Selasa, 17 September 2013

BRIVI JULI 2013



Tegal, 24 Juli 2013                                                                                                  
No : 71, Tahun Ketujuh


 
Penasehat                 : Ketua Yayasan Metta Jaya                          ( Loe Lian Phang )
Penanggung Jawab : Ketua Dayakasabha Metta Vihara Tegal   ( Lie Ing Beng )
Pimpinan Redaksi     : Ibu Tjutisari
Redaksi Pelaksana   : 1.   Ibu Pranoto               4.   Liliyani                                                              
                                      2.   Suriya Dhammo        5.   Sumedha Amaravathi
                                      3.   Ade Kristanto           6.   Lie Thiam Lan
Alamat Redaksi        : Metta Vihara
                                      Jl. Udang No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688  an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA


DHAMMAPADA ATTHAKHATA
Bab II - Syair 28
Bilamana orang bijaksana telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan bebas dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan dan memandang orang-orang yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung memandang mereka yang berada di bawah.


 






BAB II – Syair 28
Kisah Mahakassapa Thera

Suatu waktu ketika Mahakassapa Thera tinggal di gua Pipphali, beliau menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kesadaran batin aloka kasina dan mencoba un­tuk memperoleh kemampuan batin mata dewa, menge­tahui siapa yang waspada dan siapa yang lengah, juga siapa yang mati dan akan dilahirkan.
Sang Buddha, dari vihara, mengetahui melalui kemam­puan batin mata dewa Beliau, apa yang dikerjakan oleh Mahakassapa Thera dan ingin mengingatkan bahwa apa yang dia lakukan hanyalah menghabiskan waktu. Maka Beliau menampakkan diri di depan thera tersebut dan berkata, "Anakku Kassapa, jumlah kelahiran dan kematian makhluk hidup tak terhitung dan tak dapat dihitung. Hal ini bukan tugasmu, hal ini adalah tugas para Buddha."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 28 berikut ini :
Bilamana orang bijaksana telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan bebas dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan dan memandang orang-orang yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri di atas gunung memandang mereka yang berada di bawah.

--- oOo ---




SEKAPUR SIRIH

Purnama bulan ketujuh penanggalan lunar atau sering disebut penanggalan imlek yaitu Cit Gwee Cap Go menurut tradisi adalah sembahyang rebutan, umat Buddha sering menggunakan saat itu sebagai upacara Pattidana atau pelimpahan jasa kepada leluhur yang telah mendahului kita.
Sejarah Pattidana dapat diikuti dalam tulisan :
1.  Tirokhuda Sutta
2.  Abhayadana karya dr. Dharma K. Widya
3.  100 Tanya Jawab B. Uttamo Mahathera.
Sajian buletin kesayangan kita Brivi Metta Vihara edisi Juli 2013 hadir dengan artikel Dhamma tulisan YM. Sri Panyavaro Mahathera dengan judul Tantangan Iman Era Teknologi menarik untuk disimak.
Ajahn Brahm guru si cacing dan kotoran kesayangannya menulis : “Apakah Rasa Takut Itu”. Segenggam Daun Bodhi tulisan Bhikkhu Dhammavudho Mahathera memasuki kebenaran mulia kedua yaitu : PENYEBAB. Dapat anda ikuti Kitab Suci Khuddaka Nikaya, Sutta Nipata dengan judul “Metta Sutta”.
Cerita inspiratif tentang Buddha di rumah sebuah uraian yang sangat baik dalam kehidupan sehari-hari.
Setitik Cahaya di Balik Kabut karya Pandita Dr. R. Surya Widya, Sp.KJ. Cara hidup yang benar dari tempat gelap pergi ke tempat terang, dari tempat terang pergi ke tempat yang lebih terang. Sebuah uraian yang sangat bagus untuk membawa batin kita berubah menjadi lebih baik dan menjadi lebih bijaksana asal kita mau berusaha untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga sajian Brivi Metta Vihara dapat membawa manfaat bagi kita sebua.
Semoga dengan kekuatan TIRATANA, Buddha Dhamma dan Sangha, dengan kekuatan karma baik kita, kehidupan kita semakin baik, sehat dan bahagia.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Metta Cittena,
Redaksi


--- oOo ---


DANA

Dayakasabha Metta Vihara Tegal telah menerima dana dari :
1.    Almh. Ibu Tan Kwie Wen                             Rp  500.000,-
2.    Bpk Sien Cay & Ibu Tjioe Hiang Giok           Rp  300.000,-
3.    Kel. Tjoe Tjai Kwang (Toko Pilar Jaya)         Rp  100.000,-
4.    Bpk. Kho Sioe Han                                      Rp  200.000,-

Dana Konsumsi
1.      Ibu Thio Hong
2.      Ibu Liem Tjie Kwie
3.      Ibu Puspa Minarti
4.      Ibu Tjutisari
5.      Ibu Sri Rahayu
6.      Ibu Elsye

Semoga kebajikan yang telah Bapak / Ibu / Saudara lakukan mendapat berkah keselamatan, kesehatan dan bahagia.






YAYASAN METTA JAYA
METTA VIHARA
Jl. Udang No. 8 ( (0283) 323570 Tegal
 


PATTIDANA

Dengan melakukan perbuatan baik pada leluhur atau makhluk lain, adalah salah satu cara mempraktekkan ajaran kebenaran (Dhamma). Kebaikan yang kita lakukan akan berpengaruh pada diri sendiri dan leluhur kita yang terlahir di alam menderita.
Ada petuah jasa orang tua / para leluhur tidak dapat dibalas dengan apapun, kecuali dengan rasa bakti dan kasih kita sebagai anak terhadap mereka, merupakan kewajiban kita memberi penghormatan dan membuat jasa kebajikan dan melimpahkan / mengirim jasa kebajikan kepada para leluhur kita yang sudah tiada.
Ketika Raja Bimbisara mengundang Sang Buddha dan Siswanya untuk berdana dan mendengarkan Dhamma, malam harinya Raja Bimbisara terganggu dengan suara-suara bising di sekitar istananya. Raja bertanya kepada Sang Buddha, dijelaskan bahwa makhluk-makhluk di sekitar istana adalah leluhur Raja Bimbisara yang terlahir di alam menderita, menunggu pelimpahan jasa dari Raja Bimbisara agar mereka dapat terbebas dari alam menderita.
Suatu kesempatan baik bagi kita bisa memberi kasih dan rasa bakti kepada leluhur kita, dengan berbuat kebajikan dan melimpahkan jasa kebajikan dalam upacara Pattidana yang akan kami selenggarakan pada :
Hari/Tanggal                     :    Sabtu, 31 Agustus 2013
Waktu                              :    Pukul 18.00 WIB - selesai
Tempat                             :    Metta Vihara, Jl. Udang No. 8 Tegal
Acara pk 18.00-19.00         :    1.     Sembahyang di Stupa
                                            2.     Sembahyang kepada leluhur di Ruang Penghormatan Leluhur Adiguna Sarana
                                            3.     Ramah Tamah
         Pk 19.00 - selesai          4.     Puja Bhakti di Dhammasala
Dhammadesana oleh         :    Bhikkhu Dhammavijayo Mahathera

Untuk Upacara Pattidana kami akan menyediakan :
·     PAKET I Rp 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) disediakan satu meja khusus dupa, lampu minyak, makanan dan buah-buahan tersendiri.
·     PAKET II Rp 75.000,- (Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) satu nama Almarhum, disediakan satu meja untuk masal.
Bagi yang berminat dapat menghubungi Panitia Pattidana :
1.    Metta Vihara
       Jl. Udang No. 8 Telp. (0283) 323570 Tegal
2.    Bp. Lukman Susilo (Apotik Nasional)
       Jl. P. Diponegoro 119 Telp. 356628 Tegal
3.    Bp. Lie Ing Beng (Toko Mira)
       Jl. HOS Cokroaminoto 69 Telp. 353005 Tegal
4.    Ibu Yuningsih Pranoto
       Jl. Cendrawasih No. 17 Tegal Telp. (0283) 351238
5.    Ibu Tusita Wijaya
       Jl. Salak 123 Tegal Telp. (0283) 353685
6.    Ibu Ang Siu Lan
       Jl. Udang No. 7 Tegal Telp. (0283) 356313
7.    Ibu Lie Thiam Lan
       Jl. Rambutan Raya 11 Tegal HP. 087730580990
8.    Bp. Suriyadhammo
       Jl. KH. Nakhrawi 10 Tegal HP. 085727489261
Dana dapat anda transfer ke :    BCA No Rek : 0479073688
                                               an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
Anumodana kami ucapkan kepada Bapak/Ibu/Saudara atas partisipasinya dalam upacara ini, semoga para leluhur kita dapat terlahir kembali di alam kebahagiaan. Demikian juga Bapak/Ibu/Saudara selalu dalam keadaan sehat walafiat, banyak rejeki, sukses dan bahagia bersama keluarga.

Metta Cittena
DAYAKASABHA METTA VIHARA TEGAL

                      Ttd                                                                            ttd
              Lie Ing Beng                                                          Suriyadhammo
                    Ketua                                                                     Sekretaris

ABHAYA DANA

Pdt. dr. Dharma K. Widya
Sumber : Permata Dharma edisi 22

1.          Belum lama ini seorang teman berkata. "Hari Minggu ini, kami umat vihara akan melepas binatang di sungai". Tentu saja yang akan dilepas adalah binatang yang hidup di dalam air, seperti ikan atau belut. Ada juga orang yang melepas burung, dengan maksud agar burung itu mendapatkan kebebasan dalam hidupnya. Apakah melepas binatang yang tadinya terkurung merupakan dana?
2.          Berbicara tentang dana, dalam agama Buddha dikenal tiga jenis dana. Yang pertama adalah Amisa Dana, dana dengan materi yang merupakan pelaksanaan paling mendasar dalam dana. Meliputi dana empat kebutuhan pokok untuk para bhikkhu yaitu makanan, jubah, tempat tinggal dan obat-obatan. Untuk yang bukan bhikkhu, tentu selain empat kebutuhan pokok ini, dapat diberikan berupa uang atau barang-barang kebutuhan lain. Termasuk pula persembahan sebagai penghormatan kepada Sang Buddha seperti bunga, buah, dupa, lilin atau penerangan dan persembahan lain. Meliputi juga pemberian pelayanan, waktu dan keterampilan untuk menolong orang-orang, kerja sukarela untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Dengan melaksanakan Amisa Dana maka seseorang akan berkurang rasa keserakahannya, dan rasa mementingkan diri sendiri. Orang tersebut akan memperoleh kebahagiaan, kekuatan, kehidupan yang baik dan kedamaian.
3.          Yang kedua adalah Abhaya Dana. Kata Abhaya berarti tidak takut (fearless), merupakan dana dengan melakukan perbuatan yang menyelamatkan kehidupan makhluk hidup seperti binatang yang akan dipotong, memberikan keselamatan bagi mereka yang sedang menderita karena ancaman bahaya api atau banjir, melepaskan orang-orang yang terkurung, menyembuhkan orang-orang yang sedang menderita sakit, menyumbangkan darah atau kornea mata juga organ tubuh lainnya, termasuk pula perbuatan sederhana seperti melepaskan burung atau binatang lainnya (yang terkurung) dari sangkarnya. Dengan melaksanakan Abhaya Dana, maka seseorang akan memperoleh umur panjang dan terbebas dari musuh.
4.          Yang ketiga adalah Dhamma Dana, yaitu membantu seseorang dalam perkembangan spiritualnya agar ia dapat mengerti Dhamma, mengerti apa yang baik dan apa yang tidak baik. Membabarkan Dhamma, menyelenggarakan kelas Dhamma, membuat tulisan tentang Dhamma dan melakukan segala upaya untuk menyebarkan Dhamma, merupakan Dhamma Dana. Dana ini dianggap sebagai dana yang tertinggi. Dinyatakan dalam Dhammapada 354 : Sabbadanam Dhammadanam jinati (Dana Dhamma melebihi semua dana lainnya).
5.          Ada cerita tentang Pangeran Siddhattha yang sedang berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burung belibis terbang di udara. Devadatta membidikkan anak panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh ke tanah. Pangeran Siddhattha bergegas menghampiri belibis yang terluka itu. Dengan penuh kasih sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun yang diremas. Devadatta meminta belibis itu, tetapi Pangeran Siddhattha tidak mau memberikannya. Menurut Pangeran, bila belibis itu mati maka ia menjadi milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup, maka ia menjadi milik dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi menghadap ke Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan. Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya, dan bukan milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu menjadi milik Pangeran Siddhattha. Setelah sembuh maka belibis itu dilepaskan kembali oleh Sang Pangeran. Menyelamatkan burung itu merupakan Abhaya Dana yang dilakukan oleh Pangeran Siddhattha.
6.          Karena iri Devadatta yang jahat ingin mencelakai Sang Buddha. Di jalan yang akan dilalui Sang Buddha, dilepaskannya gajah Nalagiri yang besar dan buas yang sengaja telah dibuat mabuk. Ketika gajah itu berlari menuju Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya di antara Sang Buddha dan gajah. la bermaksud melindungi Sang Buddha, meskipun Sang Buddha telah memperingatkannya untuk tidak berbuat demikian. Dengan menggunakan kekuatan gaib-Nya yaitu membuat bumi mengerut, Sang Buddha berada di depan Ananda. Dengan posisi tangan Abhaya Mudra dan cinta kasih yang dipancarkan Sang Buddha, gajah tersebut segera saja menjadi jinak. Gajah itu pun berlutut di hadapan Sang Buddha. Abhaya Mudra adalah posisi tangan dengan tangan kanan terangkat setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke depan dengan jari tangan mengarah ke atas.
7.          Abhaya Dana dilaksanakan oleh para raja beragama Buddha di jaman dahulu. Dari prasasti raja Asoka pada Pilar Asoka, diketahui adanya Prevention of Cruelty to Animals (Perlindungan dari kekejaman terhadap binatang). Mahawamsa menyatakan bahwa beberapa raja di Srilanka melarang penyembelihan binatang, secara menyeluruh maupun dalam keadaan-keadaan tertentu.
Catatan prasasti Nissanka Malla pada abad kedua belas memberikan keselamatan kehidupan dari binatang seperti ikan, burung dan binatang hutan. Di negeri Buddhis, umat Buddha sering membebaskan binatang dari tempat pemotongan hewan, untuk merayakan acara khusus dalam kehidupan mereka seperti hari lahir, perkawinan, hari jadi, kadang-kadang untuk merayakan kesembuhan dari sakit yang berat. Di Thailand umat Buddha membeli burung dan melepaskannya sebagai pelaksanaan Abhaya Dana.
8.          Di internet ada cerita berkaitan dengan Abhaya Dana. Pada jaman dahulu terdapatlah seorang tuan tanah yang sangat kikir. Tuan ini mempunyai tanah yang sangat luas. Tanah yang sedemikian luas tersebut banyak disewakan untuk para penduduk di sekitar tempat ia tinggal. Banyak pula tanahnya yang disewakan untuk orang dari daerah lain. Setiap tahun dia mengutus beberapa anak buahnya untuk menagih uang sewanya. Para utusan ini pergi ke berbagai daerah untuk menagih uang sewa tersebut. Pada waktu utusan itu menagih di suatu tempat, biasanya tuan tanah akan berpesan kepada mereka untuk membawa pulang oleh-oleh yang khas dari daerah tersebut. Para utusan dengan taat melakukan pesan tuannya. Mereka setiap kali kembali selalu membawa buah-buahan, makanan khas, souvenir dan masih banyak barang lainnya. Hal ini sungguh membahagiakan si tuan tanah. Demikianlah hal ini dilakukan untuk waktu yang lama.
9.          Namun, pada suatu saat ada seorang utusan yang pulang dan tidak membawa buah tangan apapun juga. la bahkan tidak membawa pulang uang tagihan bersamanya. Si tuan tanah heran dan marah mengetahui hal ini. la menanyakan alasan utusan itu tidak membawa uang tagihan rutinnya. Utusan itu memberikan alasan, bahwa daerah tempat ia harus menagih itu telah gagal panen, dan ada bencana alam sehingga penyewa tanah sudah tidak mempunyai harta lagi. Karena itulah ia membebaskan mereka dari tagihan uang sewa tahun itu. Tuan tanah ini menjadi sangat marah, dan langsung memecat utusan tersebut.
10.       Beberapa waktu kemudian, timbullah huru-hara besar di tempat si tuan tanah tinggal. Banyak rumah dihancurkan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Si tuan tanah bersama dengan semua anggota keluarganya melarikan diri dan meninggalkan rumahnya. Mereka sekeluarga lari, dan minta pertolongan serta perlindungan ke penduduk desa di sekitar mereka tinggal. Sayangnya, karena kekejamannya selama ini, mereka bukannya ditolong oleh penduduk, bahkan mereka akan dibunuh oleh penduduk. Tidak ada orang yang mau menolongnya. Mereka terus berjalan dari desa ke desa untuk meminta pertolongan. Namun, semua usaha ini mengalami kegagalan. Mereka bahkan selalu akan dibunuh di setiap tempat pemberhentian mereka.
11.       Perjalanan mereka yang penuh ketakutan ini, akhirnya membawa mereka ke sebuah desa yang terpencil. Mereka dengan penuh kekhawatiran mencoba untuk minta tolong dan perlindungan kepada penduduk desa itu. Di luar dugaan, kedatangan mereka sekeluarga justru disambut hangat oleh para penduduk desa itu. Mereka disambut seolah orang yang sangat disayangi oleh penduduk di sana. Mereka merasa heran dengan sikap penduduk desa itu. Mereka kemudian menanyakan penyebab kehangatan sambutan yang dilakukan oleh semua penduduk.
12.       Ternyata, para penduduk desa ini merasa sangat berterima kasih kepada si tuan tanah bahwa pada saat panenan mereka gagal dan terjadi bencana alam, si tuan tanah telah membebaskan mereka dari segala tagihan uang sewa. Dan, hal inilah yang akhirnya menjadi kenangan indah untuk mereka. Ini pula yang menjadikan mereka merasa berhutang budi kepada si tuan tanah. Mendengar hal ini, menangislah si tuan tanah itu.
13.       la menjadi teringat kepada utusannya yang telah diusirnya, karena telah membebaskan tagihan uang sewa orang di desa ini. Ternyata, justru dari kebijaksanaan utusan itulah yang membuatnya selamat dan mendapatkan perlindungan.
la kemudian berubah menjadi orang yang baik. la memulai usahanya di desa tempat ia ditampung dan dilindungi tersebut. la kemudian menjadi orang yang suka berdana, tidak lagi kikir. la pun menjadi orang yang sangat dicintai oleh masyarakat di manapun juga. Namanya menjadi harum, bahkan sampai ke daerah-daerah lainnya.
14.       Demikianlah, menolong orang pada saat gagal panen dan bencana alam melanda merupakan Abhaya Dana. Abhaya Dana menghilangkan ketakutan dan memberikan keselamatan, kebahagiaan, kedamaian bagi makhluk-makhluk yang kehidupannya terancam. Ini merupakan pelaksanaan nyata dari pengembangan Metta atau cinta kasih, dan berlandaskan pada sila. Dengan pelaksanaan sila maka akan didapat keadaan yang terbebas dari tindakan menyakiti atau kecemasan.
15.       Ya, melakukan Abhaya Dana adalah hal yang sangat terpuji. Mungkin ada yang bertanya, apa ada bedanya berdana kepada binatang dan kepada manusia, yang keduanya sama-sama makhluk hidup ? Berkaitan dengan itu terdapat sabda Sang Buddha,
"Giving dana to animals one hundred times is not equivalent to giving dana to one human being without sila just one time.
Giving dana to human beings without sila one hundred times is not equivalent to giving dana to a human being with sila just one tune."
(Berdana kepada binatang seratus kali, tidaklah sebanding dengan berdana kepada seseorang tanpa sila sebanyak satu kali).
(Berdana kepada seseorang tanpa sila seratus kali, tidaklah sebanding dengan berdana kepada seseorang dengan sila sebanyak satu kali).
16.       Ingin panjang umur dan terbebas dari musuh atau kesulitan ? Lakukanlah Abhaya Dana dengan setulus hati ......
(Bahan : http://books.google.co.id/books7id
http://bodhi-language7.blogspot.com/2009/02/abhaya-dana.html
http://www.buddhachannel.tv/portail/spip.php7aFticle3844
www.dhammanow.com/book_3/Practice_dharma-revised.doc
http://www.tharunayaweb.lk/english/buddhist/page.php?id=355stylomilo.com/dhamma/wp-admin/downloads/,,,/Notes/…/Dana.pdf)
Sumber : Permata Dhamma
Edisi 22

Artikel

TANTANGAN IMAN DALAM ERA TEKNOLOGI
oleh: Bhikkhu Sri Pannavaro

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang membawa modernisasi dan industrialisasi sering dipandang oleh sementara bangsa-bangsa Timur sebagai meluasnya pengaruh Barat. Modernisasi dan industrialisasi ditanggapi juga sebagai penyebab makin meluasnya agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa-bangsa Barat. Sebagian umat Buddha, dan juga Hindu, melihatnya sebagai budaya yang memacu materi yang akan membahayakan kehidupan spritual. Dengan demikian akan menjauhkan manusia dari Tuhan.
Pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi modern adalah dorongan alami manusia untuk berkembang dan mencapai hidup yang lebih baik. Tetapi, menggunakan teknologi untuk mencapai hidup lebih baik tidak mungkin dicapai hanya dengan ketrampilan. Demikian juga untuk mencapai kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih besar, tidak mungkin dicapai hanya dengan bekal kecerdasan otak.
Selisih kecerdasan otak dan ketrampilan, agama harus mampu merasuki suatu bangsa untuk modernisasi dan industrialisasi dengan membekali sikap-sikap mental: disiplin, kesungguhan, tekun, berani menghadapi kehidupan, jujur, dan bertanggung jawab.

Antara Iman dan Akal
Persoalannya sekarang adalah agama bersumber pada keyakinan atas kebenaran mutlak sedangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pada akal. Keyakinan atau iman itu bukanlah akal. Dan sebaliknya, akal yang terus berkembang kadang-kadang tidak bisa menerima keyakinan apabila akal tidak terelakkan untuk berhadapan dengan keyakinan.
Bangsa yang ingin mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, menginginkan modernisasi dan industrialisasi; tidak bisa terelakkan lagi cara hidupnya telah dirasuki oleh kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Kehidupannya berdasarkan alur akal. Sebagai contoh: hari depan harus kita atur dan kita persiapkan sekarang. Majunya taraf hidup suatu bangsa adalah hasil kerja keras bangsa itu sendiri. keberhasilan adalah hasil usaha kita. Kalau sekarang kita tidak membangun dengan kerja keras, hari depan kita akan gelap. Kita menjadi tertinggal jauh di tengah-tengah bangsa lain. Kalau kita malas, menerima apa adanya yang ada di depan mata tanpa usaha, maka kehancuran pasti terjadi.
Cara berpikir rasional ini tidak jarang memojokkan atau paling tidak menyisihkan keyakinan. Di manakah kemudian bisa tampak keyakinan terhadap Tuhan dalam cara berpikir zaman modern ini? Apakah keyakinan itu hanya tinggal bahwa pada awal Tuhan mencipta, selanjutnya tergantung tingkah laku manusia itu sendiri? Apakah maju mundurnya kehidupan, makmur miskinnya bangsa, suka-duka manusia, urusan mereka sendiri?
Kebaikan, kejahatan, dan dosa mulai disentuh juga oleh akal. Apakah batasan kebaikan dan kejahatan? Apa gunanya berbuat baik? Mengapa tidak boleh melakukan kejahatan? Mengapa manusia bisa berbuat jahat? Mengapa bisa melakukan dosa? Jawaban atas keragu-raguan ini harus diberikan oleh agama dalam dimensi yang dituntut ilmu pengetahuan.
Pemuka-pemuka agama dihadapkan pada suatu tantangan untuk menerjemahkan ajaran-ajaran agama ke dalam alur ilmu pengetahuan. Ajaran agama adalah kebenaran, bagi kita tidak ada persoalan. Tetapi sekarang, bagaimana pokok-pokok kebenaran yang menjadi keyakinan itu diajarkan kepada bangsa yang menuju modernisasi dan industrialisasi dengan alur ilmu pengetahuan.
Kalau ini tidak disadari dan dimulai, maka orang akan hidup dengan rasional karena maju dalam industrialisasi; tetapi mengambang dalam keyakinan beragama. Bukannya menjadi tidak beragama, tetapi keyakinannya tidak hidup dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan membawa resiko, manusia kehilangan nilai-nilai kejujuran, kesabaran, siap menghadapi penderitaan, rendah hati, kerukunan, dan tanggung jawab. Atau sebaliknya, kalau pemuka agama tidak menempatkan diri pada alur ilmu pengetahuan, maka orang akan mengembangkan dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pincang.

Tuhan Menyatukan Makhluk
Agama Buddha memandang Tuhan sebagai Yang Maha Esa, Yang Mutlak, Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan. Tuhan bukan makhluk, dan juga bukan dewa, bukan alam. Oleh karena apapun yang dipandang sebagai makhluk atau memiliki sifat makhluk adalah tidak kekal, rangkaian, dan selalu berubah. Hakikat Tuhan akan disadari oleh semua makhluk pada akhir perjuangan hidup, akhir penderitaan. Oleh karena itu Tuhan menyatukan semua makhluk.
Keyakinan ini akan membuahkan rasa satu, persaudaraan, kerja sama, dan saling menghargai. Masing-masing ingin membantu yang lain, tanpa perlu lagi dikenal nama agamanya, timbul rendah hati, tanggung jawab, jujur, dan cinta kasih tanpa perlu menonjolkan agama yang dianutnya. Ini bukan berarti identitas agamanya lenyap, tetapi sikap-sikap yang telah dipunyai itu adalah identitas agama yang sesungguhnya.




Hukum Dharma
Timbul tenggelamnya kehidupan, bergeraknya tata surya, dan sesuatu di alam semesta ini diatur oleh Tuhan dengan dipahami oleh agama Buddha sebagai Hukum Dharma. Hukum Dharma ini adalah Tuhan sebagai Maha Pengatur, Maha Tahu, ada di mana-mana. Demikian sepanjang masa, tanpa awal, tanpa akhir dan tanpa berubah.
Hukum Dharma harus dimengerti dan diyakini untuk memberikan arah pada setiap perbuatan. Kesengsaraan dan kemiskinan adalah akibat dari kelalaian, kemalasan, kejahatan. Keberhasilan adalah hasil dari kerja keras, disiplin, dan kebajikan. Hari depan kita adalah tanggung jawab kita. Kita tidak mungkin menggantungkan diri pada siapapun juga. Berani menghadapi persoalan dalam kehidupan ini, karena persoalan-persoalan itu tidak kekal. Timbul tenggelam silih berganti, Apa yang terjadi pada kehidupan kita adalah akibat tindakan yang kita lakukan sendiri. Kita harus berusaha menyadari dan menerima dengan wajar. Kemudian berjuang kembali menuju yang lebih baik. Ini adalah Hukum Dharma yang tidak mungkin berubah.
Kelaparan di Ethiopia, bencana-bencana alam yang banyak membawa korban, dan segala macam penderitaan hendaknya disadari sebagai akibat yang menjadi tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Jawaban ini tidak member! tempat lagi bagi akal untuk mempertentangkan kepincangan-kepincangan dunia itu dengan Maha Dewa atau Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan sebagai Hukum Dharma meliputi semuanya, baik Buddha, manusia biasa, dewa maupun binatang. Tetapi pada saat yang sama, penderitaan dan kesulitan menuntut kita untuk melakukan amal kebajikan. menggunakan sepenuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menolong orang lain. Melihat penderitaan dan kesulitan dengan tanpa melakukan amal kebajikan apapun adalah kejahatan mental.
Tuhan sebagai tujuan semua makhluk, Yang Maha Esa dan Yang Mutlak, dan Tuhan sebagai Hukum Dharma bukan kebenaran yang datang dari akal. Kebenaran yang merupakan keyakinan bagi umatnya ini bukan hasil renungan filosofis, tetapi bersumber pada Penerangan Sempurna (Bodhi) yang dicapai oleh Manusia Yang Telah Bangun (Buddha). Tetapi keyakinan itu adalah keyakinan yang bisa diterima oleh alur akal.
Agama Buddha tidak mengakui bahwa akal adalah sumber kebenaran (atakkavacara). Malahan kalau akal dijadikan sumber kebenaran maka akan timbul rimba pendapat (takkagahana). Sumber kebenaran adalah pengetahuan langsung melalui pencapaian. Tetapi karena semua orang mempunyai akal, maka akal harus dipakai untuk menuntun orang dalam usahanya mencapai pengetahuan langsung.

Akal harus digunakan untuk memberi pegangan iman. Iman yang diterima akal akan membuat manusia sepenuhnya beragama, dan sepenuhnya bisa menggunakan serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk modernisasi dan industrialisasi.

Modernisasi sebagai Kebajikan
Umat beragama harus bisa menggunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan sepenuhnya demi kesejahteraan dan demi kepentingan manusiawi seutuhnya. Kerja dengan sungguh-sungguh adalah kebajikan. Sebaliknya, kerja setengah hati akan membuahkan akibat yang tidak baik, bukan kebajikan. Hasil kerja yang dimanfaatkan demi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan demi kepentingan bangsa adalah kebajikan. Sebaliknya, kalau mempunyai cara hidup bahwa hasil kerja keras harus dimiliki sebanyak mungkin, dipakai sedikit dan tidak peduli orang lain; adalah kejahatan yang muncul dari keserakahan dan kepicikan.
Umat beragama menggunakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan penuh kesungguhan, sebagai upaya memupuk amal kebajikan tanpa kontradiksi dalam dirinya dengan keyakinan agama. Dampak-dampak negatif yang muncul dari modernisasi dan industrialisasi, dan persoalan-persoalan kehidupan harus dihadapi dengan ulet dan sabar, siap menderita, tidak gampang mengeluh dan menyerah.
Kesulitan hidup yang disadari sebagai ketidak-kekalan akan dihadapi dengan lebih banyak mendalami pengetahuan agama. Semua itu akan menumbuhkan dan memperkuat sikap-sikap mental: keuletan, ketabahan, kebijaksanaan; dan makin teguhnya keyakinan terhadap Tuhan. Semua itu adalah kebajikan dalam iman.
Umat beragama seperti pisau. Ilmu pengetahuan dan teknologi laksana batu asah. Setelah diasah tajam, pisau digunakan untuk berbagai keperluan dengan fungsi utama memotong. Ketajaman sebagai kebajikan. Kebajikan menyebabkan terpotongnya kemalasan, kekikiran, keserakahan, keputus-asaan, dan kejahatan. Juga terpotongnya keterbelakangan, kesengsaraan, dan kemiskinan. Selesai tugas memotong, selesailah kewajiban hidup.
Cita-cita bersama mewujudkan citra masyarakat Pancasila yang utuh sejahtera, beragama sepenuhnya dan berteknologi modern bukan suatu impian. Tetapi benar-benar paduan harmoni yang bisa terwujud.




Rasa Takut dan Rasa Sakit

APAKAH RASA TAKUT ITU?


AJAHN BRAHM
 
 


Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja kita selalu ingat bahwa masa depan itu' tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.
Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus pergi ke dokter gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu dengan dokter gigi, tetap saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir sendiri dengan tololnya. Saat tiba di tempat praktik dokter gigi, saya diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan. Saya belajar betapa sia-sianya rasa takut itu.
Rasa takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita tidak memakai kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa takut. Ada seorang samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut, namanya Si Belalang Kecil, seorang tokoh dari film seri kuno di televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu gemar sekali menonton film seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah, sebelum saya menjadi bhikkhu.
Suatu hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke ruangan di belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu terdapat kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru memperingati Si Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir kolam, karena kolam itu bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam yang sangat pekat.
"Tujuh hari lagi," Si Belalang diberi tahu, "kamu akan diuji. Kamu harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga keseimbangan di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati-hati! Kamu lihat kan tulang-belulang di dasar kolam itu?"
Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.
"Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu."
Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di sana, beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran hampir sama dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di atas tanah dengan disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh hari berikutnya Si Belalang Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk berlatih keseimbangan di atas papan itu.
Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun; menyeberangi papan di halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.
Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolam asam itu. Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari dasar kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah gurunya. "Jalan!" perintah sang guru.
Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia mulai bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin terhuyung-huyung. Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam. Tiba-tiba film itu terpotong oleh iklan.
Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.
Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si Belalang mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah dengan gemetar, lalu oleng..., dia jatuh!
Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara Si Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air. Tulang-belulang tua itu telah ditaruh di dalam koiam sebagai "tipuan khusus". Mereka telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga jadi korban akal-akalan.
"Apa yang membuatmu jatuh?" tanya sang guru dengan serius. "Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa takut."

--- oOo ---




SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN TULISAN
BHIKKHU DHAMMAVUDDHO MAHA THERA

Message of The Buddha

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa

7.  KEBENARAN MULIA KEDUA : PENYEBAB

"Sebab dari Dukkha adalah nafsu keinginan." Ini adalah Kebenaran Mulia kedua yang dinyatakan oleh Buddha.
"Dari nafsu keinginan timbullah kesedihan, dari nafsu keinginan timbullah ketakutan. Kepada dirinya yang telah terbebas sepenuhnya dari nafsu keinginan, tiada lagi kesedihan terlebih ketakutan."
Nafsu keinginan yang tidak terpuaskan. Kegelisahan yang alami dari makhluk hidup membuat mereka tidak puas dan mereka menginginkan untuk memuaskan nafsu mereka melalui indera-indera. Bagaimanapun nafsu untuk kesenangan duniawi tidak bisa dipuaskan, jadi mereka terus menginginkan lebih lagi. Diantara kesenangan duniawi, nafsu untuk hasrat seksual adalah kemungkinan yang terbesar, yang mungkin diikuti dengan makanan. Mulut kita seperti lubang yang tak beralas. Kita makan dengan rakus hingga kenyang dan hanya setelah beberapa jam, kita merasa lapar lagi.
Bahkan jutawan tidak puas dengan kekayaan mereka dan mereka menginginkan lebih lagi. Makhluk-makhluk surgawi dengan usia kehidupan jutaan tahun, juga mati secara tidak puas dengan berbagai ambisi yang belum dipenuhi, menurut Buddha.
Selain menginginkan kesenangan duniawi, makhluk hidup juga menginginkan keberlangsungan hidup yang abadi (yaitu tidak sudi mati) dan ada yang menginginkan ketiadaan (yaitu mereka yang bunuh diri) yang mengakibatkan kemelekatan atau keterikatan terutama pada saat-saat meninggal. Ketika makhluk meninggal dengan tidak puas, bara api nafsu tidak terpadamkan dan hasrat untuk hidup masih ada. Demikian kelahiran kembali terjadi dan lingkaran kehidupan terus berlanjut.
"Ada sebuah kondisi dari berakhirnya dukkha yang disebut nibbana." Ini adalah Kebenaran Mulia ketiga yang dinyatakan oleh Buddha.
Nibbana secara harfiah diartikan pemadaman, dan hanya satu-satunya kondisi bebas dari dukkha. Nibbana dapat dialami dalam kehidupan sekarang, atau setelah meninggal yang sering disebut parinibbana. Sementara keberadaan, yang terkondisi karena sebab-sebab, adalah tidak kekal dan dukkha, nibbana adalah tidak terkondisi, abadi dan sukha. Segala sesuatu yang berkondisi mempunyai karakteristik untuk muncul, berubah, dan berakhir, tetapi Nibbana adalah tanpa dilahirkan, tanpa berubah dan tanpa kematian. Ini adalah keadaan yang unik.
Buddha menyatakan “Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi” bahkan walaupun adanya penghentian segala persepsi dan perasaan ketika seseorang mengalami pencapaian nibbana. Buddha menjelaskan : “Wahai para bhikkhu, Tathagata tidak mengenali kebahagiaan karena sensasi yang menyenangkan sahaja, tetapi para bhikkhu, kemanapun kebahagiaan dicapai, disana dan hanya disana Tathagata mengenali kebahagiaan.”
[Tidak seperti orang biasa yang bergantungan pada hal-hal yang bersifat duniawi untuk merasakan kebahagiaan, Tathagata mengenali Nibbana sebagai kebahagiaan tertinggi].
Parinibbana. Ketika mencapai parinibbana,  tidak ada sesuatu yang diabadikan maupun dibinasakan karena bahkan disini dan sekarang dalam kehidupan ini juga ada inti dari sesuatu pribadi yang kekal. Tubuh jasmani dan batin adalah keadaan yang terus berubah. Buddha  menyamakan pencapaian parinibbana dengan api yang menyala yang  tergantung pada rumput dan ranting, yang dipadamkan ketika mereka tidak ada. Untuk bertanya apakah api tersebut telah pergi ke utara, selatan, timur atau barat, tidak cocok dengan kasus ini. Sama halnya  ketika bertanya apakah dalam pencapaian parinibbana, sesuatu makhluk dilahirkan kembali, tidak dilahirkan kembali, dilahirkan kembali dan tidak dilahirkan kembali, bukan dilahirkan kembali maupun tidak dilahirkan kembali juga tidak cocok dengan kasus ini. Hanya seperti api yang terus berlanjut membakar karena rumput dan ranting-ranting, begitu juga makhluk hidup berlanjut berputar di dalam lingkaran eksistensi karena ketamakan, kebencian dan kebodohan. Nibbana dicapai dengan lenyapnya noda-noda (kilesa) secara keseluruhan, pelenyapan pribadi yang kekal, yang bersifat khayalan, dan pemusnahan ketamakan, kebencian dan kebodohan. Ini adalah. pembebasan yang sempurna dari dukkha.
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
Penerjemah :
Rety Chang Ekavatti, S. Kom, BBA
Yuliana Lie Pannasiri, MBA
Penyunting :
Nana Suriya Johnny, SE
Andromeda Nauli, Ph.D


Kitab Suci Agama Buddha bagian dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka

Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H. Saddatissa

7. METTA SUTTA

Cinta Kasih

Pujian terhadap cinta kasih dan niat baik terhadap semua makhluk
1  Dia yang terampil mengusahakan kesejahteraan, yang ingin mencapai keadaan tenang [Nibbana], harus bertindak demikian ini: dia harus mampu, jujur, sungguh jujur, berucap luhur, lemah lembut, dan rendah hati. (143)
2  Merasa puas, mudah disokong, sedikit tugasnya, sederhana hidupnya, tenang inderanya, berhati-hati, tidak kurang ajar, tidak dengan tamak melekat pada keluarga-keluarga.                              (144)
3 Tidak melakukan apa pun yang dicela oleh para bijaksana. Semoga semua makhluk bahagia dan damai. Semoga hati' mereka penuh kebajikan!                                                                                (145)
4-5  Makhluk hidup apa pun juga yang ada: yang lemah atau kuat, tinggi, gemuk atau sedang, pendek, kecil atau besar, tanpa kecuali; yang terlihat atau tidak terlihat, yang tinggal jauh maupun dekat, yang sudah lahir atau pun yang akan lahir, semoga semua makhluk bahagia!                                                        (146-7)
6 Jangan menipu orang lain, atau menghina siapa saja di mana pun juga. Janganlah karena marah atau berniat jahat mengharap orang lain celaka.                                                                          (148)
7 Bagaikan seorang ibu mau melindungi anaknya yang tunggal dengan mengorbankan kehidupannya sendiri, demikian pula hendaklah dia mengembangkan hati yang tak terbatas kepada semua makhluk.   (149)
8 Hendaklah pikirannya dipenuhi cinta kasih yang tak terbatas, menyelimuti seluruh dunia. Ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa kebencian, tanpa rasa permusuhan apa pun. (150)
9 Apakah sedang berdiri, berjalan, duduk atau pun berbaring, selama masih terjaga, dia harus mengembangkan perhatian-kewaspadaan ini. Inilah yang dikatakan hidup termulia di sini.          (151)
10 Tidak terjatuh ke dalam pandangan salah, memiliki moralitas dan kebijaksanaan, dengan melepaskan kemelekatan terhadap nafsu indera, dia tak akan pernah terlahir lagi.                                  (152)

100  TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO

Dari : Siong, Makassar
Bhante, saya ingin menanyakan beberapa hal :
1. Bagaimana cara melakukan pelimpahan jasa untuk para leluhur kita? Apakah setelah berbuat baik, cukup dengan berkata dalam hati: "Semoga para leluhur berbahagia"? Mohon Bhante menjelaskan.
2. Saya pernah mendengar bahwa ada seseorang yang sudah menikah cukup lama tetapi belum memiliki anak. Dan ketika orang tersebut pergi meminta bantuan paranormal, paranormal mengatakan bahwa orang tersebut sangat jarang sembahyang para leluhurnya Dan setelah orang tersebut mendengar petunjuk paranormal tersebut, dia mulai rajin untuk sembahyang para leluhurnya. Tidak lama kemudian, mereka berhasil mempunyai anak.
Bhante, yang ingin saya tanyakan adalah: apakah memang orang tersebut berbuat salah terhadap leluhurnya sehingga dihukum lama untuk mempunyai anak?
Apabila kita bersalah pada leluhur, apa yang mesti dilakukan?
3. Bhante, di ajaran agama lain dikatakan bahwa dunia ini diciptakan. Dikatakan pula bahwa ada nabi yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang sakit.
Apakah memang nabi itu ada dan memiliki kekuatan menyembuhkan orang sakit?
Jika hal itu benar, apakah benar pula bahwa ada yang menciptakan Dunia ini?
4.  Bhante, apakah memang dewa ada?
Bagaimana membuktikannya? Karena biasanya ketika teman saya yang beragama lain bertanya, dan saya jawab "Ya", tetapi dia seakan-akan tidak percaya karena saya tidak dapat memberi sebuah bukti. Mohon Bhante membantu.

Jawaban:
1. Mempunyai niat untuk melakukan pelimpahan jasa kepada leluhur adalah merupakan niat yang mulia. Sebaiknya, pelimpahan jasa ini selain dilakukan pada waktu-waktu tertentu dengan upacara ritual keagamaan, juga dapat dilakukan setiap hari.
Pelimpahan jasa setiap hari dapat dilakukan pada malam hari sebelum beristirahat.
Setelah melakukan suatu kebajikan, misalnya dengan membaca paritta dan bermeditasi maka dapat diucapkan tekad dalam batin:
"Semoga dengan kebajikan yang telah dilakukan sampai saat ini akan memberikan kebahagiaan untuk para leluhur di kehidupan yang sekarang. Semoga leluhur bahagia. Semoga semua makhluk bahagia."
Ucapkan kalimat ini berulang-ulang sampai dirasakan cukup.
Pelimpahan jasa dapat juga dilakukan dengan membaca Ettavatta
Gatha yang pada salah satu syairnya berisi:
Semoga jasa-jasa ini melimpah
Pada sanak keluarga yang telah meninggal
Semoga mereka berbahagia
2. Orang yang lama tidak memiliki anak dan dapat melahirkan setelah bersembahyang pada leluhur bukan berarti mereka mempunyai kesalahan kepada leluhur. Sebenarnya keluarga itu mempunyai kekurangan karma baik sehingga sulit memiliki anak. Dengan melakukan persembahyangan kepada leluhur, keluarga itu terkondisi untuk menambah kebajikan melalui ucapan, badan dan pikirannya.
Apabila, timbunan kebajikan keluarga itu telah mencukupi, maka keinginan mereka dapat terkabul. Namun, apabila timbunan kebajikan mereka belum mencukupi, walaupun telah banyak melakukan persembahyangan, mereka tetap tidak akan mempunyai keturunan.
Jadi, para prinsipnya, suatu keluarga akan dapat terkabul harapannya bila mereka memperbanyak kebajikan dengan mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi.
Bersembahyang pada leluhur adalah merupakan salah satu bentuk kerelaan. Begitu pula dengan pelepasan makhluk ke habitatnya, atau membaca paritta secara rutin, atau bermeditasi bersama dlsb.
Jika seseorang sejak lahir belum pernah bertemu dengan leluhurnya, maka ia tidak mempunyai kondisi untuk bersalah kepada leluhur.
Namun, apabila seseorang telah pernah bertemu dengan leluhur sebelum mereka meninggal, maka ada kemungkinan ia melakukan kesalahan kepada leluhurnya tersebut.
Secara Buddha Dhamma, seseorang baik yang telah mengenal leluhur secara langsung maupun tidak mengenal leluhur yang telah meninggal sebelum ia terlahir, hendaknya tetap melakukan pelimpahan jasa yaitu berbuat baik atas nama leluhur.
Pelimpahan jasa ini akan mengkondisikan leluhur berbahagia di kelahirannya yang sekarang. Semakin banyak menerima pelimpahan jasa, semakin banyak pula leluhur terkondisi untuk menambah kebajikan melalui pikirannya sendiri. Timbunan kebajikan melalui pikiran inilah yang kan menyebabkan leluhur terlahir di alam yang lebih baik.
3. Memang dipercaya oleh ajaran lain bahwa dunia ini terjadi karena diciptakan.
Sedangkan dalam pengertian Agama Buddha, dunia ini terjadi sebagai hasil dari suatu proses evolusi yang membutuhkan waktu sangat lama.
Dari kedua pandangan yang amat berbeda ini sampai sekarang masih belum diketahui pandangan yang paling benar. Sedangkan para ahli ilmu pengetahuan lebih cenderung meyakini bahwa bumi ini terbentuk karena proses panjang, bukan penciptaan.
Namun, kalaupun bumi ini terjadi karena proses penciptaan, pencipta tidak harus sama dengan yang diceritakan oleh agama lain tersebut.
Jadi, membicarakan masalah ini hanya akan memancing perdebatan panjang yang tidak ada habisnya.
Dalam Dhamma, mengetahui bumi terbentuk karena ciptaan ataupun sebagai hasil suatu proses bukanlah hal yang penting dibandingkan perbaikan perilaku, ucapan dan pikiran seseorang. Tanpa mengetahui asal usul bumi sekalipun, orang hendaknya tetap berjuang memperbaiki kualitas moralnya.
Mengenai penyembuhan, memang dalam dunia ini ada orang yang mampu mengkondisikan kesembuhan orang yang sedang sakit.
Dikatakan 'mengkondisikan' karena sebenarnya tidak ada orang yang sembuh dari sakit HANYA karena kekuatan orang lain. Orang itu hanya mengkondisikan saja. Artinya, si sakit mungkin seharusnya akan sembuh dalam waktu sebulan, karena dikondisikan ia sembuh dalam waktu tiga hari.
Kalau memang si sakit sembuh HANYA karena pengaruh seseorang, maka tentunya si penyembuh dapat pergi dan bekerja di rumah sakit.
Akibatnya, rumah sakit akan segera kosong ditinggalkan pasien yang mendadak memperoleh kesembuhan.
Kenyataannya tentu tidak demikian. Tidak semua orang sakit dapat memperoleh kesembuhan. Mereka yang sembuh adalah orang yang mempunyai dukungan karma baik yang cukup.
Hal ini sama dengan orang yang memberi zat kimia tertentu pada buah yang akan masak. Bila kondisi buah itu mendukung, maka buah yang seharusnya masak dalam waktu satu minggu dapat dipercepat menjadi tiga hari. Kalau kondisi buah tidak sesuai persyaratan, maka berapapun zat kimia yang diberikan kepadanya tidak akan memberikan hasil yang sesuai dengan harapan.       
Adapun kemampuan seseorang mengkondisikan kesembuhan suatu penyakit bukanlah jaminan bahwa bumi ini diciptakan olehnya.
Kedua hal ini sungguh berbeda permasalahannya. Dewasa ini, mudah diketemukan paranormal yang mampu menyembuhkan penyakit yang parah sekalipun, namun tentunya bukan mereka yang menciptakan dunia.
4. Dalam pengertian Buddhis, dewa dan dewi adalah merupakan makhluk penghuni surga. Dalam istilah agama lain, para dewa dan dewi ini disebut sebagai malaikat.
Apabila ada orang yang tidak mempercayai keberadaan para penghuni surga ini, maka sebenarnya hal ini adalah hak mereka. Orang tidak dapat memaksakan suatu kepercayaan kepada orang lain. Keberadaan dan kebahagiaan para penghuni surga itu tidak akan berubah meskipun ada orang yang mempercayai mereka maupun tidak mempercayainya. Oleh karena itu, ketidakpercayaan orang akan adanya para dewa dan dewi janganlah ditanggapi dengan emosi. Lebih baik, berilah waktu kepadanya untuk berpikir dan merenungkannya
Umat Buddha meskipun mempercayai keberadaan para penghuni surga tersebut, hendaknya tidak menggantungkan diri kepada mereka. Umat Buddha hendaknya tetap berjuang untuk mengatasi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin tanpa harus dipengaruhi dengan pengertian ada atau tidak adanya para penghuni surga tersebut.
Para dewa dan dewi bukanlah penolong. Mereka adalah sesama makhluk hidup yang tinggal pada dimensi yang berbeda dengan manusia.
Dengan penjelasan ini semoga dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan.

--- oOo ---


JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi            :   Pk. 07.30 WIB - 09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu                 :   Pk. 09.30 WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu              :   Pk. 18.30 WIB - 19.30 WIB
Puja Bakti Uposatha                        :   Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
                                                      Jam 19.30 WIB - 21.00 WIB

6 Jenis Ucapan

Pandita Dr. R. Surya Widya, Sp.Kj
Thursday, October 22, 2009 at 12:22pm

Orang yang tidak bisu setiap hari pasti berbicara. Seringkali ucapan itu lebih cepat daripada berpikir, sehingga tanpa disadari telah melukai hati orang lain. Seharusnya berpikir dulu baru bicara, bukan bicara dulu baru berpikir.

Ada empat jenis ucapan yang perlu dihindari :
jenis pertama adalah ucapan yang tidak benar, tidak berguna dan tidak disukai orang lain;
jenis kedua adalah ucapan yang benar, tidak berguna dan tidak disukai orang lain;
jenis ketiga adalah tidak benar, tidak berguna namun disukai orang lain;
jenis keempat adalah ucapan yang benar, tidak berguna dan disukai orang lain.

Dan dua jenis ucapan yang boleh dilontarkan adalah: ucapan yang benar, berguna dan disukai orang lain; dan ucapan yang benar, berguna meskipun tidak disukai orang lain.

Banyak sekali hal yang terjadi karena ucapan yang keliru, kalau berdiam lebih baik --> berdiamlah dengan anggun (silent is golden). Kalau berbicara lebih baik daripada diam --> berbicaralah yang benar, berguna, beralasan dan tepat pada waktunya. (Majjhima Nikaya 58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar