, mengetahui bumi terbentuk karena ciptaan ataupun sebagai hasil suatu
proses bukanlah hal yang penting dibandingkan perbaikan perilaku, ucapan dan
pikiran seseorang. Tanpa mengetahui asal usul bumi sekalipun, orang hendaknya tetap
berjuang memperbaiki kualitas moralnya.
Mengenai
penyembuhan, memang dalam dunia ini ada orang yang mampu mengkondisikan
kesembuhan orang yang sedang sakit.
Dikatakan
'mengkondisikan' karena sebenarnya tidak ada orang yang sembuh dari sakit HANYA
karena kekuatan orang lain. Orang itu hanya mengkondisikan saja. Artinya, si
sakit mungkin seharusnya akan sembuh dalam waktu sebulan, karena dikondisikan
ia sembuh dalam waktu tiga hari.
Kalau memang si sakit sembuh HANYA karena pengaruh seseorang, maka
tentunya si penyembuh dapat pergi dan bekerja di rumah sakit.
Akibatnya,
rumah sakit akan segera kosong ditinggalkan pasien yang mendadak memperoleh
kesembuhan.
Kenyataannya
tentu tidak demikian. Tidak semua orang sakit dapat memperoleh kesembuhan.
Mereka yang sembuh adalah orang yang mempunyai dukungan karma baik yang cukup.
Hal ini
sama dengan orang yang memberi zat kimia tertentu pada buah yang akan masak.
Bila kondisi buah itu mendukung, maka buah yang seharusnya masak dalam waktu
satu minggu dapat dipercepat menjadi tiga hari. Kalau kondisi buah tidak sesuai
persyaratan, maka berapapun zat kimia yang diberikan kepadanya tidak akan
memberikan hasil yang sesuai dengan harapan.
Adapun
kemampuan seseorang mengkondisikan kesembuhan suatu penyakit bukanlah jaminan
bahwa bumi ini diciptakan olehnya.
Kedua
hal ini sungguh berbeda permasalahannya. Dewasa ini, mudah diketemukan
paranormal yang mampu menyembuhkan penyakit yang parah sekalipun, namun
tentunya bukan mereka yang menciptakan dunia.
4. Dalam pengertian Buddhis,
dewa dan dewi adalah merupakan makhluk penghuni surga. Dalam istilah agama
lain, para dewa dan dewi ini disebut sebagai malaikat.
Apabila
ada orang yang tidak mempercayai keberadaan para penghuni surga ini, maka
sebenarnya hal ini adalah hak mereka. Orang tidak dapat memaksakan suatu
kepercayaan kepada orang lain. Keberadaan dan kebahagiaan para penghuni surga
itu tidak akan berubah meskipun ada orang yang mempercayai mereka maupun tidak
mempercayainya. Oleh karena itu, ketidakpercayaan orang akan adanya para dewa dan
dewi janganlah ditanggapi dengan emosi. Lebih baik, berilah waktu kepadanya
untuk berpikir dan merenungkannya
Umat
Buddha meskipun mempercayai keberadaan para penghuni surga tersebut, hendaknya
tidak menggantungkan diri kepada mereka. Umat Buddha hendaknya tetap berjuang untuk
mengatasi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin tanpa harus dipengaruhi
dengan pengertian ada atau tidak adanya para penghuni surga tersebut.
Para
dewa dan dewi bukanlah penolong. Mereka adalah sesama makhluk hidup yang
tinggal pada dimensi yang berbeda dengan manusia.
Dengan
penjelasan ini semoga dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan.
--- oOo
---
JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi : Pk. 07.30 WIB -
09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu : Pk. 09.30
WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu : Pk. 18.30 WIB -
19.30 WIB
Puja Bakti Uposatha : Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
Jam
19.30 WIB - 21.00 WIB
6 Jenis
Ucapan
Pandita Dr. R. Surya Widya, Sp.Kj
Thursday,
October 22, 2009 at 12:22pm
Orang yang tidak bisu setiap hari pasti berbicara. Seringkali
ucapan itu lebih cepat daripada berpikir, sehingga tanpa disadari telah melukai
hati orang lain. Seharusnya berpikir dulu baru bicara, bukan bicara dulu baru
berpikir.
Ada empat jenis ucapan yang perlu dihindari :
jenis pertama adalah ucapan yang tidak benar, tidak berguna dan
tidak disukai orang lain;
jenis kedua adalah ucapan yang benar, tidak berguna dan tidak
disukai orang lain;
jenis ketiga adalah tidak benar, tidak berguna namun disukai orang
lain;
jenis keempat adalah ucapan yang benar, tidak berguna dan disukai orang
lain.
Dan dua jenis ucapan yang boleh dilontarkan adalah: ucapan yang
benar, berguna dan disukai orang lain; dan ucapan yang benar, berguna meskipun
tidak disukai orang lain.
Banyak sekali hal yang terjadi
karena ucapan yang keliru, kalau berdiam lebih baik --> berdiamlah dengan
anggun (silent is golden). Kalau berbicara lebih baik daripada diam -->
berbicaralah yang benar, berguna, beralasan dan tepat pada waktunya. (Majjhima
Nikaya 58)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar