Senin, 26 Agustus 2013

BRIVI AGUSTUS 2012

Tegal, 24 Agustus 2012                                                                                          
No : 60, Tahun Keenam

Penasehat                    :    Ketua Yayasan Metta Jaya
Penanggung Jawab     :    Ketua Dayakasabha Metta Vihara Tegal
Pimpinan Redaksi       :    Ibu Tjutisari
Redaksi Pelaksana      :    1.     Ibu Pranoto                 4.     Liliyani                                                
                                                        2.     Suriya Dhammo           5.     Sumedha Amaravathi
                                                        3.     Ade Kristanto
Alamat Redaksi           :    Metta Vihara
                                                        Jl. Udang No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688  an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA


DHAMMAPADA ATTAKHATA
Bab I - Syair 11 dan 12
Mereka yang menganggap ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan kebenaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran keliru seperti itu, tak akan pernah dapat menyelami kebenaran.
Mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran benar seperti itu, akan dapat menyelami kebenaran.
     
Kisah Sariputta Thera
Upatissa dan Kolita adalah dua orang pemuda dari dusun Upatissa dan dusun Kolita, dua dusun di dekat Rajagaha. Ketika melihat suatu pertunjukkan, mereka menyadari ketanpa-intian dari segala sesuatu. Lama mereka berdua mendiskusikan hal itu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya mereka bersama-sama memutuskan untuk mencari jalan keluarnya.
Pertama-tama, mereka berguru kepada Sanjaya, petapa pengembara di Rajagaha. Tetapi mereka merasa tidak puas dengan apa yang ia ajarkan. Karena itu, mereka pergi mengembara ke seluruh daerah Jambudipa untuk mencari guru lain yang dapat memuaskan mereka.
Lelah melakukan pencarian, akhirnya mereka kembali ke daerah asal mereka, karena tidak menemukan Dhamma yang sebenarnya. Pada saat itu mereka berdua saling berjanji, akan terus mencari. Jika di antara mereka ada yang lebih dahulu menemui kebenaran Dhamma harus memberitahu yang lainnya.
Suatu hari, Upatissa bertemu dengan Assaji Thera dan belajar darinya tentang hakekat Dhamma. Sang Thera mengucapkan syair awal, "Ye Dhamma hetuppabhava", yang berarti "Segala sesuatu yang terjadi berasal dari suatu sebab".
Mendengar syair tersebut mata batin Upatissa terbuka. la langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti magga dan phala.
Sesual janji bersamanya, ia pergi menemui temannya Kolita, menjelaskan padanya bahwa ia, Upatissa, telah men­capai tahap keadaan tanpa kematian, dan mengulangi syair tersebut di hadapan temannya. Kolita juga berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat akhir syair itu diucap.
Mereka berdua teringat pada bekas guru mereka. San­jaya, dan berharap ia mau mengikuti jejak mereka. Setelah bertemu, mereka berdua berkata kepadanya, "Kami telah menemukan seseorang yang dapat menunjukkan jalan dari keadaan tanpa kematian; Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul; Sangha telah muncul..... mari kita pergi kepada Sang Guru".
Mereka berharap bahwa bekas guru mereka akan pergi bersama mereka menemui Sang Buddha, dan berkenan mendengarkan ajaran-Nya juga, sehingga akan mencapai tingkat pencapaian magga dan phala. Tetapi Sanjaya menolak.
Oleh karena itu, Upatissa dan Kolita, dengan dua ratus lima puluh pengikutnya pergi menghadap Sang Buddha di Veluvana.
Di sana mereka ditahbiskan dan bergabung dalam pasamuan para bhikkhu. Upatissa sebagai anak laki-laki dari Rupasari menjadi lebih dikenal sebagai Sariputta. Kolita sebagai anak laki-laki dari Moggalli lebih dikenal sebagai Moggallana. Dalam tujuh hari setelah menjadi anggota Sangha, Moggallana mencapai tingkat kesucian arahat. Sariputta men­capai tingkat yang sama dua minggu setelah menjadi ang­gota Sangha.
Kemudian, Sang Buddha menjadikan mereka berdua se­bagai dua murid utama-Nya (agga-savaka).
Kedua murid utama itu kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana mereka pergi ke festival Giragga, pertemuan dengan Assaji Thera, dan pencapaian tingkat ke­sucian sotapatti. Mereka juga bercerita kepada Sang Bud­dha tentang bekas guru mereka, Sanjaya, yang menolak ajakan mereka.
Sanjaya pernah berkata, "Telah menjadi Guru dari sekian banyak murid, bagiku untuk menjadi murid-Nya adalah sulit, seperti kendi yang berubah menjadi gelas minuman. Di-samping hal itu, hanya sedikit orang yang bijaksana dan sebagian besar adalah bodoh. Biarkan yang bijaksana pergi ke­pada Sang Gotama yang bijaksana, sedangkan yang bodoh akan tetap datang kepadaku. Pergilah sesuai kehendakmu, murid-muridku".
Sang Buddha menjelaskan bahwa kesalahan Sanjaya adalah keangkuhannya, yang menghalanginya untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran; ia telah melihat ketidak-benaran sebagai kebenaran dan tidak akan pernah mencapai pada kebenaran yang sesungguhnya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 11 dan 12 berikut :
Mereka yang menganggap ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan kebenaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran keliru seperti itu, tak akan pernah dapat menyelami kebenaran.
Mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran benar seperti itu, akan dapat menyelami kebenaran.
Banyak bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian so­tapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

--- oOo ---

SEKAPUR SIRIH

Buletin Brivi merupakan media komunikasi dan persaudaraan umat Buddha khususnya umat Metta Vihara. Dengan harapan umat Buddha dapat melaksanakan per
ibadatan dan kegiatan spiritual keagamaan yang baik, lancar dan penuh kedamaian, kenyamanan. Untuk menggapai semua itu tentu harus kita usahakan bersama dengan mengutamakan kepentingan bersama mengurangi keegoisan, Metta Vihara dapat menjadi tempat mengolah batin agar kita dapat menjadi lebih bijaksana.
Dengan rasa suka cita redaksi kembali menampilkan naskah-naskah yang semakin menarik dengan menghimpun dan mengutip tulisan dari berbagai sumber.
Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah, demikian pula persembahan dan pelimpahan jasa kebajikan yang dilakukan sanak keluarga dari alam manusia akan mengalir kepada leluhur kita yang terlahir di alam menderita atau peta. Mereka kehausan dan kelaparan karena di alam peta tidak ada perkebunan maupun peternakan seperti di alam manusia, dengan ucapan pattidana kita akan dapat meringankan beban penderitaan mereka, dan manakala saatnya tiba jasa kebajikan yang kita kirim dapat membebaskan mereka dan terlahir di alam yang lebih baik. Pada tanggal 2 September 2012 Dayakasabha Metta Vihara akan menyelenggarakan Upacara Pattidana, merupakan kesempatan baik untuk mengirim jasa kebaikan di samping kita dapat mengirim jasa setiap kali kita melakukan kebajikan.
9 September 2012 Dayakasabha Metta Vihara akan mengadakan peringatan Hari Raya Asadha yang akan dihadiri oleh Bhikkhu DR. Jotidhammo Mahathera, Sangha Nayaka, Sangha Theravada Indonesia.
Hidup ini akan terasa indah apabila kita dapat berbagi dan melepas sebagian dari hasil yang kita peroleh dengan melakukan kebajikan yang paling mudah adalah dengan berdana. Dengan membiasakan diri kita melepas maka cara berpikir kita bisa berkembang selalu mengembangkan kasih sayang dengan sesama. Semoga kewajiban yang kita lakukan akan berbuah dalam bentuk kebahagiaan. Redaksi sangat berterima kasih atas dukungan dan partisipasi dari Bapak / Ibu / Saudara.
Semoga kehadiran buletin ini dapat membawa manfaat bagi kita semua. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Terima kasih.

Metta Cittena
Redaksi
--- oOo ---

DANA

Telah terima dana untuk ulang tahun bersama pada Minggu 22 Juni 2012
1.    Elsye                                Rp   100.000,-
2.    Liem Gwat Lian                 Rp     50.000,-
3.    Yo Kwie Hwa                     Rp   300.000,-
4.    Liem Tjioe In                    Rp   100.000,-
5.    Sri Rahayu                        Rp     50.000,-
6.    Kwee Sioe Mey                 Rp     20.000,-
7.    Munarso                           Rp     20.000,-
8.    Liem Kian Hwa                  Rp     20.000,-
9.    Loe Lian Phang                 Rp   100.000,-
10.  Lie Ing Tjong                    Rp     50.000,-
11.  Thio Hong                        Rp   150.000,-
12.  Tan Hong Lian                  Rp     10.000,-
13.  Ang Sioe Lan                    Rp     20.000,-
14.  Oey Tjioe Kiang                Rp   100.000,-
15.  Tjutisari                            Rp     60.000,-

Anumodana dan terima kasih atas dana Anda. Semoga kebajikan yang telah dilakukan berbuah umur panjang, sehat dan bahagia bersama keluarga.






PASAMUAN CABANG MAGABUDHI
KOTA TEGAL

Kepengurusan Magabudhi Kota Tegal periode 2007 - 2012 telah berakhir masa baktinya. Pada tanggal 5 Agustus 2012 telah diselenggarakan pasamuan cabang dengan dihadiri oleh Romo Warto dari Pengurus Daerah Jateng dan berhasil menyusun Pengurus Cabang yang baru untuk periode 2012 - 2017, dengan susunan pengurus sebagai berikut :

Ketua                 :   Pandita Muda Suriyadhammo
Wa. Ketua I        :   Upacarika Bodhisanto Lie Ing BEng
Wk. Ketua II       :   Upacarika Lukman Susilo
Sekretaris I         :   Upacarika Hadi Pramana
Sekretaris II        :   Upacarika Ade Kristanto
Bendahara I        :   Upacarika Iddha Tjang Fung Tje
Bendahara II      :   Pandita Muda Sumedha Aniaravathi Yanti T
Anggota             :   1.   Upacarika Yuningsih Pranoto
                              2.   Upacarika Tusita Wijaya
                              3.   Upacarika Lily Suryani
                              4.   Upacarika Liliyana
                              5.   Upacarika Lie Thiam Lan

Selamat mengabdi pada Buddha Dhamma, semoga sukses dan bahagia selalu.
Shadu Shadu Shadu.




Anak dan Orang Tua
(Sebaliknya)

Thursday, August 12, 2010 at 3:00pm
20 tahun kehidupan awal seorang anak biasanya ditanggung 100 % oleh kedua orang tuanya, ......
..... akan tetapi belum tentu 20 tahun kehidupan akhir orang tuanya
bisa ditanggung oleh semua anaknya secara gotong royong.
Anak akan jaya kalau orang tuanya kaya raya, .....
.........  orang tua belum tentu  sejahtera meskipun  anaknya jadi konglomerat. (malin kundang?)
Kalau anak sakit berat dan gawat, orang tua sangat peduli, bila perlu kurang tidur, kalau bisa penyakit si anak pindah ke dirinya, mengorbankan segala kepentingan lain demi kesembuhan anak, selalu berdoa agar kelak si anak memiliki hari depan yang cerah .....
..... akan tetapi kalau orang tua yang sakit berat dan sekarat, banyak anak yang kurang peduli, lebih suka mengirimkannya ke rumah sakit atau ke rumah jompo, lebih suka membayar orang lain yang menjaga/merawat orang tuanya, bahkan kalau sakitnya berlarut-larut banyak anak yang berdoa agar orang tuanya lekas pindah ke alam lain, agar mereka terbebas dari beban.
Mengapa bisa begitu ? hehehehe
Yang jadi orang tua jangan pesimis, janganlah mengandalkan hari tua kepada anak, karena mereka belum tentu mau berbakti; yang penting adalah mempersiapkan diri dengan baik, sehingga hari tua menjadi lebih indah dan bermakna bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. OK ?

--- oOo ---

Sumber : Buku Setitik Cahaya di Balik Kabut 2.

Sujud Kepada Orang Tua

Sebelum melaksanakan upacara perkawinan dalam tata cara agama Buddha biasanya diawali dengan bersujud kepada ayah dan ibu dari kedua mempelai sebagai ungkapan mohon doa restu akan membentuk satu rumah tangga baru atau sesudah upacara perkawinan usai, seringkali diikuti dengan acara bersujud kepada orang tua. Anak yang baru saja resmi menikah menurut tata cara agama memberi hormat kepada ayah dan ibunya, menyampaikan ucapan terima kasih karena telah dibesarkan menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan mandiri.
Ada anak yang mengucapkan kata katanya dengan berlinang air mata, terisak menahan tangis, ada juga yang ringan-ringan saja berucap sambil tersenyum ria. Untuk mempelai wanita yang mengeluarkan air mata pasti akan merusak penampilan, karena banyak bahan kosmetik yang luntur terbawa air mata.
Bersujud atau berlutut kepada ayah, ibu atau mertua adalah hal yang pantas dilakukan oleh anak anak, meskipun ada juga yang tidak mau melakukannya. Ini hanya sebuah ritual saja, yang ditonton oleh orang banyak. Yang penting adalah praktek selanjutnya untuk melaksanakan kewajiban anak atau menantu kepada orang tua atau mertua.
Kalau tidak mati-mati, ya sudah pasti orang tua atau mertua akan menjadi semakin tua, itu berarti akan menjadi pikun, lemah, sakit-sakitan, disamping semakin cerewet, semakin sensitif, susah diterka, dan semakin susah diatur. Tentu anak dan menantu harus tetap sabar mengurus atau merawat, berbakti secara tuntas tanpa kompromi, dan membuat mereka bahagia.
Salah satu hal yang penting dari bukti sujud ini adalah melanjutkan perbuatan baik yang telah dilakukan oleh orang tua atau mertua. Perbuatan baik yang telah dilakukan tidak boleh terhenti karena orang menjadi tua, pensiun, sakit atau meninggal dunia. Dengan demikian nama baik orang tua atau mertua akan tetap terjaga dengan baik.
--- oOo ---

Sumber : Buku Setitik Cahaya di Balik Kabut 2.

Suami Isteri yang
Bahagia

Thursday. August 27, 2009 at 12:43pm

Apabila sepasang suami isteri,
Penuh dengan pengendalian diri,
Selalu berbicara dengan ramah,
Hidup sesuai dengan ajaran Buddha,
Hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan,
Akan memperoleh berkah hidup damai.
Kesedihan adalah musuh mereka,
Pertengkaran adalah lawan mereka,
Selalu rukun dan bahagia.

Apabila hidup sesuai dengan Dhamma,
Maka mereka akan hidup berbahagia,
Seperti di alam dewa-dewi,
Sesuai dengan yang mereka harapkan
(Anguttara Nikaya 11, 61)

--- oOo ---

Sumber : Buku Setitik Cahaya di Balik Kabut 2.





Kesempurnaan dan Kesalahan

Rasa Bersalah dan Pengampunan


Beberapa tahun yang lampau, seorang wanita muda Australia datang untuk menemui saya di vihara saya di Perth. Para bhikkhu memang sering dimintai nasihat untuk masalah-masalah umat, barangkali karena jasa kami murah, kami tak pernah minta bayaran. Wanita ini datang karena dia tersiksa oleh rasa bersalahnya. Enam bulan sebelumnya, dia bekerja pada sebuah pertambangan terpencil di bagian utara Australia Barat. Pekerjaan di sana berat, tapi banyak duitnya. Hanya saja tak banyak yang bisa dilakukan di luar jam kerja. Jadi pada suatu Minggu siang, dia mengajak sahabat dan pacar sahabatnya untuk bepergian naik mobil ke padang rumput. Sahabatnya tak ingin pergi, begitu pun pacarnya, tetapi tak asyik rasanya kalau main sendirian saja. Jadi, dia membujuk, berkilah, dan merengek sampai akhirnya mereka menyerah dan bersedia pergi bersama-sama.
Lalu terjadilah kecelakaan mobil mereka tergelincir di jalan batu yang longsor. Sahabatnya tewas; pacar sahabatnya jadi lumpuh. Itu adalah gagasannya, tetapi dia sendiri selamat.
Dia bercerita kepada saya dengan duka di matanya: "Kalau saja saya tidak memaksa mereka untuk pergi, sahabat saya pasti masih hidup, dan pacarnya tidak akan kehilangan kaki. Seharusnya saya tidak membuat mereka pergi dengan saya. Saya merasa ngeri sekali. Saya merasa sangat bersalah."
Pikiran pertama yang melintas di benak saya adalah untuk menenangkannya bahwa itu semua bukan salahnya. Dia tak merencanakan untuk mengalami kecelakaan itu. Dia tidak berniat menyakiti sahabatnya. Semuanya sudah terjadi. Biarlah berlalu. Jangan merasa bersalah. Namun, pikiran berikutnya yang melintas adalah, "Berani taruhan dia pasti sudah mendengar nasihat semacam itu, ratusan kali, dan tampaknya tidak mempan." Jadi, saya diam sejenak, merenungkan situasinya lebih dalam, lalu saya katakan kepadanya bahwa bagus juga kalau dia merasa begitu bersalah.
Wajahnya berubah dari sedih menjadi terkejut, dan dari terkejut menjadi lega. Dia belum pernah mendengar perkataan seperti itu sebelumnya: bahwa dia semestinya merasa bersalah. Dugaan saya benar. Dia merasa bersalah akan perasaan bersalahnya. Dia merasa bersalah dan setiap orang bilang bahwa dia tidak boleh merasa bersalah. Karena itu, dia merasa "dua kali bersalah", merasa bersalah karena kecelakaan itu dan merasa bersalah atas perasaan bersalahnya. Begitulah cara kerja pikiran kita yang ruwet ini.
Hanya ketika kita telah mengatasi lapisan pertama perasaan bersalahnya dan menegaskan bahwa tak apa-apa kalau dia merasa bersalah, barulah kita bisa melanjutkan ke tahap berikut pemecahan masalahnya: "Lalu sekarang bagaimana?"
Ada pepatah Buddhis yang sangat membantu: "Daripada mengeluhkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin."
Selalu ada sesuatu yang bisa kita perbuat alih-alih merasa kesal, bahkan sekalipun sesuatu itu hanyalah duduk diam sejenak, tanpa mengeluh. Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Di dalam kebudayaan kita, "bersalah" adalah keputusan yang diketok-palukan oleh hakim di pengadilan. Dan jika tak ada seorang pun yang menghukum kita, kita akan menghukum diri kita sendiri, dengan satu dan lain cara. Perasaan bersalah berarti hukuman di dalam batin kita.
Jadi, wanita muda ini memerlukan suatu kiat pengampunan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Sekedar memberitahukannya untuk melupakan apa yang terjadi tampaknya tak berkhasiat. Saya menyarankannya untuk menjadi relawan di sebuah unit rehabilitasi korban kecelakaan lalu lintas di rumah sakit setempat. Karena di sini, saya pikir, dia akan menanggalkan rasa bersalahnya dengan bekerja keras, dan juga seperti yang biasanya terjadi pada kerja sukarela, dia akan sangat terbantu oleh orang-orang yang dibantunya.


--- oOo ---




Cerpen
CINTA DI PERSIMPANGAN JALAN
Oleh : Yohana Yoe
Kau tak tahu betapa indahnya dunia saat ia menatapku untuk pertama kali. Di persimpangan, dekat dengan rumahku. Matanya yang sendu. Rambutnya yang hitam.
Seharian itu aku terus terbayang olehnya. Bagaimana jadinya kalau ia nanti menyapaku dan mengajakku berkenalan? Aku terus tersenyum sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Inilah cinta pertamaku. Cinta yang berawal dari tatapan mata di persimpangan jalan. Hihihihihi.... mungkin begini rasanya orang yang sedang jatuh cinta!
Esoknya kulewati jalan itu lagi untuk berangkat ke sekolah. Tepat ketika di persimpangan jalan, aku tersenyum melihatnya sedang duduk membisu memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dihadapannya.
Uwaaaaa, matanya yang bersorot tajam, kaos putihnya yang terlihat lusuh, tubuhnya yang jangkung, dan aku baru sadar, kulitnya yang putih semakin menambah daya tariknya.
Setiap pagi aku melihatnya, membuatku selalu bersemangat ke sekolah. Bagaimana tidak? Aku melihat cinta pertamaku menatapku sambil berharap-harap cemas kalau suatu ketika ia akan memanggilku dan mengajakku berkenalan. Betapa aku mengharapkannya saat-saat itu akan segera tiba. Aku mohon Tuhan, percepat saat-saat yang aku dambakan itu datang!
Rasa ini semakin berkembang sampai suatu ketika aku melihat keramaian dan berbagai macam bunga ditaburkan tepat di persimpangan jalan, tempat biasa aku melihat 'pria bermata sendu' itu.
Baru kusadari bahwa cinta pertamaku itu tidak ada di tempat biasa aku melihatnya. Aku segera menghampiri mereka yang berkerumun. Kutanyakan untuk apa mereka melakukan ini semua, berdoa dan menaburkan bunga.
Sedetik kemudian ada sesosok yang memperhatikanku. Di ujung jalan sana, tak jauh dari persimpangan jalan. Kuperhatikan sosoknya yang semakin memudar.
Jantungku benar-benar terasa sakit ketika mendengarkan jawabannya. Hari ini, tepat 40 hari atas kepergiannya. Baru kusadari bahwa yang kulihat hanyalah bayang-bayang atas ketidakrelaannya untuk pergi.
Empat puluh hari yang lalu seorang pria memakai kaus putih mengendarai motor. la mengurangi kecepatan ketika hendak membelok ke arah kanan. Tapi dari arah berlawanan muncul mobil sport yang melaju dengan kecepatan penuh. Dan kecelakaan itu tak bisa dihindari.
Esoknya, hari Rabu. Tepat tujuh hari sejak aku bertemu dengan 'pria bermata sendu' itu. Sengaja aku berangkat lebih pagi dari biasanya untuk melihat tempat kepergiannya. Di sini, untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya, di sini ia menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.
Baru selangkah aku meninggalkan tempat itu, kulihat sekelebat bayangan yang begitu cepat melintas di hadapanku. Ia ada disana. Aku merasakannya. Dan ia tersenyum untukku. Untukku seorang.
--- oOo ---

Benam diri dalam khutbah perdana Buddha Gautama


“Guru Agung memberikan jalan kepada manusia untuk
memadamkan hawa nafsu yang berkobar.
Kita boleh punya keinginan tetapi yang berdasarkan kearifan…
agar tidak berkobar menjadi hawa nafsu.”

Minggu, 29 Juli 2012 04:00 WIB | M. Hari Atmoko

Seorang di antara ratusan biksu beranjak dari tempatnya bersila di samping kiri altar besar di barat Candi Mendut. Ia lalu berjalan perlahan dan berhenti sejenak tepat di depan patung Sang Buddha Gautama.
Biksu tua berumur 59 tahun itu, Sri Pannavaro Mahathera, mengatupkan kedua tangan di depan dadanya lalu membungkuk sebagai tanda hormat kepada Guru Agung Sang Buddha Gautama yang dilambangkan dalam bentuk patung berwarna kuning keemasan di tengah altar berhiaskan rangkaian bunga-bunga, 10 lilin aneka warna, dan lima penjor dari janur berwarna kuning.
Suasana takzim seakan telah meresap di sanubari ribuan umat Buddha berasal dari sejumlah tempat di Indonesia dan beberapa lainnya dari luar negeri seperti India, Belanda, dan Prancis yang berkumpul dengan bersila di atas karpet merah di depan tiga altar besar di sisi bagian barat, selatan, dan timur Candi Mendut.
Hari memang sudah petang dengan bulan berbentuk separo berhiaskan perarakan perlahan awan di langit Candi Mendut mengikuti sapuan irama angin. Ratusan lampion aneka warna menghias pagar yang mengelilingi pelataran Mendut.
Bante Pannavaro yang juga Ketua Sangga Theravada Indonesia itu naik ke kursi warna merah nan tampak gagah bagaikan singgasana di depan bagian kanan dari patung Sang Buddha Gautama. Kedua kakinya dilipat. Ia yang puluhan tahun lalu merintis perayaan Waisak di Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon itu duduk bersimpuh dengan ribuan umat di hadapannya.
Satu lipatan kain warna kuning khas biksu Sangga Theravada yang dikenakan, dirapikannya dengan diletakkan di antara kedua lutut, lalu tangannya membetulkan bagian lain kain itu yang menyampir di pundak kanannya.
Kedua tanggannya kembali dikatupkan di depan dada, lalu ia pejamkan kedua mata, dan terlihat seakan ia mengatur pernapasan selama beberapa saat, sebelum ia memulai mendaraskan kata-kata bernas melalui khutbah Hari Asadha.
Suasana terasakan makin dalam balutan hening dibangun seluruh umat Buddha yang sedang merayakan Hari Asadha di pelataran Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur, Sabtu (28/7).
Perayaan Asadha 2556 Era Buddhis atau 2012 Masehi oleh umat Buddha untuk memperingati saat Sang Buddha membabarkan pertama kali dhamma atau yang sering disebut dengan Pemuataran Roda Dhamma, kepada lima pertapa yakni Kondanna, Assaji, Bhadiya, Vappa, dan Mahanama di Taman Rusa Isipatana, dekat Benares, India.
Asadha atau juga disebut Asalha berasal dari nama bulan keempat dalam penanggalan lunisolar (kalender yang disesuaikan dengan pergerakan bulan dan matahari), masa India kuno atau jatuh antara Juli-Agustus dalam penanggalan Masehi. Perayaan Asadha 2556 bertepatan dengan 2600 tahun pembabaran pertama kali tentang dhamma oleh Sang Buddha.
Kata “dhamma” berasal dari bahasa Pali, sedangkan dalam bahasa Sansekerta “dharma” yang artinya hukum atau ajaran dalam agama Buddha. Bante Pannavaro menyebutkan bahwa pembabaran perdana dhamma oleh Sidharta Gautama pada 26 abad lalu itu sebagai waktu kelahiran agama Buddha.
Rangkaian perayaan Asadha 2556 oleh umat Buddha Indonesia antara lain ditandai dengan puja bakti berupa penghormatan terhadap relik Sang Buddha di Candi Pawon sekitar satu kilometer timur Candi Borobudur. Selain itu, ribuan umat dengan masing-masing membawa bunga sedap malam bersama sekitar 170 biksu, samanera (calon biksu), dan atasilani (kaum perempuan pertapa) melanjutkan rangkaian perayaan itu dengan prosesi jalan kaki dari Candi Pawon menuju Candi Mendut.
Para biksu dengan iringan musik rohani buddhis kemudian berpradaksina atau berjalan mengelilingi pelataran Candi Mendut melewati tiga altar dan ribuan umat yang duduk bersila di depan masing-masing altar, sedangkan sejumlah biksu lainnya memasuki candi itu untuk membacakan paritta.
Mereka kemudian melanjutkan prosesi puja bakti selama beberapa saat berupa pembacaan doa yang dipimpin oleh Romo Pandita Sugiyanto di pelataran Candi Mendut.
“Terpujilah Sang Bagava, yang telah mencapai penerangan sempurna. Kami berlindung kepada Sang Bagava, Sang Bagava Guru Agung kami. Saat ini kami berkumpul di sini. Pada hari purnama di Bulan Asadha, untuk memperingati terputarnya roda dhamma. Muncul himpunan sinar mulia, lengkap dengan tirta. Dengan tangan sendiri kami lakukan persembahan antara lain pelita, dupa, bunga, dan benang kebajikan nyata Sang Bagava. Kami lakukan puja pada candi dengan persembahan sebagaimana kami haturkan kepada Sang Bagava yang telah lama parinibana, yang tampak melalui sifat-sifat kebajikan. Puja kami demi kesejahteraan dan kebahagiaan kami semua, untuk selama-lamanya,” demikian penggalan doa puja bakti itu yang dipimpin Pandita Sugiyanto dan dilafalkan secara bersama-sama oleh umat Buddha.
Beberapa biksu secara bergantian kemudian memimpin pengucapan doa-doa yang ditirukan secara takzim oleh seluruh umat di pelataran Candi Mendut itu.
Pada kesempatan itu, dua pemudi dan seorang pemuda Buddhis membacakan kisah tentang pembabaran perdana ajaran Sang Buddha. Ajaran itu antara lain tentang delapan jalan untuk membuka batin manusia yakni pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Selain itu, pembabaran menyangkut penderitaan yang dialami manusia, penyebab penderitaan itu, dan jalan yang harus ditempuh manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut.
“Malam ini ibu, bapak, saudara-saudara, para biksu, samanera, atasilani, padita, ribuan umat Buddha duduk dengan hening, merenungkan dan mengagungkan kembali, seolah-olah ingatan kita pada 2600 tahun lalu, saat bulan purnama di Bulan Asadha, di kesunyian Taman Kijang Isipatana, Guru Agung membabarkan dhamma,” kata Bante Pannavaro saat berkhutbah dengan tampak kharismatis itu.
Ketika pembabaran pertama dhamma oleh Sang Buddha, katanya, 10 ribu tata surya bergetar dan berguncang, laksana alam pikiran manusia waktu itu dan mungkin saat ini juga bergetar dan berguncang memperingati Hari Asadha.
Ia menjelaskan, penderitaan manusia bukan datang dari luar dirinya, bukan pula suatu hukuman, akan tetapi konsekuensi atau akibat perbuatan manusia yang tidak baik. Penderitaan manusia bersumber persis di dalam dan dari dalam diri manusia sendiri.
“Sebab penderitaan itu karena maksud dan keinginan yang tidak terkendali, yang berkobar. Keinginan, hawa nafsu berkobar mendapat pemenuhan itu menjadi kelekatan yang sulit dilepaskan. Keinginan yang terpenuhi akan menuntut kembali lebih hebat. Kita kejar untuk dipenuhi kembali. Kita rasakan bahagia sebentar. Keinginan yang terpenuhi, bukan itu kebahagiaan. Ya itu kebahagiaan tetapi sepintas,” katanya.
Guru Agung Buddha Gautama, katanya, mengajarkan bahwa kebahagiaan terjadi apabila api hawa nafsu yang berkobar itu menjadi padam atau setidaknya mengecil. Saat itulah manusia merasakan ketenteraman.
“Memenuhi hawa nafsu tidak ada akhirnya, hawa nafsu mengakibatkan penderitaan. Tetapi mengecilkan dan bahkan memadamkan hawa nafsu memberi ketenteraman. Keserakahan yang berkurang, iri hati yang berkurang, dendam yang berkurang, benci yang berkurang, sudah memberi kebahagiaan,” katanya dalam khutbah dengan suara perlahan, irama teratur, dan bernada “berat”.
Ia mengemukakan tentang pentingnya pemanfaatkan kedudukan atau kekuasaan secara baik dan materi secara tepat untuk banyak orang. Selain itu, sikap jujur dan tidak korupsi harus dilakukan mereka agar terbangun hidup yang damai, karena kedudukan dan materi bukan penjamin kebahagiaan.
Orang bijaksana, katanya, menyadari bahwa hawa nafsu yang berkobar-kobar itu harus diredam atau setidaknya dikecilkan agar tergapai kehidupan yang tenteram dan damai itu. Hawa nafsu yang diumbar akan mendatangkan kehancuran hidup baik pribadi, masyarakat, lingkungan, maupun peradaban.
Guru Agung meminta umat untuk bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri karena hidup bukan misteri, sedangkan apa yang dialami manusia sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
“Guru Agung memberikan jalan kepada manusia untuk memadamkan hawa nafsu yang berkobar. Kita boleh punya keinginan tetapi yang berdasarkan kearifan, harus selektif dengan keinginan agar tidak berkobar menjadi hawa nafsu,” katanya.
Ia menjelaskan, upaya memadamkan kobaran hawa nafsu itu melalui pengendalian diri, berpuasa. Ajaran mengendalikan diri juga berlaku di semua agama. Ajaran itu membuat hidup manusia menjadi damai dan harmoni baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
Perbaikan atas regulasi atau undang-undang, katanya, tidaklah sebagai hal yang cukup untuk kehidupan bersama, akan tetapi upaya itu harus disertai dengan penegakan pengendalian diri setiap orang.
“Lingkungan memberi pengaruh, masyarakat memberi pengaruh kepada kita, dan sebaliknya perilaku kita berpengaruh kepada orang lain, masyarakat, dan lingkungan,” katanya saat khutbah renungan Hari Asadha itu.
Selain itu, katanya, Guru Agung juga mengajarkan pentingnya meditasi sebagai jalan untuk membersihkan pikiran dari berbagai ikhwal yang buruk karena pikiran buruk menjadi akar kekotoran batin.
Ia menjelaskan, jalan meditasi bukan semata-mata untuk manusia mencari ketenangan, melainkan membangun kesadaran dan menguatkan manusia, serta menjadikan manusia makin awas atas pikirannya.
“Pengendalian diri tidak cukup tanpa meditasi. Meditasi mencabut kekotoran batin dan membersihkan pikiran. Pikiran yang bersih membebaskan manusia dari penderitaan. Dengan pikiran yang bersih, manusia dapat menjaga diri, menjaga keluarga, dan menjaga masyarakat. Dan semoga semua makhluk berbahagia,” katanya.
Renungan Hari Asadha di pelataran Candi Mendut oleh sang biksu senior tersebut, seakan begitu terasa membenamkan ajaran dhamma Buddha Gautama kepada batin terdalam setiap umat. (M029)

Editor : B Kunto Wibisono


SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN TULISAN
BHIKKHU DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
KAMMA DAN KONDISI-KONDISINYA
Akibat dari kamma adalah berbeda untuk masing-masing orang (A.N. 3.99). Di samping faktor kehendak, juga tergantung pada orang yang melakukan kamma dan kepada orang yang dikenai suatu kamma. Misalnya, perbuatan jahat yang kecil yang dilakukan seseorang yang tidak terlatih dalam tindakan moral, pikiran dan kebijaksanaan, yakni seseorang yang dengan terus menerus melakukan kamma buruk, kemungkinan dapat membawanya ke alam neraka. Perbuatan jahat yang serupa dilakukan seseorang yang terlatih dalam tindakan moral, pikiran dan kebijaksanaan, yakni seseorang yang dengan terus menerus melakukan kamma baik, maka hasil yang tak menyenangkan tersebut akan diterima di kehidupan saat ini, dan tidak begitu terasa lagi di kehidupan berikutnya.
Sebagai perumpamaan : andaikan anda sedang memasak di belakang rumah anda, dan seorang pengemis datang di depan rumah anda untuk meminta uang, dan dia tidak melihat siapapun. Jadi dia berjalan menuju aula depan dan dia menemukan sepuluh dollar atau seratus dollar di atas meja. Karena masih tak melihat siapapun di sana, lalu iapun mengantongi uang tersebut dan berjalan keluar. Pas pada waktu itu, anda keluar dari belakang dan melihat pengemis tersebut berjalan pergi, dan memperhatikan bahwa uang di meja telah hilang. Maka kemungkinan besar anda akan menjerit dan berusaha menangkap pengemis tersebut, atau menelepon polisi untuk menangkap pengemis tersebut. Akhirnya, pengemis tersebut masuk penjara.
Tetapi, andaikan seseorang yang sangat terkenal, mungkin seorang politisi yang sangat terkenal, mengunjungi anda, dan karena tidak menjumpai siapapun, dia juga masuk ke rumah anda. Seperti sebelumnya, anda ada di belakang rumah, dan keluar pada saat dia berjalan pergi, dan uang anda hilang. Mengenali dia, kemungkinan anda tidak akan menelepon polisi karena anda sendirilah nantinya yang akan dipersulit oleh orang yang berpengaruh ini. Dan pada akhirnya mungkin saja dia akan dibebaskan.
Seperti yang dapat anda lihat di sini, walaupun dua orang melakukan kamma yang sama, hasil daripada tindakan mereka bisa berubah. Jadi penting bagi kita untuk melakukan banyak kamma baik ia akan mendukung kita bahkan ketika kita melakukan suatu tindakan jahat, konsekuensi dari tindakan jahat diminimalisasi, serupa halnya dengan politisi yang berpengaruh tersebut. Sebaliknya, mereka yang telah melakukan banyak kamma buruk yang miskin dalam pahala, serupa halnya dengan pengemis yang miskin akan sangat menderita sebagai akibatnya.
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
Penerjemah :
Yuliana Lie Pannasiri, MBA
Andromeda Nauli, Ph.D
Penyunting :
Nana Suriya Johnny, SE
Melangkah di Keheningan
Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo
dan ajaran Agama Buddha
Dibalik Kisah :
Bagaimana Bambang menjadi Uttamo?
Sebuah Pendekatan
Ternyata, berbagai kelainan yang dimiliki pasien sangat berhubungan dengan kehidupan lampau mereka. la yang takut sekali dengan air, ternyata dalam kondisi hipnosis menceritakan bahwa dalam kehidupan lampaunya ia pernah meninggal tenggelam. la yang mengaku pernah terlahir di Afrika, diminta untuk menyanyikan lagu daerah yang dimengerti, ternyata setelah dicocokan dengan keterangan dari staf kedutaan salah satu negara di Afrika, memang benar lagu itu pernah dikenal pada jaman dahulu. Padahal, orang yang dihipnosis sama sekali tidak bisa bahasa yang ia pergunakan untuk menyanyi ketika dalam pengaruh hipnosis. Jadi, pada intinya, keterangan yang diberikan oleh pandita itu menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia selalu ada sebabnya dan bisa dibuktikan. Jawaban yang sangat menarik dan mempengaruhi diri untuk bertekad mengenal, mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha.
Pada mulanya, saya belajar Dhamma dengan cara diskusi dengan beliau terlebih dahulu. Berbagai pertanyaan selalu bisa dijawab dengan memuaskan. Padahal, setiap jawaban pasti akan menimbulkan pertanyaan yang baru. Berbagai Jawaban yang masuk akal ini menambah semangat saya untuk terus dan terus belajar Dhamma. Setiap malam, mulai jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 saya dengan setia datang ke kelenteng itu dan berdiskusi. Malam demi malam telah dilewati dengan penuh semangat. Tidak terasa, tiga bulan berjalan dengan cepat. Banyak hal yang telah saya ketahui, namun semakin banyak pula yang saya merasa ingin mengetahui dan mempelajari tentang Ajaran Sang Buddha. Saya kemudian mulai membaca satu per satu buku yang ada dalam perpustakaan kelenteng tersebut. Tidak lama kemudian, seluruh koleksi buku yang ada di perpustakaan sudah habis terbaca. Pada waktu itulah saya mengerti bahwa Agama Buddha terdiri dari dua bagian yaitu Ajaran Sang Buddha dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Sebelum mempelajari Dhamma, saya hanya melihat Agama Buddha dari tradisi yang dilakukan umatnya sehingga saya sering mengucapkan kata 'sapu' untuk ungkapan 'sadhu1 yang sesungguhnya bermakna 'semoga demikianlah yang terjadi'.
Ternyata, masyarakat umum juga masih sering memandang Agama Buddha dari sudut tradisi. Banyak orang kemudian mengatakan bahwa Agama Buddha kuno karena duduk di lantai pada saat upacara ritual. Padahal, duduk di lantai bukanlah keharusan. Itu hanyalah tradisi. Upacara ritual Buddhis boleh saja dilakukan sambil duduk di kursi. Tidak masalah. Hal yang terpenting dalam Dhamma adalah meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran agar ia terbebas dari ketamakan, kebencian maupun kegelapan batin. Pengendalian pikiran ini tidak terpengaruh dengan cara duduk, cara berpakaian, bahasa yang dipergunakan pada saat upacara ritual serta berbagi tradisi lainnya.
Namun, selain tradisi, Agama Buddha juga berisikan Ajaran Sang Buddha yang lebih dikenal dengan Buddha Dhamma. Inti Ajaran Sang Buddha sangat sederhana yaitu seseorang harus mampu menerima perubahan. Semua kondisi dunia ini selalu berubah; berkumpul - berpisah, memperoleh - kehilangan, lahir - mati, suka - duka serta masih banyak hal lainnya yang seperti ini. Manusia sebenarnya sudah mengetahui hal ini, namun, pengetahuan hanya berlaku untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Jadi, ketika ada orang yang tengah sedih akibat putus cinta, bisa saja ia memberikan nasehat agar orang tersebut tidak sedih dengan berusaha memahami perubahan atau ketidakkekalan sikap pacarnya itu. Namun, ketika ia sendiri mengalami putus cinta, maka ada banyak alasan baginya untuk membenarkan sikap sedih yang ia rasakan. la menolak nasehat yang diberikan temannya yang pernah putus cinta dan dinasehatinya. Dengan demikian, seseorang hanya menerima perubahan untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. la sendiri masih tidak siap menerima perubahan, Hal ini bisa juga berlaku untuk segala penyebab suka duka yang dialami sendiri.
Oleh karena itu, ketika seseorang belajar Dhamma, ia hendaknya mulai belajar menerima kenyataan bahwa hidup berisi perubahan. Dhamma bukan bertujuan untuk menjadikan seseorang pandai dalam memberikan nasehat, melainkan menjadikan seseorang yang selalu bahagia dan tenang batinnya dalam menghadapi segala perubahan dengan menerapkan nasehat yang diketahui untuk diri sendiri.
Bagaimana agar seseorang bisa menghayati perubahan dalam hidup? Mudah sekali. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembangkan kerelaan. Yah, kerelaan. Apakah yang disebut kerelaan? Pada awalnya, seseorang belajar merelakan segala sesuatu yang bersifat materi atau benda agar dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang membutuhkan. Misalnya, ketika melihat mereka yang menderita, seseorang hendaknya mulai membiasakan diri membantunya. Bantuan dapat berupa makanan, uang, kendaraan, dan segala sesuatu yang bersifat benda atau materi. Pemberian ini sesungguhnya mengkondisikan adanya perubahan watak dan cara berpikir. Bahwa hal utama di sini bukanlah nilai materi yang diberikan, namun, mampukah seseorang melepas sebagian miliknya yang berharga? Kemampuan tersebut akan berguna ketika mungkin terjadi kerusakan pada sepeda motornya. la dengan tenang menerima perubahan ini dengan mengembangkan pengertian bahwa kerusakan sepeda motor yang dialami senilai kalau ia meminjamkan kepada pihak lain, la menjadi lebih siap menghadapi kenyataan ini.
Apabila tahap mampu menerima kenyataan ini sudah bisa dicapai, maka selanjutnya ia harus menggunakan kenyataan yang dialami tersebut untuk meningkatkan kualitas diri. Artinya, ketika ia sudah menerima kenyataan bahwa ada kerusakan di sepeda motornya, maka ia hendaknya belajar dari kenyataan agar di masa depan ia dapat mengkondisikan tindakan demi mencegah kerusakan sepeda motor yang lebih parah. Jadikanlah pengalaman sebagai pelajaran untuk meningkatkan kualitas diri.
Langkah kedua setelah kerelaan adalah melaksanakan kemoralan. Kemoralan adalah usaha seseorang untuk mampu mengendalikan ucapan dan tindakan melalui badan jasmani. Dalam Dhamma, kemoralan dilaksanakan dengan upaya menghindari pembunuhan, pencurian, perzinahan, bohong serta mabuk-mabukan. Oleh karena itu, ketika diganggu nyamuk, seseorang tidak harus mengatasinya dengan membunuh nyamuk. Ada banyak cara untuk menghindari pembunuhan, misalnya dengan menutup pintu dan jendela di sore hari sehingga nyamuk tidak bisa masuk ke dalam rumah atau kamar yang lubang anginnya juga dipasang kawat nyamuk. Namun, sikap menghindari pembunuhan walau makhluk kecil ini sering diterjemahkan secara keliru oleh mereka yang tidak mengerti Agama Buddha. Mereka beranggapan bahwa umat Buddha tidak boleh membunuh nyamuk karena takut lahir kembali sebagai nyamuk. Pandangan seperti ini jelas tidak sesuai dengan pengertian Buddhis. Dalam Dhamma, latihan untuk tidak membunuh adalah latihan untuk mengurangi keakuan. Bahwa masih banyak cara lain untuk menyelesaikan masalah daripada melakukan pembunuhan. Apabila seseorang mempunyai kebiasaan membunuh nyamuk dsb, maka pada saat ia disakiti hatinya oleh teman ataupun orang lain, maka dengan mudah pula ia bersikap keras terhadap mereka. Sikap inilah yang akhirnya berpotensi menimbulkan kerawanan sosial yang terus terjadi dalam masyarakat dewasa ini. Begitu mudahnya seseorang membunuh orang lain hanya karena masalah yang sangat sepele, misalnya bersenggolan di kala sedang berjalan di tempat ramai.    Kondisi ini jelas memprihatinkan. Kenyataan adanya kekerasan dalam masyarakat ini timbul dari kurangnya latihan seseorang untuk mulai menghargai kehidupan makhluk yang kecil seperti nyamuk, misalnya. Kalau kehidupan makhluk kecil bisa lebih dihargai, maka kehidupan makhluk yang lebih besar, misalnya manusia, pasti akan lebih dihargai lagi. Dengan demikian, hidup bermasyarakat akan menjadi harmonis, tidak banyak permusuhan maupun pertengkaran. Orang-orang akan dapat saling memaafkan satu dengan lainnya. Sungguh suatu kehidupan yang damai, aman dan sejahtera. Sangat indah, Sebagai langkah ketiga agar seseorang selalu siap menghadapi perubahan, maka ia hendaknya melaksanakan meditasi atau berupaya memusatkan perhatian pada satu obyek pikiran. Dengan selalu berusaha memperhatikan gerak-gerik pikiran, seseorang akan dilatih menjadi orang baik sejak suatu niat masih berada dalam pikiran. Seseorang bukan saja baik dalam ucapan maupun tindakan saja, namun juga pikiran. Kalau hanya dengan latihan kemoralan, maka orang akan baik dalam ucapan dan perbuatan namun belum tentu baik dalam pikiran. Kenyataan mi akan mengkondisikan orang menjadi munafik, suka berpura-pura. Dengan meditasi orang yang menjadi baik dalam ucapan, perbuatan dan juga pikiran. la benar-benar menjadi orang yang baik secara lahir dan batin.
BERSAMBUNG

TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO

Dari : DD, JAKARTA
Namo Buddhaya Bhante,
Saya menjadi Buddhis sekitar 8 tahun lalu. Masalahnya orang tua (mama) masih beragama lain. Sekarang saya punya 2 anak (perempuan dan laki-laki). Mama saya menginginkan saya sekeluarga bisa kembali ke agama asal saya, seluruh keluarga besar pihak saya mendukung sekali, tapi saya tolak karena Buddhis telah menjadi panggilan saya. Saya pernah meminta anak-anak saya melakukan sumpah: "Lahir dalam Agama Buddha, meninggalpun dalam Agama Buddha".
Hal ini saya lakukan karena mama dan keluarga besar saya selalu mempengaruhi anak-anak saya kebaktian seperti cara mereka.
Mama pernah mendengar saya meminta anak-anak melakukan sumpah itu dan kami bertengkar hebat.
Bhante, apakah salah saya meminta anak-anak melakukan itu?
Setidaknya memberikan benteng kepada mereka agar tidak melenceng, walaupun nantinya ketika mereka dewasa itu terserah mereka. Saya dan suami bertekad walaupun keluarga menentang kami, kami akan menganggap itu ujian saja, sehingga kami dapat lebih teguh dengan iman kami.
Bhante, apa yang harus saya lakukan karena saya tidak mau selalu ribut dengan mama.
Terima kasih Bhante. Semoga semua makhluk berbahagia.

Jawaban:
Salah satu tugas orangtua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan. Tentu saja pendidikan bukan hanya bermakna pendidikan sekolah saja, melainkan juga pendidikan mental spiritual yang dapat diwujudkan dalam pendidikan agama. Pendidikan agama kepada anak dapat diberikan melalui nasehat, buku serta contoh perilaku baik yang ditujukkan oleh orang tua. Rajin mengajak anak ke vihara ataupun memberi mereka banyak kesempatan melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan jauh lebih bermanfaat untuk menumbuhkan keyakinan anak akan Buddha Dhamma daripada meminta mereka melaksanakan sumpah setia terhadap Agama Buddha.
Seseorang akan yakin pada Buddha Dhamma apabila ia dapat merasakan manfaat serta kebahagiaan setelah melaksanakan Dhamma. Keyakinan pada Buddha Dhamma bukan tumbuh dari rasa takut akan akibat sumpah yang pernah diucapkannya. Meskipun demikian, tindakan orangtua untuk meminta anaknya bersumpah setia pada Agama Buddha masih dapat dimengerti. Sedangkan untuk menghindari keributan dengan mama tentang penentuan agama anak, sebaiknya beliau diberi pengertian bahwa pemilihan agama adalah tanggung jawab orangtua anak-anak tersebut. Kalau beliau masih belum dapat diberi pengertian, cobalah menggunakan orang ketiga untuk menyampaikan maksud tersebut. Biasanya, dengan perantaraan orang ketiga, seseorang lebih mudah diberi pengertian.
Apabila mama masih terus memancing pertengkaran, maka sebagai anak sebaiknya berdiam diri untuk menghindari permasalahan dengan beliau. Akan lebih baik lagi, selama berdiam diri, anak mengucapkan dalam batin kalimat: SEMOGA MAMA BERBAHAGIA, SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA. Diharapkan dengan kalimat cinta kasih ini mama akan lebih mudah menenangkan emosinya serta dapat meningkatkan pengertiannya.

Semoga saran ini dapat bermanfaat untuk membahagiakan semua pihak.






JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi            :   Pk. 07.30 WIB - 09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu                 :   Pk. 09.30 WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu              :   Pk. 18.30 WIB - 19.30 WIB
Puja Bakti Uposatha                        :   Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
                                                      Jam 19.30 WIB - 21.00 WIB
Kitab Suci Agama Buddha bagian dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H. Saddatissa
2.  DHANIYA SUTTA
Dhaniya Penggembala
7     Dhaniya: Aku adalah majikan bagi diriku sendiri dan aku menyokong diriku sendiri. Putra-putraku semuanya sehat. Mengenai mereka, aku tidak mendengar apa pun yang jahat..................................................................... (24)
15   Baik istri maupun aku akan patuh kepada Yang Mulia dalam Ajaran Sugata, Yang Dinanti-nantikan. Kami akan menjalani kehidupan suci. Setelah mengatasi kelahiran dan kematian kami akan mengakhiri penderitaan. ........................... (32)
16   Kemudian Mara muncul untuk menggoda Sang Buddha: Dia yang memiliki anak bergembira karena anak itu. Begitu juga, dia yang memiliki ternak pun bergembira karena ternaknya. Kegembiraan manusia ada pada elemen keberadaan indera (upadhi) saja. Maka dia yang tidak memiliki upadhi tidak memiliki kegembiraan. .......................................................... (33)
17   Sang Buddha: Dia yang memiliki anak mempunyai kesedihan karena anak itu. Dia yang memiliki ternak mempunyai kesedihan karena ternaknya. Upadhi-lah penyebab penderitaan manusia. Tetapi dia yang tidak memiliki upadhi tidak memiliki penderitaan.         (34)
Catatan

Secara harafiah, Mara berarti 'si pembunuh' atau 'pembawa kematian'. Dalam literatur Buddhis, 'nafsu', 'kemarahan', 'godaan', 'tabiat buruk', atau 'kejahatan' dipersonifikasikan sebagai Mara (Yang Jahat). Dan saat pencerahan Sang Buddha sampai Parinibbana Beliau, Mara menampakkan diri dalam berbagai keadaan, baik berbentuk dewa, manusia atau bahkan binatang. Menurut literatur Buddhis, ada lima jenis Mara: (i) lima khanda—kelompok batin-dan-materi, (ii) aktivitas karma, (iii) kematian, (iv) kekotoran mental dan (v) makhluk dewa. Di sini, istilah ini digunakan dalam arti 'nafsu' atau 'kejahatan' yang dipersonifikasikan. Pasukan Mara terdiri dari sepuluh kekuatan: (i) nafsu indera, (ii) ketidakpuasan, (iii) kelaparan dan kehausan, (iv) nafsu keinginan, (v) kemalasan dan rasa kantuk,   (vi)   sifat   pengecut,   (vii) ketidakpastian, (viii) kebingungan dan sifat keras-kepala, (ix) perolehan, pujian, penghargaan, dan kemasyhuran yang tidak pantas diperoleh, serta (x) pujian pada diri sendiri sambil menjelek-jelekkan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar