Tegal, 24 April 2012
No : 56, Tahun Keenam
Penasehat
: Ketua Yayasan Metta Jaya
Penanggung
Jawab : Ketua Dayakasabha Metta Vihara Tegal
Pimpinan
Redaksi : Ibu Tjutisari
Redaksi
Pelaksana : 1. Ibu Pranoto 4. Liliyani
2.
Suriya Dhammo 5. Metta Kurniyawati
3.
Ade Kristanto
Alamat
Redaksi : Metta Vihara
Jl.
Udang No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA
No Rekening : 0479073688
an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
DHAMMAPADA ATTAKHATA
Bab I -
Syair 5
"Kebencian tak akan pernah berakhir
apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas
dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi."
Kisah Kalayakkhini
Ketika
isteri mandul Itu mengetahui bahwa madunya hamil, ia menjadi tidak senang.
Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun, sehingga isteri muda itu
keguguran. Demikian pula pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang
ketiga. isteri muda itu tidak memberi tahu kepada isteri tua. Karena kondisi
fisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh isteri tua. Berbagai cara dicoba
oleh isteri tua itu agar kandungan madunya itu gugur lagi, yang akhirnya
menyebabkan isteri muda itu meninggal pada saat persalinan. Sebelum meninggal,
wanita malang
itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada
isteri tua.
Maka
permusuhan itu pun dimulai.
Pada
kelahiran berikutnya, istri tua dan istri muda terse-but terlahir sebagai
seekor ayam betina dan seekor kucing. Kemudian terlahir kembali sebagai seekor
macan tutul dan seekor rusa betina, dan akhirnya terlahir sebagai seorang
wanita perumah tangga di kota
Savatthi dan peri yang bernama Kali.
Suatu
ketika sang peri (Kalayakkhini) terlihat sedang mengejar-ngejar wanita tersebut
dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Sang Buddha sedang
membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana , ia berlari ke sana
dan meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha sambil memohon perlindungan.
Sedangkan
peri tertahan di depan pintu vihara oleh dewa penjaga vihara. Akhirnya peri diperkenankan
masuk, dan kedua wanita itu diberi nasehat oleh Sang Buddha.
Sang
Buddha menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan lampau, yaitu
sebagai seorang istri tua dan istri muda dari seorang suami, sebagai seekor
ayam betina dan seekor kucing, sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa
betina.
Mereka
telah dipertemukan untuk melihat bahwa kebencian hanya dapat menyebabkan
kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui
persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan syair 5 berikut ini:
Kebencian tak akan pernah berakhir apabila
dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan
tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.
Kedua
wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai, dan permusuhan
panjang itu berakhir.
Sang
Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk
digendong peri. Takut akan keselamatan anaknya, wanita itu ragu-ragu. Tetapi,
karena keyakinannya yang kuat terhadap Sang Buddha ia segera menyerahkan
anaknya kepada peri.
Peri
menerima anak itu dengan hangat. Anak itu dicium dan dibelainya dengan penuh
kasih sayang, bagaikan anaknya sendiri. Setelah puas, diangsurkan ke ibunya
kembali.
Demikianlah,
pada akhirnya mereka berdua hidup rukun dan saling mengasihi.
--- oOo ---
SEKAPUR SIRIH
Brivi ke 56 akan bertemakan Waisak, yaitu 3 peristiwa yang terjadi
di bulan purnama Waisak : kelahiran P. Siddharta Gautama, P. Siddharta mencapai penerangan
sempurna dan Sang Buddha Parinibbana (wafat) sehingga umat Buddha biasa
menyebutnya dengan Tri Suci Waisak.
Sebulan Pendalaman Dhamma telah kita jalani bersama, marilah kita
terapkan Dhamma nan indah di awal, Dhamma nan indah di tengah dan Dhamma nan
indah di akhirnya, sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari, agar kita
menjadi siap menghadapi perubahan dengan terus berbuat kebajikan. Vihara adalah
tempat kita meningkatkan batin kita agar kita tetap dapat bertahan dalam
menghadapi segala macam persoalan dalam kehidupan. Hidup adalah sebuah
perjuangan, perjuangan itu merupakan sebuah pembelajaran, dengan belajar dari
peristiwa yang kita jalani tentu kita akan menjadi tegar dan bahagia tentunya
dengan melepas ego seperti tulisan Bhikkhu Ajahn Bram Let Go Ego.
Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo dengan filosofi JANGAN KARENA
MARAH DAN BENCI MENGHARAP ORANG LAIN CELAKA, dapat Anda ikuti semakin menarik.
Redaksi mengucapkan selamat Hari Raya Tri Suci Waisak 2556 / 2012.
Semoga Anda dan keluarga selalu berbahagia.
Semoga semua makhluk hidup bebas dari kebencian dan berbahagia.
Redaksi
Waisak
Sumber: http://goenawanmohamad.com/caping/waisak.html
Bayi
yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu memegangi sebatang dahan
pohon Sal di Kebun Lumbini.
Adakah ini
lambang pertautan antara bayi yang suci itu dengan kehidupan yang bersambung ke
ranting dan daun — dari mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara
menemukan tempat jeda?
Saya tak
tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun yang lalu akan selalu
tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda punya pertanyaan yang tak pernah putus.
Tapi beberapa "data" dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan
percakapan — setidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca, yang
mungkin di antaranya Buddhis.
Sang
Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Siddharta. Ayahnya,
Suddhodana, adalah Raja Kapilavastu, wilayah di kaki Himalaya .
Keluarga ini bagian dari klan Gautama, yang termasuk wangsa Sakya. Dari kitab
Jataka kita dapat sedikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu.
Siddharta
hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang tak secantik dan
setenteram Keraton Kapilavastu. Ada
40.000 penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita dikirim ke
hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun menikah. la jadi ayah yang hidup
mewah dan nyaman.
Tapi
kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah perjalanan di luar istana,
sang pangeran melihat dunia yang selama ini tertutup dari dirinya: seorang tua,
seorang yang sakit, dan seorang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar:
ternyata manusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan meninggal.
"Semua keriangan masa mudaku tiba-tiba raib," tutur sang pangeran
kemudian. Sejak itu ia pun mencari jawab tentang kodrat "usia tua, sakit,
kesedihan, dan ketakmurnian" — keadaan yang tak akan bisa dielakkan siapa
pun yang lahir di dunia. la pun merasa perlu "menemukan yang tak
dilahirkan". Dan itu adalah "puncak kedamaian Nirwana".
Cerita
itu begitu terkenal hingga kita lupa untuk bertanya: pada saat itu, di manakah
agama yang bisa menjawab kegelisahan Siddharta?
Mungkin
tak ada. Di bawah Pegunungan Himalaya, sekitar 400 tahun Sebelum Masehi,
tampaknya orang tak mendengarkan kitab suci lagi. Upanishad digugat, para
pendeta dicemooh.
Dalam
salah satu jilid The Story of Civilization, Will Durant mengutip
Chandogya Upanishad, yang menyamakan para Brahmana ortodoks dengan barisan
anjing: masing-masing memegang ekor anjing sebelumnya. Swasanved Upanishad
bahkan menyatakan tak ada tuhan (dewa), tak ada surga, neraka, dan reinkarnasi.
Kitab-kitab Veda dianggap cuma karangan orang-orang gabtek yang congkak;
khalayak ramai patuh karena dibuai kata yang berbunga-bunga untuk menopang
dewa, kuil, dan orang "suci".
Saat
itu, para penghujat dewa dan pendeta beredar di mana-mana: para Nastik, kaum
nihilis, para Sangaya. Satu kelompok besar Paribhajaka ("Pengembara")
berjalan dan kota ke kota , dusun ke dusun, mencari murid atau
lawan filsafat. Mereka mengajarkan logika sebagai kiat membuktikan pendapat,
atau menunjukkan bahwa Tuhan tak pernah ada. Di samping mereka, ada kaum
Charvaka, atau kaum "materialis", yang menertawakan kepercayaan bahwa
Veda itu ilham para dewa. Bagi mereka, yang bisa diyakini ada hanya yang dapat
diketahui lewat panca indra. Materi adalah satu-satunya. Realitas. Tak ada
keabadian. Tak ada kelahiran kembali. Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri.
Agama hanya pengisi rasa kekosongan.
Mereka
inilah yang pelan-pelan menguras sudut-sudut India dan pengaruh kitab-kitab
suci. Sekaligus melumpuhkan pengaruh kasta Brahmana di masyarakat. Dari sini
pula tumbuh keyakinan baru, dimulai oleh kasta lain, para kesatria, yang tak
bersandar pada struktur kependetaan dengan teologi yang berpusat pada adanya
Yang Maha Pencipta. Bagi keyakinan baru ini, ada atau tak adanya Tuhan bukan
persoalan penting.
Ketika
Siddharta berangkat dewasa, suasana pasca-Veda itulah yang berkembang. Tak
mengherankan bila ia tak mengandalkan kitab apa pun untuk menjawab ke
gundahannya. Dan tak mengherankan pula bahwa ketika ia mendapat
"pencerahan" dan jadi Buddha, ajarannya bergema cepat.
Tapi itu
bukanlah akhir cerita. Buddhisme bukan seluruhnya sebuah negasi agung. Sang
Guru mengumandang kan
sesuatu yang mampu melampaui tema kesedihan pasca-kelahiran itu: dalam
ajarannya tak ada patah-arang yang radikal terhadap hidup. Buddha tak
menganjurkan sikap asketis yang ekstrem; ia menolak bunuh diri sebagai pilihan
--- oOo ---
MELEPAS
(Sumber: Meditation, The Heart of Buddhism, www.buddhanet.net,
2000)
Buddha mengajarkan bahwa melekat mengakibatkan penderitaan dan
melepas merupakan penyebab kebahagiaan dan jalan menuju pencerahan.
Melepas! Begitu sering orang menanyakan
bagaimana kita dapat melepas?
Tetapi maksud mereka yang sebenarnya adalah, mengapa kita melepas?
Hal ini merupakan pertanyaan
yang sulit untuk dijawab dan tak akan pernah terjawab dengan kata-kata. Akan
tetapi saya akan
menjawabnya dengan
mengatakan, "Sekarang adalah
waktunya untuk bermeditasi, duduklah bersila, beradalah pada saat kini,"
karena ini adalah cara mengajar orang-orang apa itu yang dimaksud dengan
melepas. Selain itu, saat-saat terakhir dari meditasi merupakan hal yang paling
penting. Tolong Anda selalu ingat hal ini. Pada beberapa menit terakhir,
tanyakan kepada diri Anda sendiri, "Bagaimana perasaanku?" "Apa
rasanya ini, dan mengapa?" "Bagaimana hal ini muncul?"
Orang-orang bermeditasi
karena meditasi itu menyenangkan. Mereka tidak bermeditasi untuk memperoleh
sesuatu, walaupun ketika Anda bermeditasi ada banyak manfaat yang diperoleh,
seperti manfaat kesehatan atau mengurangi stres dalam hidup Anda. Melalui
meditasi, Anda menjadi orang yang lebih bisa bertoleransi, berkurang amarahnya,
tetapi ada yang lebih dari itu—meditasi semata-mata hanyalah kesenangan belaka!
Ketika saya masih seorang bhikkhu muda, hal itulah yang membuat saya menjadi
Buddhis.
Membaca buku adalah hal
yang sangat menggugah hati, namun itu tidaklah cukup. Hanya ketika saya
bermeditasi dan merasa damai, sangat damai, teramat sangat damai, hal itu
memberitahu saya bahwa ini merupakan pengalaman hidup saya yang paling
mendalam. Saya ingin mengalaminya lagi. Saya ingin menyelidikinya lagi.
Mengapa? Karena satu pengalaman meditasi yang mendalam lebih berharga daripada
seribu ucapan, atau argumentasi, atau buku, atau teori. Hal-hal yang Anda baca
di buku-buku merupakan pengalaman orang lain, bukan pengalaman Anda sendiri.
Hal tersebut merupakan kata-kata dan walaupun dapat menggugah hati namun hanya
pengalaman aktual yang sesungguhnyalah yang dapat menggugah. Hal itu
sungguh-sungguh dapat mengguncang bumi karena mampu mengguncang semua hal yang
demikian lama Anda yakini. Dengan bersandar pada jalan meditasi ini, barulah
Anda belajar apa itu melepas yang sesungguhnya.
Menjadi Tercerahkan
(Sumber :
Seeing the Way, Amaravati Publication, 1989)
Ketika
saya masih kecil saya sangat ingin menjadi seorang masinis. Kakek saya mengajak
saya dan saudara laki-laki saya ke Euston Station di London, di mana saya mulai
tergila-gila dengan benda besar itu, mesin hitam dan hijau yang mendesis-desis
itu, yang begitu gagah perkasa. Bukankah sangat hebat, angan saya, suatu
hari... bila....
Beberapa
tahun kemudian saya sangat ingin menjadi tercerahkan. Saya telah membaca semua
buku tentang hal itu. Bagi anak muda yang naif, gagasan hidup dalam kebahagiaan
kekal dan pada saat yang sama menyelamatkan kemanusiaan tampak sangat menarik.
Bukankah sangat hebat, angan saya, suatu hari... bila....
Ketika
pertama kali mendengar kisah tentang pencerahan Buddha, saya masih
jauh panggang dari api untuk menjadi bhikkhu. Waktu itu saya seorang mahasiswa,
melakukan banyak kegiatan hura-hura yang dinikmati oleh para mahasiswa pada
akhir 60-an — dan bertobat pada akhir 70-an. Tetapi kadang-kadang saya bermeditasi,
kadang tidak, kadang ya — seringnya sih yang pertama—selama beberapa waktu dan
saya mulai menyadari suatu perubahan nyata dalam keseharian hidup saya. Saya
menghadiri perayaan Waisak di komunitas Buddhis setempat dan ketika bhikkhu
dari Sri Lanka
membacakan kisah pencerahan, saya menjadi begitu terinspirasi dan bahagia.
Terutamanya saya suka bagian di mana Bodhisatta duduk di bawah pohon Bodhi dan
membuat tekad yang mengguncangkan bumi.
"Meskipun
darahku mengering dan tulangku hancur lebur, aku tidak akan pindah dari tempat
ini sampai aku berhasil menembus kebenaran sempurna!"
Wow!
Saat cerita terus berlanjut, sebuah pikiran mulai terpatri dalam benak saya.
Saya tidak sabar lagi menunggu sampai akhir pelafalan. Dengan buru-buru saya
meneguk tandas secangkir teh yang memang cuma itu saja tetapi wajib dalam
upacara itu dan lalu buru-buru kembali ke kamar saya di akademi. Saya telah
cukup mendengar tentang Buddhisme, saya telah banyak membaca buku-buku tentang
hal itu. Saya pun telah bermeditasi sepanjang tahun, paling tidak sekali
seminggu—yah hampir setiap minggulah. Jika Buddha bisa, mengapa saya tidak?
Begitulah
saya. Dalam kebodohan
sombong anak muda, bakal meditator yang mati-matian berusaha untuk duduk selama
tiga puluh menit, memutuskan bahwa inilah waktunya untuk menjadi tercerahkan.
Sekarang inilah atau tidak sama sekali, tekad saya, karena besok saya harus
menghadapi ujian. Saya mengunci pintu kamar saya.
Saya
duduk di atas bantal meditasi saya. Saya menenangkan diri. Lalu saya mengucap
dengan suara yang perlahan, jelas, khidmat: "Meskipun darahku mengering
dan tulangku hancur lebur, aku tidak akan bangkit dari bantal ini sampai aku
juga menjadi tercerahkan."
Begitulah.
Tidak ngawur lagi. Saya amat sangat serius sekali.
Empat
puluh menit kemudian saya menderita sakit yang luar biasa. Meskipun darah saya
tampaknya masih mengalir seperti biasa dan tulang saya belum terurai, tapi
lutut saya terasa sangat sakit. Akan tetapi apa yang benar-benar mencemaskan
saya, adalah bahwa setelah tiga puluh menit berlalu dan saya belum juga melihat
cahaya cemerlang yang dinanti-nanti. Bahkan sedikit kedipan untuk meyakinkan
bahwa saya telah dekat pun tidak terlihat. Sangat menyedihkan dan sangat
menyakitkan. Saya menyerah dengan sangat kecewa. Gagal tercerahkan telah
merusak seluruh hari itu. Beberapa tahun kemudian dan sedikit lebih masuk akal meskipun
hanya sedikit saya berada di bandara London
untuk terbang ke Thailand
bersama dua orang bhikkhu Thailand .
Saya akan pergi ke Bangkok
untuk ditahbiskan. Saya masih ingat bagian petuah dari bhikkhu senior, yang
waktu itu adalah guru saya: "Kembalilah saat kamu sudah tercerahkan."
Saya berencana menjadi seorang bhikkhu di Thailand paling lama dua tahun.
Saya telah mengabari kerabat dan teman-teman bahwa saya akan kembali dalam
waktu dua musim panas. Akan tetapi, dua tahun sebagai bhikkhu di Thailand
pastinya cukup panjang bahkan bagi mereka yang bodoh untuk tercerahkan. Bagi
saya sendiri, saya telah mendapatkan gelar dari universitas, jadi tak ada
keraguan dalam benak saya bahwa saya akan kembali ke Inggris dalam waktu dua
tahun, tercerahkan! Saat saya merasa rencana itu gagal, saya berencana untuk
menikah dan hidup di sebuah komuni di Wales , tentu saja. Sebelum pergi
saya telah mengadakan penyelidikan.
Dua
tahun telah berlalu, menjadi jelas bahwa urusan pencerahan ini tidaklah begitu
mudah. Untuk beberapa alasan, meskipun saya orang Barat dengan prestasi bagus
dari sebuah universitas terkenal, saya bertingkah jauh lebih konyol ketimbang
bhikkhu Thailand
yang hanya menyelesaikan kelas 4 di sekolah kampung. Kesombongan saya telah
mengetuk palu keadilan. Anehnya, bahkan meskipun saya masih belum tercerahkan,
saya menikmati kedamaian, kebersahajaan, dan moralitas kehidupan monastik. Saya
tidak ingin pergi. Apa yang dulu saya rencanakan untuk lakukan terhadap komuni
di Wales
buyar sudah.
Pada
retret musim hujan keempat, saya berusaha sekuat mungkin. Kabar sampai ke Thailand
bahwa gedung Chithurst telah dibeli, sebuah Sangha telah didirikan di Inggris
dan mereka membutuhkan lebih banyak bhikkhu. Ini akan menjadi saat yang luar
biasa untuk menjadi tercerahkan. Saya berada di sebuah wihara yang sangat
sunyi. Praktik meditasi saya telah mencapai tataran yang tinggi. Semua pertanda
menguntungkan. Maka terjadilah!
Berjalan
di jalur meditasi jalan pada suatu petang, pikiran saya telah tertenangkan dari
hasil berjam-jam duduk bermeditasi, mendadak saya memahami penyebab dari semua
masalah dan hati saya tiba-tiba merasakan kebahagiaan dari pelepasan. Semua
yang ada di sekitar terlihat bercahaya. Kebahagiaan mengisi seluruh tubuh saya.
Energi dan kejernihan terus melimpah ruah. Meskipun sudah larut malam saya
duduk bermeditasi dengan kesadaran yang sempurna, benar-benar tenang. Lalu saya
berbaring untuk beristirahat, tidur dengan begitu nyenyaknya selama beberapa
jam. Saya bangun pada pukul tiga dini hari dan menjadi yang pertama di ruang
aula meditasi untuk meditasi pagi. Saya duduk bermeditasi sampai fajar
seakan-akan tanpa bersusah payah dan tanpa sedikit pun mengantuk. Begitulah!
Itu adalah kebahagiaan tak terkira dari menjadi tercerahkan. Sayangnya hal itu
tidak bertahan lama.
Vihara
tempat kejadian itu terjadi adalah wihara yang sangat miskin dan makanannya
sangat payah. Wihara itu adalah sejenis wihara Thailand Timur Laut di mana Anda
merasa bahagia jika makan hanya satu kali sehari—menghadapi cobaan seperti itu
dua kali sehari sudah keterlaluan! Akan tetapi, pagi setelah pengalaman
"pelepasan" saya, makanannya lebih layak. Bersama dengan hidangan
utama "kari ikan busuk" yang memang benar-benar dibuat dari rebusan
ikan-ikan kecil yang telah dipelihara dengan cara paling tidak higenis sampai
mereka "tewas" ada sepanci kari daging babi. Hari itu bahkan kepala
wihara yang orang Thai itu terlihat mengernyit pada kari ikan yang berbau busuk
itu dan mengambil porsi besar dari panel kari daging babi. Saya tak peduli;
saya berada di urutan kedua dan masih ada banyak kari yang tersisa untuk saya.
Akan tetapi, panci kari itu tidak pernah sampai ke tangan saya. Alih-alih, sang
kepala wihara menuangkan sisa kari daging babi itu ke dalam kari ikan busuk dan
mengaduk-aduknya sambil berkata toh itu semua akan tercampur juga dalam perut.
Saya marah sekali! Dasar munafik! Jika dia benar-benar berpikir seperti itu,
lalu mengapa dia tidak mencampur kari itu sebelum dia mengambil bagiannya? Saya
melotot marah ke panci kari yang dia sodorkan kepada saya—potongan-potongan
ikan busuk seperti karet berenang disamping daging babi nikmat saya musnahlah
sudah makanan keberuntungan saya. Oh, kepala wihara itu, marah sekali saya
padanya! Saya benar-benar marah!
Lalu
sebuah pikiran menyerang saya dengan dentuman suara yang menyedihkan, atau
lebih tepatnya letupan yang memualkan—mungkin saya sama sekali tidak
tercerahkan. Orang yang tercerahkan diyakini tidak dapat marah. Para Arahanta
tak peduli apakah mereka makan ikan busuk atau daging babi yang enak. Saya akui
saya marah oleh karenanya dengan jujur saya katakan bahwa saya belum
tercerahkan. Betapa menyedihkannya. Benar-benar menyedihkan; dengan sangat
sedih, saya menciduk sesendok kari ikan busuk campur babi itu ke mangkuk saya.
Saya terlalu kecewa sampai-sampai tidak tahu lagi bagaimana rasa makanan saya
hari itu.
Meskipun
ketersedakan spiritual itu berasal dari
kesukaran mencerna Dhamma (sebuah kemampuan payah untuk menyerap ajaran),
tahun-tahun berikut saya sebagai bhikkhu benar-benar menghasilkan lebih banyak
ketenangan, kejernihan, dan kebahagiaan. Itu adalah pandangan cerah yang
sederhana, jenis yang muncul tanpa sebuah keriuhan, yang ternyata lebih
efektif. Keinginan saya untuk tercerahkan kini terlihat mencurigakan miripnya
dengan keinginan kanak-kanak saya untuk menjadi seorang masinis, atau dengan
ambisi-ambisi berikut saya untuk menjadi astronot Inggris pertama...
pesepakbola profesional... gitaris utama dalam sebuah grup band rock... kekasih
terhebat di akademi saya... (saya terlalu malu untuk menyebutkan cita-cita saya
yang lainnya). Sampai batas tertentu, ingin tercerahkan bahkan lebih terlihat
bodoh. Setidaknya saya memiliki suatu gagasan tentang seperti apa masinis
kereta api itu. Akan halnya pencerahan, saya benar-benar tidak yakin apakah
itu. Dan kapan pun saya mencoba mencari tahu dengan bertanya kepada salah satu
bhikkhu senior, saya tidak akan pernah mendapatkan jawaban langsung. Jadi di
sinilah saya di sebuah negeri yang benar-benar asing, melahap ikan busuk dan
makanan yang lebih parah lagi, menahan serangan ganas para nyamuk dan panas
lembab, berusaha keras dan berkorban begitu banyak. Buat apa? Saya tidak
benar-benar yakin. Jadi satu-satunya hal rasional yang dapat dilakukan adalah
menyerah berusaha menjadi tercerahkan sampai saya mengetahui apa pencerahan itu
sebenarnya! Saya tidak ingin menyerah menjadi bhikkhu. Saya memahami hal itu,
dan itu masuk akal. Saya hanya melepaskan pengejaran fantasi-fantasi liar, dan gagasan saya akan
pencerahan sebagai fantasi tertinggi.
Sisi
lain pandangan cerah yang jarang kita pikirkan adalah kita sekarang bijaksana,
karena kita telah dilingkupi oleh pemikiran betapa bodohnya kita dulu.
Bagaimana saya dulu bisa begitu tolol? Hal ini telah begitu banyak ditulis
dalam naskah-naskah Buddhis, dan ditekankan oleh begitu banyak guru yang baik,
bahwa MENJADI ITU ADALAH PENDERITAAN menjadi apa pun. Buddha berbicara terus
terang seperti biasanya, menggelegarkan bahwa Buddha tidak menyarankan kita
untuk menjadi apa pun. Menjadi adalah apa yang dilakukan sepanjang hari oleh
ego. Menjadi membentuk identitas. Menjadi adalah "kulit" yang melekat
bersama dengan gelembung diri. Hentikan semua menjadi dan ilusi pun dihancurkan.
Jadi begitulah
akhir dari "menjadi tercerahkan" saya. Alih-alih saya memusatkan
pertanyaan pada SIAPA ini yang ingin menjadi tercerahkan. Apakah ada seseorang
di sana ? Saya
menyelidiki tiada-diri, yang jauh lebih mencerahkan ketimbang mencoba untuk
tercerahkan. Tetapi masih saja orang-orang bertanya kepada saya, seperti yang
mereka lakukan juga kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya, pertanyaan mendasarkan ini:
apakah Ajahn telah tercerahkan? Sekarang saya punya sebuah jawaban hebat, yang
saya contek dari Almarhum Anandamangala Mahanayakathera (saya tahu beliau tidak
akan keberatan) yang, guru mengerikan ini, berikan jawaban sempurna terhadap
pertanyaan ini:
"Tidak
Pak!" jawab bhikkhu Sri
Lanka ini, "saya tidak tercerahkan,
tapi saya luar biasa tersingkirkan!"
--- oOo ---
MELAKUKAN KEBAJIKAN
Setelah
menghindari kejahatan, kita perlu berbuat kebajikan dan menciptakan kamma bajik
yang bermanfaat bagi orang lain sebagai balasannya kita juga mendapatkan
manfaatnya. Itulah sebabnya Buddha menasehati kita ber-dana. Dana adalah
pemberian atau berderma. Memberi atau berderma berarti berbagi dengan orang
lain, apa yang kita miliki, dan itu adalah langkah pertama dari sang jalan
untuk mengurangi keegoisan kita. Menurut Buddha, ketika kita memberi,
pemberian tersebut tidak seharusnya mengorbankan/melukai diri sendiri atau yang
lainnya (A.N. 5.148). Di Sutta yang lain (Itiv. 26) Buddha berkata
: "Para bhikkhu, jika makhluk hidup mengetahui, seperti yang saya
ketahui, akibat daripada memberi
dan berbagi, mereka
tidak akan makan
tanpa sebelumnya melakukan pemberian ataupun tidak akan membiarkan noda
kekikiran menyelimuti dan tinggal di pikiran mereka. Bahkan bila itu adalah
potongan terakhir mereka, suapan terakhir mereka, mereka tidak akan makan tanpa
berbagi dengan seseorang". Anda juga harus melaksanakan delapan sila seminggu
sekali karena pelaksanaannya sangat berpahala bajik. Berhubung umat awam tidak
mempunyai banyak waktu untuk melatih jalan spiritual seperti para bhikkhu, mereka
dapat memilih satu hari dalam seminggu untuk melatih delapan sila. Ini
dapat dilakukan di Vihara, lingkungan buddhis ataupun di rumah.
Buddha juga menjelaskan
bagaimana kamma baik dapat membawakan banyak berkah. Di Mangala
Sutta, makhluk alam surga (deva) bertanya pada Buddha tentang
berkah utama. Buddha kemudian mengajari dewa tersebut cara memperoleh
berkah utama. Sebagai jawabannya, Buddha berkata tidak bergaul dengan orang
yang berbatin gelap tetapi bergaul dengan yang bijaksana; menghormati mereka
yang pantas dihormati seperti orang tua, tetua, guru, dan para bhikkhu. Memiliki
banyak pengetahuan akan ajaran Buddha juga memberikan anda banyak berkah.
Berdiskusi Dhamma dengan yang lain, dan dapat menghargai/berterima kasih
(yang tidak lazim di dunia ini) juga membawakan berkah. Di antara semua orang,
yang patut kita hargai, dan memiliki rasa berterima kasih, pertama-tama adalah
kedua orang tua kita karena mereka telah berbuat banyak untuk kita. Sudah
merupakan tradisi Buddhis bagi kita untuk mendukung dan menghormati orang tua
kita. Hal lainnya yang membawakan berkah adalah kerendahan hati. Orang
kadang-kadang melupakannya ketika mencapai kesuksesan dalam hidup. Ketika kita
menjadi bos, ego kita bertambah, dan itu tidak baik untuk kita.
Kadang-kadang
kita melupakan hal-hal ini, tetapi sewaktu kita membaca atau mendengarkan Dhamma,
kita teringat untuk berjalan di jalan yang baik. Kelembutan hati adalah
kualitas baik yang lainnya. Bahkan dalam Alkitab, dikatakan, "Beruntunglah
mereka yang lembut hati untuk mewarisi kerajaan di surga." Kesabaran
adalah kualitas penting lainnya. Orang kadang-kadang berlaku tidak baik
terhadap kita. Terhadap kasus-kasus demikian, kita harus bersabar dan mencoba
untuk melihat apabila ada kemungkinan kita telah melakukan suatu kesalahan di
masa lampau dan kita mendapatkan balasannya. Ketika kita melihatnya dengan cara
demikian, kita akan belajar bertahan terhadap kesulitan atau menerima cobaan
tersebut. Mengunjungi para bhikkhu supaya kita dapat belajar Dhamma adalah
cara yang lain kita mendapatkan berkah.
Dalam sutta
(A.N. 4.4), Buddha berkata ada 4 jenis orang yang kepadanya anda
harus menempatkan diri kita dengan penuh perhatian karena mereka adalah empat
ladang jasa kebajikan, dan sebaliknya. Jika anda baik terhadap mereka, akan
menghasilkan banyak jasa kebajikan. Jika anda berkelakuan buruk terhadap
mereka, anda akan menuai banyak kamma buruk.
Jenis
orang yang pertama adalah Buddha. Tetapi, karena Buddha telah parinibbana,
kita tidak dapat berinteraksi dengan Beliau. Jenis orang yang kedua adalah
siswa Buddha, yakni bhikkhu dan bhikkhuni. Kita harus
berhati-hati untuk tidak menciptakan kamma buruk terhadap para bhikkhu
dan bhikkhuni karena apabila bhikkhu atau bhikkhuni tersebut
memiliki pandangan benar akan Dhamma maka kamma buruk kita
sungguh besar. Sebaliknya, persembahan yang diberikan kepada Sangha (komunitas
bhikkhu dan bhikkhuni) menghasilkan jasa kebajikan yang tak
terhitung - bahkan sekalipun bhikkhu dan bhikkhuninya tak
bermoral, berkarakter jahat - dan itu melampaui pahala daripada memberi kepada
makhluk individu manapun juga, termasuk Buddha (M.N. 142).
Jenis
yang ketiga adalah ibu kita, dan keempat adalah ayah kita. Jika anda melayani
ibu dan ayah anda dengan baik, anda akan mendapatkan banyak berkah. Sebagian
orang melakukan kesalahan dengan tidak berbakti terhadap orang tua mereka, dan
setelah orang tua mereka meninggal dunia, mereka merasakan banyak penyesalan
yang mengganggu pikiran mereka. Karenanya, kita belajar dan ajaran Buddha untuk
berkelakuan baik terhadap orang tua kita ketika mereka masih hidup. Setelah
mereka meninggal dunia, tidak banyak lagi yang dapat kita lakukan untuk mereka.
Untuk benar-benar membalas budi orang tua kita, kita harus mengajari mereka
untuk memiliki keyakinan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha; menjalankan
lima sila; dermawan
atau murah hati; dan mendengarkan'' khotbah-khotbah Buddha untuk
memperoleh kebijaksanaan.
Keuntungan
pertama dari menghindari kejahatan, dan melakukan kamma yang bajik
adalah anda akan mendapatkan reputasi baik. Karena anda tidak " membunuh,
tidak mencuri, tidak berasusila atau berbohong, anda akan mendapatkan reputasi
baik. Tidak ada sesuatu hal yang membuat anda merasa malu ketika anda
menghindari kejahatan, dan melakukan kamma baik, dan itu adalah
keuntungan kedua. Ketika anda berhadapan dengan sekelompok orang, anda akan
berani berhadapan dengan mereka tanpa perasaan malu. Jika anda telah melakukan
tindakan yang memalukan, anda tidak akan memiliki keyakinan diri. Keuntungan
ketiga dari menjaga sila, dan berbuat baik adalah kekayaan anda tidak
akan terbuang secara percuma. Ini dapat terjadi pada seseorang yang tak
memiliki sila, melalui minuman (alkohol), judi, wanita penghibur, dan lain-lain.
Keuntungan
keempat adalah kita akan memiliki pikiran yang jernih ketika kita menua karena
tiadanya penyesalan yang mengganggu kita. Ketika saya tinggal di Penang beberapa tahun yang lalu, saya mempunyai seorang
pendukung umat awam yang sangat berbakti, saya sering berkunjung ke rumahnya
untuk bersedekah. Wanita tua ini berusia 80-an dan dia sangat kurus dan lemah,
tetapi pikirannya sangat jernih. Dia memiliki ingatan yang baik sebagai akibat
dari pelaksanaan sila secara cermat, dan melakukan banyak tindakan
dermawan. Dia bahkan dapat mengingat nomor telepon dengan cukup jelas.
Di
lain sisi, ada sebagian orang yang tidak menjaga sila. Ketika mereka mencapai usia 50-an, pikiran mereka sering
terganggu dan kacau, dan mereka menjadi pikun dan ngomong sembarangan. Ini
dikarenakan mereka memiliki banyak kamma tak bajik yang mengganggu
pikiran mereka.
Keuntungan
kelima adalah kita tidak takut untuk meninggal apabila kita menjaga sila dan
berbuat baik. Jika kita memiliki kamma yang sangat baik, kita memiliki
keyakinan, bahwa kamma baik akan mendukung kita ketika kita meninggal.
Kita tahu bahwa kita akan menuju tempat yang baik. Orang yang telah melakukan
banyak kejahatan takut mati ketika waktunya tiba. Mereka sangat takut dan
sebagian bahkan tergoncang.
Yang
terakhir, jika kita memiliki kamma baik, Buddha berkata kita akan
dituntun kepada kelahiran kembali yang baik. Di samping berbuat baik, kita
menyemangati orang lain berbuat baik, atau menyetujui perbuatan baik, atau
memuji perbuatan baik, lalu lebih banyak berkah lagi yang dihasilkan. Dan
kebalikannya untuk perbuatan jahat lebih banyak kamma buruk lagi yang
dihasilkan.
Menurut
sutta (A.N. 8.36), terdapat tiga landasan tindakan berjasa -
kedermawanan (dana), kemoralan (sila) dan pengembangan batin (bhavana). Seseorang yang melatih kedermawanan dan
kemoralan dalam skala kecil kemungkinan dilahirkan sebagai manusia yang kurang
beruntung. Seseorang yang melatih kedua hal ini dalam skala medium akan dilahirkan sebagai manusia yang
sejahtera. Dan seseorang yang melatih kedermawanan dan kemoralan dalam skala
tinggi akan dilahirkan di alam surga. Ini juga menunjukkan bahwa orang yang
tidak melatih kedermawanan maupun kemoralan akan dilahirkan di tiga alam rendah
- alam hantu, alam binatang dan neraka - dan kebanyakan orang terlahir di sana .
SEGENGGAM
DAUN BODHI
Penerjemah
:
Yuliana
Lie Pannasiri, MBA
Andromeda
Nauli, Ph.D
Penyunting:
Nana Suriya Johhny, SE
Melangkah di Keheningan
Perjalanan
dalam Dhamma
Hiruk
pikuk seluruh isi dunia
Deru
mesin mengoyak kesunyian
Kepulan
asap mendaki angkasa
Batin
terguncang tiada pedoman
Kususuri
lorong jalan nan sepi
Kedamaian
batin susah dijumpa
Melangkah
terhuyung mengejar mimpi
Dimana kan kudapatkan bahagia
Kukenal
Dhamma di kala dewasa
Saat
batin dahaga kebenaran
Dhamma
bagai air di musim kering
Indah
pada awal, tengah dan akhir
Hidup
hanya proses tak pernah henti
Batin
gelap tak bisa melihatnya
Merasa
adanya suka dan duka
Nyatanya
semua palsu belaka
Suka
mendapatkan yang diinginkan
Duka
gagal mewujudkan harapan
Lelah
dipermainkan keinginan
Lenyap
kemelekatan, lenyap duka
Jalan
lama ditunjuk para suci
Penuh
damai 'tuk mencapai nibbana
Ku
melangkah hening di jalan purba
Vassa
demi vassa tlah kulalui
Kulewati
dua puluh penghujan
Jalani
suka duka kehidupan
Amati
timbul tenggelam pikiran
Agar
terbebas dari kelahiran
Satu demi
satu langkah terayun
Seribu
langkah kan
tertempuh juga
Bisakah
dalam satu kehidupan
Menggapai
sempurna di dalam Dhamma
Kuterus
melangkah di keheningan
Sampai
tercapai tujuan abadi
Bebas
dari kelahiran kembali
Walau
harus sampai di akhir jaman
Semoga
semua mahluk selalu berbahagia
Bhikkhu
Utamo
Panti
Semedi "Balerejo"
Akhir
vassa keduapuluh
2008
Melangkah di Keheningan
mengenal
lebih dekat Bhikkhu Uttamo
dan
ajaran Agama Buddha
Filosofi:
Jangan karena marah dan benci,
mengharap orang lain celaka
Kata-kata yang diambil dari salah satu bait Karaniyametta Sutta dalam Paritta
Suci ini telah menjadi sumber inspirasi hidup seorang Bhikkhu Uttamo.
Lahir
dan dibesarkan di Yogyakarta , 13 November
1960, Bhikkhu Uttamo yang oleh orangtuanya diberi nama Bambang Pratignyo tumbuh
dan dididik dari latar belakang keluarga yang bukan Buddhis. Beliau adalah anak
bungsu dari lima
bersaudara yang terdiri dari dua wanita dan tiga laki-laki. Namun saat ini
saudara beliau hanya tinggal dua orang yang kesemuanya pria, kedua saudara
perempuan beliau sudah meninggal terlebih dahulu. Begitupun di usianya yang
masih belia, tepatnya ketika masih berumur 12 tahun, beliau harus kehilangan
ayah tercinta yang meninggal dunia dalam usia 49 tahun.
Pada
saat Bambang Pratignyo masih kecil, telah muncul dalam dirinya sebuah
pertanyaan sederhana yang tidak terjawab dengan jawaban yang dapat memberikan
kepuasan batinnya. Pertanyaan itu adalah : "Apabila manusia diciptakan,
mengapa terdapat kondisi yang sangat berbeda di dunia ? Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada
orang yang sehat akan tetapi ada yang sakit-sakitan; ada pula orang yang pandai
tetapi mengapa ada orang yang tidak pandai?" la berusaha mencari jawaban
di berbagai tempat, agama serta aliran kepercayaan. Namun, tidak ada satu pun
jawaban yang memuaskan dahaga batin karena ketidaktahuannya itu.
Akhirnya
pada perayaan Tahun Baru Imlek di bulan Februari 1980 ia mencoba menjajaki
pengertian Agama Buddha tentang pertanyaan tersebut. la berkunjung dan
mengawali perubahan sejarah hidupnya dengan menjumpai seorang romo pandita di
Cetiya Buddha Prabha Yogyakarta . la pun segera
menanyakan sebuah pertanyaan yang selalu mencengkeram batinnya selama ini.
Ternyata dari awal diskusi singkat dengan Romo Ananda Djoenaidi - sekarang
telah meninggal dunia - berlanjutlah diskusi-diskusi mendalam yang dilakukan
setiap malam mulai pukul 18.00 sampai dengan 24.00 selama tiga bulan penuh.
Atas pertanyaan tersebut, Romo Djoenaidi menjawab bahwa menurut Buddha Dhamma,
kamma dan kelahiran kembali menyebabkan adanya berbagai perbedaan di dunia ini.
Jawaban awal ini memancing timbulnya pertanyaan lain yaitu, bagaimana
membuktikan adanya kamma dan kelahiran kembali. Pada waktu itu, Romo Djoenaidi
menjelaskan bahwa di Eropa para psikolog klinis telah mempergunakan kekuatan
hipnosis untuk membantu seseorang mengingat kejadian di masa lampau bahkan dari
kehidupan yang lalu. Jawaban demi jawaban yang diberikan oleh Romo Djoenaidi
akhirnya dapat memuaskan dahaga batin atas berbagai permasalahan kehidupan yang
dialaminya. Berangkat dari jawaban menurut Ajaran Sang Buddha yang selalu dapat
dipikirkan secara logis maka semakin besar pula semangatnya untuk memperdalam
pemahaman tentang Buddha Dhamma. la kemudian juga memperdalam pengertian serta
pelaksanaan meditasi di bawah bimbingan Yang Mulia Bhikkhu Jinaphalo yang pada
waktu itu sudah berusia 112 tahun. Saat ini beliau sudah meninggal dunia.
Semakin dalam mempelajari Buddha Dhamma, semakin membuat Bambang Pratignyo penasaran.
Karena itu, ia kemudian banyak membaca buku Agama Buddha. Dari berbagai
pemahaman Dhamma itu, ia kemudian terdorong untuk mempraktekkan Dhamma dengan
sungguh-sungguh. Selama mendalami Agama Buddha, Bambang juga banyak berguru
kepada Bapak Upasaka Pandita Aris Munandar yang saat ini telah meninggal dunia.
Romo Aris Munandar dengan sabar membimbingnya mengenai berbagai teknik
pembabaran Dhamma yang sederhana sehingga mudah diterima oleh semua lapisan
masyarakat. Berbekal teknik komunikasi efektif yang diberikan oleh Romo Aris
Munandar, Bambang mulai mengisi lembar-lembar kehidupannya dengan kegiatan baru
yaitu ceramah Dhamma. Atas ijin dan dorongan Romo Ananda Djoenaidi, Bambang
yang kemudian ditabhiskan sebagai Upasaka Dhammananda menjadi salah satu pengisi
tetap ceramah Dhamma di Cetiya Buddha Prabha. Keaktifan Bambang atau Upasaka
Dhammananda ini semakin mendapatkan kesempatan ketika kemudian ia diangkat oleh
Romo Djoenaidi sebagai salah satu pengurus Cetiya Buddha Pilabha.
Sejak
itulah, aktifitas Bambang dalam upaya melaksanakan Dhamma, dilakukan dengan
belajar Dhamma dengan Romo Djoenaidi, belajar meditasi dengan Yang
Mulia Bhikkhu Jinaphalo serta belajar komunikasi efektif dengan Romo Aris
Munandar. Namun, ternyata mempunyai tiga orang sebagai sumber menimba ilmu
dirasa masih kurang oleh Bambang. la kemudian juga sering ke Vihara Mendut di
dekat Candi Borobudur untuk bertemu dan
belajar Dhamma dengan Yang Mulia Bhikkhu Sri Pannyavaro. Saat itu, Yang Mulia
Bhikkhu Pannyavaro sudah dikenal sebagai bhikkhu yang luas wawasannya dan
penceramah yang sangat mengesankan. Beliau dengan sabar dan penuh welas asih
selalu mampu menjawab secara memuaskan berbagai pertanyaan yang disampaikan
oleh Bambang. Dari sering bertemu dan berdiskusi Dhamma dengan beliau, Bambang
mendapatkan lebih banyak dorongan untuk menjadi seorang bhikkhu. Kelak, Bhikkhu
Pannyavaro inilah yang menjadi guru pembimbing atau acariya sekaligus pemberi
nama ketika penabhisan Bambang Pratignyo menjadi Samanera Uttamo.
Selelah
bertambah kuat keyakinannya pada Ajaran Sang Buddha serta didorong oleh Romo
Aris Munandar, Bambang Pratignyo bersama dengan teman-temannya kemudian
mendirikan sebuah organisasi lintas aliran dalam Agama Buddha yang dinamakan
Buddha Dhamma Study Group Yogyakarta (BDSGY). Melalui wadah yang didukung oleh
Bapak Agus Swanoto - sekarang sudah meninggal - ini ia sering mengadakan
kegiatan di berbagai tempat ibadah Buddhis dari berbagai aliran di Yogyakarta maupun di kota-kota besar sekitarnya. la juga
banyak belajar untuk menerima berbagai kebenaran dari banyak cabang agama
maupun kepercayaan yang ada di sekitarnya. Sebagai hasil proses penghayatan
Buddha Dhamma, Bambang kemudian menyimpulkan bahwa ajaran yang ia tekuni, yaitu
Buddha Dhamma dengan tradisi India
atau Theravada adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
batinnya. Meskipun demikian, ia tetap beranggapan bahwa ajaran yang ia pelajari
dan ia jalani itu bukanlah ajaran yang paling benar melainkan paling cocok.
Kecocokan pada suatu agama atau aliran sesungguhnya bersifat sangat subyektif.
Selain
kegiatan dalam bidang keagamaan, sebenarnya sejak remaja yaitu ketika masih
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Bambang Pratignyo sudah aktif di
berbagai organisasi kemasyarakatan. Salah satu aktifitas yang disukainya adalah
menjadi anggota Palang Merah Remaja Yogyakarta. Seiring dengan semakin lamanya
Bambang aktif di Palang Merah Remaja ,
ia pun diangkat sebagai salah
satu staf pengajar di kegiatan tersebut. la mengajar para anggota baru Palang
Merah Remaja berbagai ketrampilan dasar untuk memberikan pertolongan pertama
pada kecelakaan. Kesibukan Bambang di Palang Merah Indonesia
semakin bertambah di kala Yogyakarta
mengadakan berbagai kegiatan massal, seperti Road Race, Pasar Malam Sekaten
dsb. Pada saat acara yang melibatkan banyak anggota masyarakat seperti itulah
biasanya Bambang dengan team Palang Merah Remajanya diterjunkan untuk membantu
mereka di lokasi acara yang membutuhkan pertolongan pertama.
Melalui
tugas-tugas sukarela kemanusiaan yang dilakukannya, Bambang dapat merasakan
kebahagiaan ketika menyaksikan orang lain yang ditolongnya mendapatkan
kebahagiaan. Kebahagiaan demi kebahagiaan karena dapat memberikan manfaat
kepada mereka yang membutuhkan inilah yang kemudian menumbuhkan semangat dalam
batin Bambang untuk berusaha selalu meringankan penderitaan orang-orang di
sekitarnya. Semangat menolong mereka yang menderita ini pula yang pada akhirnya
merupakan salah satu dasar pemilihan jalan hidup seorang Bambang Pratignyo
menjadi Bhikkhu Uttamo.
Bambang
yang mempunyai hobby koleksi serta membaca buku filsafat kehidupan ini juga
gemar berkumpul dan berdiskusi Dhamma dengan para bhikkhu yang tinggal di
vihara. la banyak membahas Agama Buddha secara lebih terperinci dan mendalam.
la juga tertarik dengan latihan meditasi Buddhis. la berpendapat, kalau Agama
Buddha hanya mengajarkan umat untuk berbuat baik serta mengurangi kejahatan
saja, maka tanpa menjadi seorang umat Buddha pun semua seseorang bisa
melakukannya. Justru Agama Buddha mengajarkan meditasi agar seseorang dapat
mengembangkan kebajikan sejak dalam pikiran, bukan hanya sekedar berbicara baik
maupun berbuat baik saja. Dengan demikian, ketika seseorang melaksanakan
meditasi dalam kehidupan sehari-hari, ia akan melakukan kebajikan sejak dari
niatnya sehingga dirinya cenderung akan mengurangi watak pura-pura ataupun
munafik. Bahkan suatu saat dengan melaksanakan sistematika meditasi Buddhis,
seseorang akan dapat terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin.
Pada saat itulah, ia akan dapat terbebas dari cengkeraman lingkaran kelahiran
kembali. la mencapai Nibbana (Bhs. Pali) atau Nirwana (Bhs. Sansekerta) sebagai
tujuan tertinggi dalam Buddha Dhamma. Pemahaman bahwa pencapaian tingkat batin
tertinggi dengan meditasi Buddhis ini merupakan hal yang sangat luar biasa dan
tidak pernah diketemukannya di berbagai sistem kepercayaan lain yang pernah ia
pelajari sebelumnya. Baginya, Agama Buddha sungguh-sungguh luar biasa!
Selain
memang sudah cocok dengan Agama Buddha, Bambang juga menyadari bahwa dalam Ajaran
Sang Buddha tidak ada ajaran rahasia apapun yang hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu saja. Bahkan Kebuddhaan atau pencapaian kesucian sekalipun
dapat dicapai oleh semua orang, bukan menjadi hak monopoli Sang Buddha saja.
Pemahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab Bambang pada tahun 1982
memutuskan secara bulat untuk ditabhiskan menjadi seorang bhikkhu. la berusaha
menapaki jalan pertapaan yang telah pernah ditempuh oleh Sang Buddha maupun
para bhikkhu pendahulunya.
Namun,
karena Bambang Pratignyo dididik dan dibesarkan dalam keluarga yang bukan
Buddhis, maka tentu saja keluarga, khususnya Ibu Bambang pada awalnya sangat
sulit menerima niatnya untuk tidak berumah tangga dan menjadi bhikkhu itu.
Diperlukan waktu tiga tahun bagi Bambang untuk bisa memberikan pengertian
kepada ibunya serta mendapatkan ijin dan kerelaan dari ibu agar dapat
ditabhiskan menjadi bhikkhu.
Dalam
upaya memberikan pengertian kepada sang ibu, langkah pertama yang dilakukan
Bambang adalah dengan mendorong ibu tinggal di Jakarta
berdekatan dengan rumah kedua kakak lelaki yang telah lebih dahulu berkeluarga
dan tinggal di sana .
Dan, sejak itulah Bambang tinggal di rumah kos dekat dengan tempat kuliah.
Bambang kemudian dalam banyak pertemuan dengan ibunya menekankan bahwa menjadi
seorang bhikkhu bukanlah menjadi anak yang hilang yang tidak dapat berjumpa
sama sekali dengan keluarganya. Seorang bhikkhu, pada waktu-waktu tertentu
jelas masih diperkenankan berkunjung serta bertemu dengan keluarganya.
Karena
saat itu Bambang sudah tidak tinggal di rumah sendiri, maka Bambang yang sejak
tahun 1979 telah kuliah di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta lebih banyak
mencurahkan waktu dan tenaga untuk berbagai kegiatan sosial maupun
keagamaannya. Bahkan pada semester dua tahun pertama kuliah di Jurusan Bahasa
dan Sastra Inggris, Bambang sudah mulai mengajar Bahasa Inggris dan Ekstra
kurikuler Kepalangmerahan di sebuah SMA swasta di kotanya. Setelah melewati
masa belajar sambil bekerja, maka Bambang akhirnya berhasil menyelesaikan masa
pendidikannya di tahun 1985.
Pada
tahun yang sama, Bambang memberikan pertanyaan penting kepada ibunya. la
bertanya, "Apakah seorang ibu selalu mengharapkan
anaknya bahagia?" Ketika ibunya menganggukkan kepala, maka Bambang
melanjutkan pembicaraannya, "Kalau saya bahagia menjadi bhikkhu, apakah
saya diijinkan?" Mungkin karena telah kehabisan kata, maka akhirnya pada
tahun 1985 itu Bambang mendapatkan ijin dan restu dari ibunya untuk ditabhiskan
menjadi samanera.
Begitu
ijin sudah diperoleh, Bambang kemudian
menghubungi Yang Mulia Bhikkhu Pannyavaro untuk meminta ditabhiskan samanera.
Ketika semua persyaratan penabhisan telah lengkap, maka Bambang yang telah
menjadi anagarika atau upasaka berbusana putih-putih selama satu bulan penuh,
pada tanggal 21 Juli 1985 pukul 16.00 WIB di Buddha Metta Arama Jakarta
ditabhiskan menjadi samanera. Bertindak sebagai upajjhaya atau Penabhis, Yang
Mulia Bhikkhu Vidhurdhammabhorn atau lebih dikenal dengan Bhante Win (saat ini
beliau telah meninggal). Dan, seperti yang telah disebutkan di atas, Yang Mulia
Bhikkhu Pannyavaro menjadi guru pembimbing atau acariya. Upacara penabhisan
samanera (pabbajja) yang berlangsung khidmat dan sederhana ini selain dihadiri
oleh para bhikkhu senior juga dihadiri oleh ibu, kakak lelaki serta
saudara-saudara yang, lainnya. Sejak saat itulah seorang Bambang Pratignyo
resmi sebagai Samanera Uttamo. Nama 'Uttamo' atau utama yang dipilih oleh Yang
Mulia Bhikkhu Pannyavaro mengandung harapan agar sejak ditabhiskan sampai akhir
hayatnya seorang Uttamo akan selalu memberikan yang terbaik dan utama untuk
kebahagiaan diri, lingkungan, masyarakat luas maupun Agama Buddha. Bertepatan
dengan kelulusan dari perguruan tinggi di tahun 1985, maka pada saat upacara
wisuda di kampus, Samanera Uttamo hadir untuk diwisuda dengan mengenakan jubah
samanera. Kehadiran Samanera Uttamo bersama ibu dan juga didampingi oleh Yang
Mulia Bhikkhu Pannyavaro sangatlah menarik perhatian rektor, dekan, para dosen
maupun mahasiswa lainnya. Kiranya, peristiwa itu sampai saat ini menjadi satu-satunya
kejadian unik dan luar biasa di kampus sebuah perguruan tinggi Katholik;
Samanera Uttamo diwisuda sarjana dengan jubah samanera bukan mengenakan toga
kebesaran seorang sarjana seperti para wisudawan lainnya.
Pada
hari-hari selanjutnya, Samanera Uttamo berusaha keras untuk membuktikan
ucapannya sendiri kepada keluarganya, bahwa setelah ditahbiskan menjadi
samanera yang kemudian menjadi seorang bhikkhu, beliau di kala ada kesempatan
pasti menyisihkan waktu untuk mengunjungi ibu serta anggota keluarga yang lain.
Dengan demikian, pertemuan demi pertemuan ini dapat membahagiakan mereka semua.
Setelah
membina banyak umat di Indonesia ,
Samanera Uttamo dinyatakan layak untuk ditabhiskan menjadi bhikkhu. Namun,
karena pada saat itu di Indonesia
belum mempunyai tempat atau vihara yang memenuhi persyaratan untuk penabhisan,
maka Samanera Uttamo diberangkatkan ke salah satu negara Buddhis yaitu Thailand .
Di Thailand, Samanera Uttamo tinggal di Wat Bovoranives Vihara. Sebuah vihara
megah di tengah kota Bangkok
yang menjadi tempat penabhisan para bhikkhu Indonesia pada waktu itu. Setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka pada tanggal 27 Desember 1986 pukul
14.33 WIB Samanera Uttamo menerima upasampada atau ditabhiskan menjadi Bhikkhu.
Bertindak sebagai Upajjhaya atau Penabhis adalah Yang Mulia Somdet Phra
Nyanasamvara dengan Guru Pembimbing atau Anusavanacariya Yang Mulia Bhikkhu
Vidhurdhammabhorn atau Bhante Win. Penabhisan yang berlangsung meriah ini
dihadiri oleh banyak bhikkhu Thailand
maupun Indonesia
termasuk Yang Mulia Bhikkhu Sukhemo. Selanjutnya, untuk menempa batin agar
cepat maju, Bhikkhu Uttamo memutuskan mendalami praktek meditasi di sebuah
vihara hutan di perbatasan negara Thailand
dengan Laos .
Vihara hutan bernama Wat Hin Mark Peng ini berlokasi di tepi sungai Mekong yang sangat lebar. Di vihara hutan seluas hampir
33 hektar dengan penghuni hanya sekitar 20 orang bhikkhu ini menjadi tempat
yang sangat ideal untuk Bhikkhu Uttamo memperdalam meditasi. Bahkan, dibawah
bimbingan Lueng Phu Thate atau sering dikenal sebagai Acharn Thate Desaramsi
kualitas batin Bhikkhu Uttamo dapat ditingkatkan dengan pesat. Sayangnya,
karena keterbatasan jumlah bhikkhu di Indonesia serta semakin meningkatnya
jumlah umat Buddha yang harus dibina, maka setelah 18 bulan tinggal di tengah
hutan yang sunyi, Bhikkhu Uttamo pada perayaan Waisak 1988 akhirnya berniat
pulang ke Indonesia untuk membina dan membagi pemahaman Dhamma kepada para umat
serta simpatisan Buddhis. Sejak saat itulah beliau selalu aktif berbagi Dhamma
kepada semua lapisan masyarakat di manapun mereka berada Beliau banyak dikenal
masyarakat karena memiliki gaya
ceramah yang khas dan membumi dengan penggunaan bahasa sederhana untuk
menyampaikan materi ceramah Dhamma yang mendalam.
Bhikkhu
Uttamo tidak pernah merasa bosan maupun jenuh
dalam menjalani kehidupannya membina diri maupun masyarakat luas. Beliau bahkan
dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan, "Menjalani hidup sebagai
bhikkhu adalah merupakan kesempatan bagi saya untuk melaksanakan Buddha Dhamma
secara sungguh-sungguh. Pelaksanaan Dhamma yang serius ini dimaksudkan agar
saya dapat mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu: hidup bahagia karena
terbebas dan keserakahan, ketamakan serta kegelapan batin, baik dalam kehidupan
ini maupun pada kehidupan-kehidupan yang akan datang. Apabila tujuan saya yang
tertinggi tersebut masih belum tercapai, bagaimana saya harus lemah, lesu, loyo
dan berhenti berusaha? Hidup adalah perjuangan, berjuanglah untuk hidup".
Beliau juga menyampaikan alasan lain yang membuatnya tetap bersemangat,
"Sebagai seorang bhikkhu, saya juga mempunyai kesempatan banyak untuk
membagikan pengalaman serta pengetahuan saya agar dapat membahagiakan banyak
orang. Kebahagiaan mereka yang mendengar uraian saya menjadi kebahagiaan bagi
saya pula. Kebahagiaan mereka adalah semangat saja juga." (bersambung)
Ada Lima Jenis Hoki
Jenis
yang pertama adalah panjang umur, tidak ada orang yang ingin pendek umur.
Jenis
yang kedua adalah sejahtera dan memiliki status yang tinggi dalam masyarakat,
semua orang pasti ingin kaya dan terpandang. Memiliki semua kebutuhan hidup
sehingga dapat melaksanakan semua kewajiban sebagai manusia.
Jenis
yang ketiga adalah kesehatan fisik dan kesehatan jiwa. Sakit apapun pasti tidak
enak, apalagi sakit jiwa.
Jenis
yang keempat adalah dapat sering-sering berbuat kebajikan. Dengan banyak
berbuat baik, hari depan pasti lebih cemerlang. Tidak hanya menikmati
berbuahnya kamma baik, tetapi juga menanam bibit kebaikan terus-menerus.
Jenis
yang kelima adalah tahu saat kematian, sehingga bisa siap-siap dengan
pesan-pesan, bikin surat
wasiat, dan mandi dulu yang bersih!
Kalau
hanya panjang umur tetapi tidak punya uang pasti sengsara, apalagi kalai
sakit-sakitan, ditambah lagi terus-menerus berbuat jahat, sesudah mati masuk
alam neraka. Hidup akan lebih sengsara dan sangat menderita.
Hoki
adalah hasil perbuatan kita di masa lalu. Jangan terlena. Kita harus terus
memupuk jasa kebaikan, berhenti melakukan perbuatan yang tercela serta selalu
sadar dalam meluruskan pikiran dan mengendalikan perasaan.
1.
Memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada orang lain
2.
Bekerja lebih giat daripada orang lain
3.
Berharap lebihs edikit daripada orang lain
William Shakesphere
Sumber :
Setitik Cahaya di Balik Kabut 3
TANYA JAWAB DENGAN
BHIKKHU UTTAMO
Dari: Vajirasilo, Cirebon .
Namo Buddhaya, Saya ingin menanyakan:
1. Siapakah Arahat Sivali?
2. Benarkah dengan memuja Arahat
Sivali akan mengkondisikan banyak "Hokie"/ rejeki?
Atas penjelasan Bhante, saya mengucapkan terima kasih.
Jawaban :
1. Kisah tentang Arahat
Sivali dapat dibaca dalam riwayat terjadinya syair Dhammapada 414 atau Brahmana
Vagga, 32.
Silahkan buka Samaggi
Phala, Tipitaka, Khuddaka Nikaya, Dhammapada pada:
<ahref="http://www.samaggiphala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=655">http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=655
Adapun kisah lengkapnya adalah sebagai berikut:
Kisah
Sivali Thera
Putri Suppavasa, dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun
dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan
anaknya. la terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan
Sangha. la menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan
penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk
memberitahu Beliau tentang keadaannya. Ketika diberitahu mengenai keadaan putri
tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan
penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan
selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak
di rumahnya, Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang
Buddha beserta beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dana makanan
diberikan di sana
dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha
dan para bhikkhu.
Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang
Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk memberikan dana makanan
selama tujuh hari.
Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan
sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. la mencapai tingkat kesucian
arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai
seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar. Sebagai
bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha,
mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi seorang arahat, dilahirkan di
dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Kepada mereka Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu! Dalam salah satu
kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan
kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh
kembali kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai
akibat, orang-orang di dalam kota
itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah,
maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang,
Sivali telah sampai pada akhir dari semua dukkha / penderitaan; ia telah
merealisasi nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut:
Orang
yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan
bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai Seberang' (nibbana);
yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat
pada sesuatu apa pun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang
'brahmana'.
2. Dari cerita di atas,
tampaklah bahwa Arahatta Sivali adalah merupakan murid Sang Buddha yang tidak
terbandingkan dalam menerima dana. Beliau tidak pernah kekurangan makanan di
manapun beliau berada.
Oleh karena itu, dalam
tradisi Buddhis, banyak umat Buddha memuja rupang Arahatta Sivali agar mereka
mendapatkan rejeki seperti yang beliau alami di jaman Sang Buddha. Tentu saja
pola pikir ini kurang sesuai denganDhamma.
Dalam Dhamma, segala suka
dan duka yang dialami oleh seseorang adalah karena buah dari perbuatannya
sendiri. Dengan banyak melakukan kebajikan, barulah seseorang akan mendapatkan
kebahagiaan. Apabila penghormatan kepada Arahatta Sivali direnungkan sebagai
sarana untuk menambah kebajikan melalui badan, ucapan dan pikiran, maka tentu
saja perhormatan ini dapat mengkondisikan kebahagiaan hidup dalam bentuk banyak
rejeki seperti yang diharapkannya.
Dengan demikian, rupang
Sivali hendaknya dijadikan pendorong seseorang agar terus melakukan kebajikan
dengan berbagai cara agar ia mendapatkan kebahagiaan maupun rejeki.
Umat Buddha hendaknya
tidak meminta sesuatu apapun juga kepada rupang Sivali, karena umat Buddha
bukanlah penyembah berhala.
Semoga penjelasan ini
dapat mengungkapkan makna penghormatan kepada rupang Sivali.
Semoga selalu bahagia.
|
JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi : Pk. 07.30 WIB - 09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu :
Pk. 09.30 WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu : Pk. 18.30 WIB - 19.30 WIB
Puja Bakti
Uposatha : Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
Jam
19.30 WIB - 21.00 WIB
Kitab Suci Agama Buddha bagian dari
Khuddaka
Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The
Sutta-Nipata
Translated
from The Pali by H. Saddatissa
BAB I
BAB TENTANG ULAR
1. URAGA SUTTA
Kulit
Ular
Bhikkhu yang membuang semua
nafsu manusiawi bagaikan ular yang mengelupaskan kulitnya
5 Dia yang tidak melihat
inti apa pun di dalam bentuk dumadi (becoming) bagaikan orang yang tidak
menemukan bunga di pohon ara.... (5)
6 Dia yang tidak memiliki
kemarahan di dalam dirinya dan telah menanggulangi semua bentuk dumadi.... (6)
7 Dia yang telah
menghancurkan spekulasi, yang telah benar-benar siap tanpa ada sisa .... (7)
8 Dia yang tidak gelisah
serta tidak malas, dan telah menanggulangi segala rintangan semacam itu .... (8)
9 Dia yang tidak gelisah
serta tidak malas, dan tahu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah tanpa
inti.... (9)
10 Dia yang
tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa inti,
yang telah terbebas dari keserakahan.... (10)
11 Dia yang
tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa inti,
yang telah terbebas dari nafsu birahi.... (11)
12 Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya
adalah tanpa inti, yang telah terbebas dari kemarahan.... (12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar