Tegal, 24 Juli 2012
No : 59, Tahun Keenam
Penasehat
: Ketua Yayasan Metta Jaya
Penanggung
Jawab : Ketua Dayakasabha Metta Vihara Tegal
Pimpinan
Redaksi : Ibu Tjutisari
Redaksi
Pelaksana : 1. Ibu Pranoto 4. Liliyani
2.
Suriya Dhammo 5. Sumedha
Amaravathi
3.
Ade Kristanto
Alamat
Redaksi : Metta
Vihara
Jl.
Udang No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688 an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA
DHAMMAPADA ATTAKHATA
Bab I -
Syair 9 dan 10
Barangsiapa belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin,
yang tidak memiliki pengendalian diri serta tidak mengerti kebenaran,
sesungguhnya tidak patut ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran
batin, teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri serta mengerti kebenaran,
maka sesungguhnya ia patut mengenakan jubah kuning.
Kisah Devadatta
Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha: Yang Ariya Sariputta
dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana , orang-orang Rajagaha
mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.
Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga
seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan
mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih
terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap
layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan maka kain tersebut
akan diberikan pada salah satu dari para Thera. Karena kedua murid utama
mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan
diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.
Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan
bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari
Rajagaha datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan
kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus
ribu.
Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali,
Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha
kemudian
menghubungkannya dengan kisah berikut ini.
Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu
kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat
sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini
berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri
bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya.
Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada
jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang
Paccekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk
memberi hormat. Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. la bunuh
gajah-gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu
dilakukannya hingga berhari-hari.
Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah
itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk
menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah
berjaga-jaga dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang
pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah
kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.
Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan
jubah kuning dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu
jelas tidak berhak memakai jubah kuning.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:
Barangsiapa
belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin, yang tidak memiliki pengendalian
diri serta tidak mengerti kebenaran, sesungguhnya tidak patut ia mengenakan
jubah kuning.
Tetapi,
ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan,
memiliki pengendalian diri serta mengerti kebenaran, maka sesungguhnya ia
patut mengenakan jubah kuning.
Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
--- oOo ---
SEKAPUR SIRIH
Brivi edisi ke 59 terbit bersamaan dengan saat umat Buddha
menyambut 2600 th Roda Dhamma diputar yaitu hari raya Asadha yang akan jatuh
pada bulan Juli 2012.
Pada kesempatan ini Redaksi ingin menyampaikan ucapan selamat
menunaikan ibadah puasa bagi saudara kita umat Islam. Berpuasa termasuk usaha
untuk mengendalikan diri dari nafsu dan keserakahan, bukan hanya sekedar
menahan dahaga dan lapar, tetapi lebih diutamakan latihan olah batin dengan
pengendalian diri yang sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat.
Kisah Devadatta dalam kitab suci Dhammapada Attakhata syair 9
& 10 merupakan kisah pengendalian diri akan membawa manfaat bagi kemajuan
batin seseorang yang akan membawa kebahagiaan. Barangsiapa tidak berusaha
mengendalikan diri dan hanyut dengan kesenangan duniawi maka batinnya akan
merosot dan terperosok ke jurang penderitaan.
Ajahn Brahm dengan Petunjuk Kedamaian Pikiran Untuk Si Bodoh.
Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo dan Ajaran Agama Buddha dapat diikuti dalam
Melangkah di Keheningan. Hanya kitalah yang dapat menolong diri sendiri diambil
dari buku Segenggam Daun Bodhi.
Dengan segala kerendahan hati Redaksi menyadari masih banyak hal
yang perlu kami perbaiki, untuk lebih meningkatkan isi dan kualitas agar dapat
membawa manfaat bagi kita semua.
Semoga Dhamma menjadi tuntunan kita yang akan membawa kebahagiaan
bagi kita semua.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Metta
Cittena
Redaksi
--- oOo ---
Ralat Penerimaan Dana
Redaksi minta maaf pada edisi
yang lalu laporan penerimaan dana ada kekeliruan, maka pada edisi ini kami
ralat. Anumodana dan terima kasih.
Telah kami terima Dana Waisak
1.
Bpk/Ibu Liem Piet Hauw Rp
100.000,-
2.
Bpk/Ibu Gan Sin Gwan Rp
50.000,-
3.
Bpk/Ibu Lie Sem Kim Rp
100.000,-
4.
Sdr. Sovenseti Rp
100.000,-
5.
Bpk/Ibu Tjia Chandra Gunawan Rp
500.000,-
6.
Ibu dr. Nandavati Kurnia - Jakarta
Rp 200.000,-
7.
PT. Gresik Mustika Timur Rp
200.000,-
8.
Ibu Djumini Agus Sukamto Rp 50.000,-
9.
Bpk/Ibu Budi (Toko Pilar Jaya) Rp 100.000,-
Telah
kami terima dana untuk Metta Vihara
1.
Kel. Alm. Bapak Tan Tjwan Kiem Rp
500.000,-
2.
Bpk/Ibu Liem Peng Liat Rp
100.000,-
3.
Bpk/Ibu Loe Lian Phang Rp
100.000,-
4.
Sdr. Wina Stania Jotya Rp 300.000,-
5.
Sdr. Suryanto Wangsahar Surya - Jakarta Rp
200.000,-
6.
Sdr. Frans Susanto Rp 300.000,-
7.
Sdr. Sura Jotya Kitti Rp 400.000,-
8.
Kel. W. Adinoto (Tan Tjay Kwan) Rp 200.000,-
9.
Sdr. Adang Laksana Rp 20.000,-
10.
dr. Inka Abimayu - Jakarta Rp 300.000,-
11.
Adik Kimberly (Kimmy) Rp 500.000,-
12.
Almh. Ibu Tan Kwie Wen Rp 500.000,-
13.
Ibu Tjoeng Ye Lie Rp 30.000,-
14.
Kel. Andrianto (So An Sui) Dana
konsumsi Minggu pagi
Semoga
kebajikan yang telah dilakukan berbuah umur panjang, sehat dan bahagia.
Kesempurnaan
dan Kesalahan
Petunjuk Kedamaian Pikiran untuk
Si Bodoh
Saya
menceritakan kisah sebelumnya kepada sekelompok besar pendengar pada suatu hari
Jumat petang di Perth .
Pada hari Minggunya, seorang ayah datang marah-marah untuk berbicara kepada
saya. Dia telah mengikuti ceramah tersebut dengan anak remajanya. Masalahnya,
ketika hari Sabtu siang si anak ingin pergi bersama teman-temannya, si ayah
menanyai anaknya, "Kamu sudah bikin PR belum?" Anaknya menjawab,
"Seperti yang diajarkan Ajahn Brahm semalam di vihara, Papa, yang sudah
selesai, ya sudah selesai! Da... da...."
Pada hari minggu
berikutnya, saya menceritakan kisah yang lain.
Kebanyakan
orang di Australia
mempunyai taman di rumahnya, tetapi hanya segelintir orang yang tahu bagaimana
menemukan .kedamaian di taman mereka. Bagi sisanya, taman hanyalah tempat lain
untuk bekerja. Jadi saya menganjurkan mereka yang punya taman untuk memelihara
keindahan taman dengan berkebun sejenak, dan memelihara hati mereka dengan
sejenak duduk dalam damai di tamannya, menikmati berkah alam.
Orang
bodoh pertama akan berpikir ini gagasan bagus yang mengasyikkan. Jadi,
pertama-tama mereka memutuskan untuk membereskan segala pekerjaan remeh temeh
lalu membiarkan diri larut dalam damai di taman mereka. Jadi, hamparan rumput
harus dipotong, bunga perlu disirami, dedaunan perlu dipangkas, semak-semak
harus dibabat, jalan setapak harus disapu....Tentu saja itu semua menghabiskan
seluruh waktu luang mereka, sekalipun untuk merampungkan sebagian kecil
pekerjaan remeh-temeh itu. Pekerjaan mereka jadinya tak pernah selesai, dan
mereka tak akan pernah memiliki sejenak waktu untuk diam dalam damai. Pernahkah
Anda perhatikan bahwa di dalam budaya kita, orang-orang yang "istirahat
dalam damai" hanya dapat ditemukan di pekuburan?
Orang
bodoh kedua berpikir bahwa diri mereka lebih pintar dari orang bodoh pertama.
Mereka menyingkirkan semua garu dan penyiram, lantas duduk di taman sambil
membaca majalah, bisa jadi yang berisi gambar pemandangan alam nan aduhai. Tetapi,
itu berarti menikmati majalah, bukannya menemukan kedamaian di taman.
Orang
bodoh ketiga menyingkirkan semua peralatan berkebun, semua majalah, semua koran
dan radio, dan duduk diam dalam damai di tamannya... selama kira-kira 2 detik!
Lalu mereka mulai berpikir, "Rumput itu perlu dipotong dan semak-semak di sana harus dibabat segera.
Jika saya tidak segera menyiram bunga-bunga itu, mereka akan layu. Dan rasanya
tanaman gardenia yang indah akan tampak bagus di sudut itu. Ya! Dengan sedikit
hiasan tempat mandi burung di depan situ. Saya bisa membelinya di tempat pembibitan...."
Itu sih namanya menikmati berpikir dan berencana. Tak ada kedamaian pikiran di
situ.
Pekebun
yang bijak akan mempertimbangkan, "Saya telah bekerja cukup lama, sekarang
waktunya untuk menikmati buah dari pekerjaan saya, untuk mendengarkan kedamaian.
Jadi biarpun rumput perlu dipotong dan dedaunan harus dipangkas dan bla, bla,
bla! TIDAK SEKARANG." Dengan cara inilah, kita temukan kebijaksanaan untuk
menikmati taman, sekalipun tidak sempurna.
Siapa tahu ada seorang
bhikkhu tua Jepang bersembunyi di balik salah satu semak dan siap untuk
melompat keluar dan memberitahu kita betapa sempurnanya taman tua kita yang
kacau. Sungguh, jika kita memusatkan perhatian kepada pekerjaan yang telah kita
selesaikan alih-alih memusatkan pada pekerjaan yang masih harus diselesaikan,
mungkin kita akan mengerti bahwa yang sudah selesai, ya sudah selesai. Namun
jika kita memusatkan perhatian hanya untuk melihat kesalahan pada sesuatu yang
harus diperbaiki, seperti dalam kasus tembok bata di vihara saya, kita tak akan
pernah tahu apa itu kedamaian.
Pekebun
yang bijak akan menikmati lima
belas menit kedamaian di tengah kesempurnaan dari tidak sempurnanya alam, tidak
berpikir, tidak berencana, dan tak merasa bersalah. Kita semua berhak untuk
pergi dan mendapatkan kedamaian; tetapi yang lainnya pantas kehilangan
kedamaian dengan caranya sendiri! Lalu, setelah memperoleh bagian penting dan
vital dari lima
belas menit dalam damai, kita bisa lanjut dengan tugas berkebun kita.
Saat
kita memahami bagaimana menemukan kedamaian di taman kita, kita akan tahu
bagaimana menemukannya kapan saja, di mana saja. Khususnya, kita akan tahu
bagaimana menemukan kedamaian di dalam taman hati kita, sekalipun pada
saat-saat kita berpikir bahwa ada begitu banyak ketidakberesan, begitu banyak yang
harus diselesaikan.
SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN TULISAN
BHIKKHU DHAMMAVUDDHO MAHA THERA
HANYA KITALAH YANG DAPAT
MENOLONG DIRI KITA SENDIRI
Terdapat sebuah Sutta yang
sangat penting (A.N.5.43) dimana Buddha berkata bahwa ada beberapa hal
di dunia yang diinginkan setiap orang namun sulit untuk diperoleh, yakni,
terlahir menawan, memiliki kebahagiaan, berkedudukan, berumur panjang., dan
memiliki kelahiran kembali yang baik setelah meninggal dunia. Buddha berkata
bahwa hal-hal ini tidak dapat diperoleh lewat doa atau sumpah, atau bahkan
dengan cara sering-sering memikirkannya setiap hari - jika saja semuanya dapat
diperoleh dengan cara demikian, mengapa makhluk hidup menderita di hidup ini?
Kita mengetahui adanya makhluk yang tak terukur jumlahnya di alam yang penuh
penderitaan, berteriak meminta pertolongan dengan sia-sia.
Ini adalah titik yang
sangat penting : Jika doa dan sumpah sendiri dapat memberikan kita hal-hal yang
kita inginkan, lalu mengapa terdapat penderitaan di dunia ini? Kita sebutkan
sebelumnya tentang murid yang berusaha mendapatkan sepuluh A tanpa belajar, dan
sebaliknya berdoa dan bersumpah, dan pergi dari satu dewa ke dewa lainnya.
Murid ini tentu saja tidak akan pernah mendapatkan sepuluh A.
Jadi Buddha berkata
bahwa kita harus berjalan di jalur yang membawakan kita hal-hal yang kita
inginkan. Ini berarti apabila kita menginginkan umur panjang, maka kita tidak
seharusnya membunuh. Jika anda tidak membunuh, maka anda bahkan tidak perlu
berdoa karena umur panjang akan datang secara alamiah. Jika anda ingin terlahir
menawan, bersikaplah ramah-tamah, jangan marah. Jika anda menginginkan
kebahagiaan, berilah kebahagiaan, dan anda pantas mendapatkan kebahagiaan.
Tentu saja, cukup alami
bagi kebanyakan orang untuk berdoa ketika mereka sedang menderita, dan
kadang-kadang ketika kita berdoa, doa kita terjawab alasan utama karena kita
memiliki kamma pendukung. Sebagai contohnya, seseorang mungkin sangat
kaya, dan dia tiba-tiba mendapatkan kanker. Dia kemudian pergi berkeliling
dunia untuk mendapatkan dokter ahli spesialis yang terbaik. Tetapi apabila
kammanya tidak sedang mendukung dia, bahkan dokter-dokter terbaik dari Amerika
dan Eropa tidak mampu mengobatinya.
Orang lain mungkin saja
sangat miskin, dan juga mendapatkan kanker, tetapi jika dia sedang didukung
oleh kammanya, dia akan sembuh walaupun dia tidak mempunyai uang untuk pergi ke
tempat spesialis. Seseorang mungkin merekomendasikan dia beberapa daun obat,
atau minum air seninya sendiri! Jadi jalan yang tepat untuk terkabulnya
permintaan kita, dan memiliki hidup yang bahagia adalah dengan melaksanakan kamma
bajik, menghindari kamma tak bajik, dan tanpa perlu bergantungan
pada doa dan sumpah, seluruh akibat dari kamma yang bajik akan matang
dan membawakan kita kebahagiaan.
Jadi Buddha membalas
dengan memberikan satu pertanyaan terlebih dahulu pada kepala desa tersebut.
Beliau berkata andaikan seorang pria datang menuju ke tepi danau yang sangat
dalam, dan memegang sebuah batu besar yang berat di kedua tangannya, dan
kemudian melemparnya ke tengah danau. Sekarang, dikarenakan batunya mulai
tenggelam ke dalam air, semua orang ramai berdatangan dan berteriak pada batu tersebut,
dan memuji batu itu, dan meminta batu tersebut untuk mengapung di permukaan dan
mengapung menuju tepian.
Selanjutnya Buddha bertanya
pada kepala desa tersebut apakah batunya dapat mengapung. Kepala desa tersebut
menjawab bahwa itu tidak mungkin karena batunya berat, secara alamiah akan
tenggelam ke dalam air. Jadi Buddha berkata, dengan cara yang sama,
andaikan seseorang telah melakukan banyak kejahatan, dia telah membunuh,
mencuri, berasusila, berbohong, dan sebagainya. Ketika dia meninggal dunia (dan
kamma buruknya menarik dia ke bawah), orang ramai berdatangan dan meneriaki dia
untuk pergi ke surga; mungkinkah ia dapat pergi ke sana ? Kepala desa tersebut menjawab itu tidak
mungkin karena ia telah banyak melakukan kejahatan, sama kasusnya dengan batu
tersebut, dia akan tenggelam menuju kelahiran kembali yang buruk.
Kemudian Buddha berkata
andaikan seseorang lainnya datang ke tepian danau yang dalam. Dia mengambil
secangkir minyak dan melemparkan secangkir minyak itu ke tengah danau.
Cangkirnya akan tenggelam tetapi minyaknya, karena ringan, akan mengapung di
permukaan. Dikarenakan minyaknya mengapung di permukaan, orang berdatangan dan
meneriaki minyaknya untuk tenggelam ke dalam air. Mungkinkah minyak tersebut
dapat tenggelam? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin karena minyaknya
ringan, dan secara alami akan mengapung. Buddha kemudian berkata, dengan
cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan banyak kebajikan, tidak
pernah melukai makhluk hidup, dan ketika saatnya tiba dia meninggal dunia. Jika
banyak orang berdatangan dan berteriak, dan mengutuknya pergi ke neraka,
mungkinkah ia dapat pergi ke neraka? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin
karena dia adalah orang yang baik. Secara alamiah dia akan pergi ke surga,
diangkat oleh kamma baiknya sendiri.
Dengan menjawab
pertanyaan ini, kepala desa memahami apa yang dimaksudkan Buddha, yakni Buddha
tak dapat menolong kita. Apakah kita mengapung atau tenggelam, adalah
tergantung pada kamma kita. Itulah sebabnya mengapa ajaran Buddhis
berbeda dengan ajaran lainnya, dengan kata lain Buddha tidak berkata
bahwa dengan menjadi seorang Buddhis. anda dijaminkan suatu tempat di surga.
Tidak ada pilih kasih. Apakah anda pergi ke surga atau tempat manapun,
tergantung pada kamma anda sendiri. Kita tidak dapat menyuap surga untuk
membukakan pintu bagi kita - ini adil.
Di Sutra Mahayana Patriarch
ke Enam, seseorang bertanya pada seniornya apakah benar ketika orang-orang
melafal nama Buddha Amitabha, mereka dapat terlahir kembali di tanah
suci Barat. Senior tersebut membalas bahwa Tanah Suci sangat dekat dengan
mereka yang teramat bijaksana tetapi sangat jauh dengan mereka yang dungu. Dia
menambahkan, "Orang dungu melafalkan nama Buddha untuk terlahir di sana , sementara yang
bijaksana mensucikan batinnya sendiri." Dari sini jelaslah bahwa batin
kita (atau hati) sangat penting.
Dalam ajaran Buddha, dunia
adalah ciptaan kesadaran atau pikiran kita. Pikiran yang murni menciptakan
dunia yang bahagia, pikiran yang jahat menciptakan dunia yang menyedihkan. Jadi
menyucikan pikiran adalah yang paling penting untuk kelahiran kembali di alam
yang bahagia, bukan membaca paritta atau berdoa atau bersumpah.
Ini adalah prinsip dasar
lainnya yang penting dari kamma yang harus kita ingat. Tidak ada
seorangpun yang dapat merubah cara kerja hukum kesunyataan dari kamma. Semua
makhluk berhubungan dengan hukum kamma vipaka. Buddha menjelaskan
kebenaran dari keberadaan hukum kesunyataan kepada kita; tetapi
hukum itu berlaku sepanjang masa, terlepas dari apakah kita memahami hukum itu
atau tidak.
--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
Penerjemah :
Yuliana Lie Pannasiri,
MBA
Andromeda Nauli, Ph.D
Penyunting :
Nana Suriya Johnny, SE
Melangkah di Keheningan
Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo
dan ajaran Agama Buddha
Dibalik
Kisah :
Bagaimana Bambang menjadi Uttamo?
Sebuah Pendekatan
Sebelum
acara Sharing Dhamma dimulai muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik
kita untuk bisa tampil seprima dan sebugar Bhante Uttamo yaitu :
"Bhante,
kok bisa bagi waktu ? Selalu kelihatan segar bugar dan prima gitu? Apa
rahasianya Bhante?"
Wah,
kalau saya ceritakan rahasianya, nanti banyak saingan nih. Memang sebetulnya
ada banyak jabatan, banyak kerjaan yang harus dilaksanakan, namun kenapa saya
bisa tetap bugar? Sebenarnya kondisi ini dapat tercapai apabila seseorang tidak
terlalu memaksakan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu sehari
saja. Kenapa demikian? Pemahaman ini saya pelajari dari pada tukang bangunan
yang bekerja di Panti Semedi Balerejo. Apabila diperhatikan, maka pada waktu
tukang bangunan sedang memasang batu bata, ia akan berhenti bekerja tepat pada
pukul 12 siang, la berhenti dan beristirahat walau pemasangan batu bata hanya
tinggal satu batang saja. Setelah makan siang, ia kemudian beristirahat. Tepat
jam 13.00 ia mulai bekerja kembali untuk menyelesaikan tugas yang telah
ditinggalkannya. Dengan melihat pola kerja tukang bangunan itulah saya belajar
tentang kehidupan. Ketika seseorang sedang asyik bekerja, ia hendaknya juga
mengenal istirahat pada waktunya. Kalau hanya memikirkan pekerjaan, maka
tentunya sulit untuk menyelesaikannya. Dengan mampu membagi waktu kerja dan
istirahat itulah maka saya bisa hidup sehat, segar bugar sampai hari ini.
"Jadi,
disiplin dalam mengatur waktu. Begitu ya Bhante?"
Benar
sekali. Dalam Dhamma kemampuan mengatur waktu ini disebut dengan
"kalacari". "Kala" berarti waktu, "cari" adalah
hidup sesuai dengan. Jadi, kalacari adalah kemampuan mempergunakan waktu.
Kemampuan seseorang untuk membagi waktu antara saat ia bekerja dengan saat ia
beristirahat.
"Baik.
Terima kasih Bhante. Itulah resep dari Bhante, Kalacari. Mungkin 'jurus' itu
dapat dipergunakan oleh siapapun juga agar kelak ia sukses menjadi seorang
sarjana.
SHARING DHAMMA
Saudara-saudara,
saya mau meminjam topik yang telah disebutkan tadi yaitu : "Bagaimana Bambang Pratignyo
menjadi Bhante Uttamo? Jawabannya, sebenarnya gampang yaitu karena adanya
kelahiran kembali!
Namun,
ada baiknya perlu saya ceritakan terlebih dahulu riwayat hidup saya. Mungkin
cerita ini lebih cocok untuk diberikan kepada wartawan tabloid gosip daripada
untuk Anda.
Sebenarnya
pada mulanya saya tidak mengenal Agama Buddha sama sekali. Saya malahan Anti
Buddhis. Loh? Apa buktinya? Ketika saya menonton siaran televisi Mimbar Agama
Buddha, saat diucapkan salam penutup "Sadhu, sadhu, sadhu", saya yang
masih belum mengetahui makna kata tersebut memperkirakan ucapannya adalah
'sapu, sapu, sapu'. Namun, memang itulah proses yang harus saya alami untuk
lebih mengenal Dhamma. Pada waktu itu, kehidupan beragama saya diwarnai dengan
persoalan yang menimbulkan tanda tanya besar dalam batin saya. Pertanyaan itu
adalah, apabila dunia dan manusia ini diciptakan, kenapa terdapat orang yang
terlahir sehat, kuat namun juga ada orang yang sakit-sakitan, lemah. Ada orang yang terlahir
tidak lengkap badannya. Kenapa pula ada bayi yang terlahir di tengah keluarga
miskin ataupun kaya? Kenapa ada orang yang berwajah ganteng atau cantik.
Sebaliknya juga ada orang yang berwajar buruk. Kenapa? Kenapa? Pertanyaan
semacam itulah yang selalu muncul dalam batin saya.
Kemudian
saya bertanya kepada banyak fihak. Jawaban yang saya peroleh sangatlah umum
namun nyaris seragam. Mereka mengatakan, 'Hal ini terjadi karena kehendakNya'.
Saya jawab,' Bagaimana kamu tahu kalau hal itu timbul karena kehendakNya? Jika
demikian, kamu pasti si "Nya" itu karena kamu mengetahuinya. Kalau
demikian, tolong sebutkan kehendakNya yang lain.' 'Wah, saya tidak tahu',
jawabnya. "Kalau demikian, bagaimana kamu mengetahui bahwa kondisi ini
karena kehendakNya?" "Ini rahasiaNya", jawabnya di lain
kesempatan. "Kalau kamu mengetahui ini sebagai rahasiaNya, maka paling
tidak ada dua pilihan atas Jawaban tersebut. Pertama, kamu adalah si Nya
sehingga mengetahui rahasiaNya. Kedua, masalah itu sudah bukan rahasia lagi
sehingga dapat kamu ketahui. Kalau demikian, 'rahasia' apalagi yang bisa
diinformasikan kepada saya?"
Akhirnya,
pertanyaan tersebut menjadi tidak terjawab. Jawaban yang diberikan selalu
melingkar-lingkar dan berbelit-belit. Karena rata-rata orang yang dijumpai
terasa sulit menjawabnya, saya semakin penasaran, 'mengapa pertanyaan yang
sedemikian sederhana ini sulit dijawab?'
"Kenapa
saya terlahir di keluarga ini bukan di keluarga itu?" Dijawab,
"Memang begitulah kehendakNya, terima saja apa adanya." Bagi saya
jawaban ini agak sulit diterima.
Selanjutnya
saya berusaha mempelajari banyak agama. Si Bambang itu tadi mulai belajar
melalui buku-buku maupun diskusi. Namun, jawaban yang memuaskan belum pernah
diperolehnya. Bahkan, salah satu jawaban yang paling konyol atas pertanyaan kenapa
manusia berbeda adalah 'agar dunia menjadi lengkap!' Luar biasa anehnya.
Mendengar jawaban yang sangat tidak masuk akal ini, saya kemudian berkata,
"Kalau tujuannya agar dunia menjadi lebih lengkap, kamu sekarang yang
bertangan dua, potonglah salah satunya agar dunia menjadi lebih seimbang
jumlahnya dengan orang yang hanya memiliki sebelah tangan". Mereka dengan
cepat dan tegas menolak permintaan ini. "Kalau demikian, kamu mengatakan
agar dunia menjadi lengkap karena bukan kamu yang mengalami kekurangan, tetapi
orang lain," tegas saya sebagai penutup tanya jawab yang tidak akan
mencerahkan itu.
Sulit!
Sungguh sulit! Dalam penjelajahan berbagai pengertian agama itu, umur saya juga
bertambah terus. Sampai pada waktunya, saya masuk perguruan tinggi, yaitu IKIP
Sanata Dharma. Perguruan Tinggi ini bukan berdasarkan Agama Buddha. Selama
duduk di bangku kuliah, pertanyaan yang mendasar tentang kemanusiaan itu terus
menerus bergema dalam pikiran sendiri tanpa ada jawaban yang memuaskan dari
segala pihak. Saya kemudian mencoba mencari jawaban melalui Agama Buddha.
Pertama
kali saya ke vihara di awal tahun 1980, saya belum mau masuk ke dalam ruangan
vihara. Saya pada waktu itu masih Anti Buddhis. Sebutan 'kelenteng' lebih
sesuai untuk vihara yang saya kunjungi di kota Yogyakarta itu. Saya datang dan duduk di bagian depan
kelenteng, tepat di tangga granit di muka sepasang tiang yang berukiran naga.
Di situlah saya duduk, dekat dengan tempat parkir sepeda motor. Jadi! begitu
turun dari kendaraan, saya bisa langsung duduk di tempat tersebut. Di sana saya berjumpa dengan
seseorang yang juga duduk di tangga utama kelenteng tersebut. la ternyata
seorang pandita atau pemuka Agama Buddha yang tinggal di kelenteng itu. Seperti
biasanya, pertanyaan pertama yang saya ucapkan untuknya adalah: "Kenapa
manusia berbeda-beda?" Pandita Buddhis itu menjawab: "Perbedaan itu
timbul karena setiap orang telah membawa karmanya masing-masing. Mereka yang
terlahir buruk muka karena pada kehidupan yang sebelumnya suka marah. Lihatlah
orang yang sedang marah, ia pasti memburukkan wajah sedemikian rupa agar orang
yang kena marah takut untuk membantah. Sebaliknya, mereka yang terlahir dengan
wajah cantik ataupun ganteng karena pada kehidupan yang lalu ia lebih suka
tersenyum dan memaafkan orang." Mendengar jawaban tentang kehidupan lampau
seperti itu, saya kemudian mengejar dengan berbagai pertanyaan lain untuk
membuktikan kebenaran adanya kehidupan lampau. Saya tidak ingin jawaban tentang
kehidupan lampau hanyalah jawaban pelarian yang lain setaraf dengan
'rahasiaNya'. Kualitas jawaban semacam itu sudah saya tolak sejak lama
Namun,
ternyata jawaban Pandita tersebut mencengangkan saya. Katanya, "kelahiran
lampau sekarang sudah bisa dibuktikan secara ilmiah. Fakta adanya kelahiran
lampau sudah bukan milik umat Buddha saja." la kemudian menceritakan bahwa
baru-baru ini di Eropa itu terdapat satu kelompok psikolog klinis yang ingin
mengetahui melalui hipnosis tentang penyebab seseorang mempunyai tanda-tanda
bawaan ataupun berbagai kebiasaan dan masalah kejiwaan lainnya. Masalah
kejiwaan yang dipelajari penyebabnya, misalnya hidrophobia yaitu orang yang
takut secara berlebihan terhadap air Ada
juga orang yang takut berlebihan terhadap ketinggian dsb. Mereka yang mempunyai
kelainan tersebut setelah dihipnosis atau seperti ditidurkan, diberikan
beberapa pertanyaan awal. Misalnya, mereka di tanya nama, nama orangtua,
alamat, hobby, serta berbagai data pribadi lainnya. Ternyata, seluruh jawaban
orang yang dalam pengaruh hipnosis ini tepat sama dengan isian formulir yang
sudah dilakukan sebelum ia dihipnosis. Pada ahli tersebut juga telah memasang
berbagai peralatan elektronik untuk mengukur denyut nadi, pernafasan, gelombang
otak dsb. Hasil pertanyaan awal dan data biologis ini menunjukkan bahwa pasien
walaupun dalam kondisi seperti tidur akibat pengaruh hipnosis, ia sesungguhnya
sehat dan normal. Pertanyaan awal kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang
lain, kemana ia pergi satu hari yang lalu, dua hari yang lalu, sebulan yang
lalu, setahun yang lalu, sepuluh tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu.
Demikian seterusnya, berbagai kisah dan cerita yang disampaikan pasien itu
direkam dengan baik. Salah satu cerita yang terekam misalnya tentang ingatan
seseorang pada kehidupan sebelumnya sebagai prajurit Jerman. la tertangkap dan
dimasukkan ke dalam sebuah penjara. la mampu menceritakan detail penjara dan
lokasinya, la juga bercerita bahwa dalam penjara ia tinggal bersama dengan
seekor tikus besar. Ketika ia sedang tidur, ujung jari kakinya digigit tikus
besar itu sampai infeksi dan penyakit inilah menjadi penyebab kematiannya.
Dalam kehidupan yang sekarang, ia akhirnya sangat takut dengan tikus. Para ahli tidak hanya berhenti di ruang hipnosis saja,
mereka juga menyelidiki lokasi tempat ia dipenjara dahulu. Setelah dicari,
ternyata tempat itu memang pernah ada, persis sama dengan penggambaran yang
diberikan orang tersebut. Namun, penjara itu sekarang sudah menjadi supermaket
yang sangat terkenal di kota
tersebut.
Ternyata, berbagai kelainan yang dimiliki
pasien sangat berhubungan dengan kehidupan lampau mereka. la yang takut sekali
dengan air, ternyata dalam kondisi hipnosis menceritakan bahwa dalam kehidupan
lampaunya ia pernah meninggal tenggelam. la yang mengaku pernah terlahir di
Afrika, diminta untuk menyanyikan lagu daerah yang dimengerti, ternyata setelah
dicocokan dengan keterangan dari staf kedutaan salah satu negara di Afrika,
memang benar lagu itu pernah dikenal pada jaman dahulu. Padahal, orang yang
dihipnosis sama sekali tidak bisa bahasa yang ia pergunakan untuk menyanyi
ketika dalam pengaruh hipnosis. Jadi, pada intinya, keterangan yang diberikan
oleh pandita itu menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia selalu
ada sebabnya dan bisa dibuktikan. Jawaban yang sangat menarik dan mempengaruhi diri
saya untuk bertekad mengenal, mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang
Buddha.
BERSAMBUNG
TANYA JAWAB DENGAN
BHIKKHU UTTAMO
Dari: Guntur
Kurniawan, Aliso viejo, US
Namo Buddhaya,
Bhante, saya diberi tugas oleh dosen untuk
menerangkan arti dan makna patung "eleven-headed Avalokiteshvara , Tibet ,
19th century".
Saya mohon bantuan dari Bhante.
1. Mengapa
si pembuat patung ini membuat tangan Avalokiteshvara menjadi 1.000 buah?
2. Mengapa
si pembuat patung juga mengolah kepala Avalokiteshvara menjadi 11 buah?
3. Untuk
apakah patung ini dibuat pada masa itu (abad 19-20)?
4. Apakah
makna sebenarnya dari patung ini?
Berikut adalah situs yang memuat gambar patung
tersebut:
http://vww.asianart.com/exhibitions/bowers/6.html
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih
atas bantuannya.
Jawaban:
Sesungguhnya untuk mendapatkan jawaban yang
jelas dan benar seputar makna serta tujuan pembuatan arca Avalokiteshvara
berkepala sebelas, bertangan dan bermata seribu ini seharusnya ditanyakan
kepada para pemuka Agama Buddha dengan tradisi Tibet .
Namun, agar tidak mengecewakan, saya akan
mencoba menguraikan sedikit yang saya ketahui tentang arca yang dibuat sekitar
abad ke 19 Masehi dan sering disebut sebagai
"EkadasamukhaAvalokiteshvara".
Avalokiteshvara atau disebut juga sebagai 'Che
nrezi' oleh orang Tibetan adalah bodhisattva yang penuh cinta kasih.
Bodhisattva ini menjadi tokoh yang sangat penting dalam Agama Buddha aliran
Tibet Secara harafiah, nama ini berarti "Sang Agung yang dengan penuh
welas asih memandang dunia". Bodhisattva ini adalah bodhisattva utama dari
Jina Buddha Amitabha yang memimpin kalpa atau masa sekarang ini. Hubungan Avalokiteshvara
dengan Amitabha yang kesemuanya mempunyai kemampuan untuk menolong umat manusia
yang sedang dalam kesulitan menjadikannya salah satu Bodhisattva yang sangat
terkenal dan dipuja oleh umat Buddha di Tibet. Bagaimanapun juga sebagai
perwujudan cinta kasih dari semua Buddha, Avalokiteshvara juga memiliki peranan
penting dalam Tantric Buddhism.
Meskipun berbusana sebagai pangeran India
dan memakai perlengkapan sebagai seorang Bodhisattva, dalam beberapa kondisi
Avalokiteshvara adalah sebagai Buddha yang telah mencapai kesempurnaan. Sebagai
pujaan pokok dalam bermeditasi di berbagai aliran Tantra, Avalokiteshvara
dianggap sebagai ariya, peran utama dan juga menjadi sumber timbulnya semua
pujaan yang lain. Ada
salah satu penggambaran Bodhisattva Avalokiteshvara yang berwujud agung serta
gagah dengan sebelas muka, seribu mata dan seribu tangan. Bodhisattva ini
dihormati dalam doa di Tibet
yang bila diartikan adalah: "Avalokiteshvara yang suci, yang memiliki
seribu tangan dari seribu raja dunia, seribu mata dari seribu Buddha yang ada
di jaman baik ini. Beliau mampu mewujudkan dirinya sebagai apapun juga agar
sesuai untuk membimbing siapapun yang memerlukannya.
Dalam
pengertian simbolis, kedelapan kepala melambangkan arah mata angin dan ketiga
lainnya diartikan sebagai atas, tengah dan bawah. Ada pula yang mengaitkan bahwa kesepuluh
kepala melambangkan dasabhumi atau sepuluh tingkat pencapaian kesucian.
Sedangkan karena kepala ke sebelas milik Amitabha terletak di atas sepuluh
kepala yang lain maka hal itu melambangkan Avalokiteshvara dianggap telah
mencapai kesucian dan kesempurnaan. Amitabha kemudian berkata kepada
Avalokiteshvara bahwa ia masih mempunyai jalan lain untuk mencapai tujuannya.
Mahakala yang merupakan faktor kemarahan Avalokitesvara dapat dipergunakan
untuk melawan kekuatan negatif dengan cinta kasih dan menghancurkan segala
rintangan yang ada pada Jalan untuk mencapai kebenaran, dengan demikian ia akan
dapat menolong semua makhluk hidup agar mencapai pencerahan. Kepala ke sepuluh
itulah Mahakala.
Sebagai tambahan, Avalokiteshvara kemudian
diberi seribu tangan yang membentuk sebuah mandala di sekitar badannya dan ini melambangkan
kemampuannya untuk menolong semua makhluk. Pada setiap telapak tangan ditandai
dengan sebuah mata yaitu 'mata cinta kasih' untuk melihat penderitaan semua makhluk
hidup.
Dua tangan yang berada di tengah memegang
secara tersembunyi sebutir permata yang dapat memenuhi semua permintaan atau
sering juga diartikan sebagai permata pencerahan. Dengan gemar berbakti kepada
Avalokiteshvara, maka permata ini akan dapat dilihat oleh mereka yang telah
mencapai tujuan akhir seorang umat Buddha.
Satu tangan kanan yang utama memegang sebuah
roda atau cakra untuk menggambarkan Roda Dhamma dan juga diartikan penggabungan
ajaran spiritual dan pengaruh kebajikan.
Tangan kanan lainnya diangkat dan memegang
sebuah tasbih yang dipergunakan untuk membaca mantra utama Avalokiteshvara
yaitu: OM MA NI PAD ME HUM.
Setiap suku kata dalam mantra ini melambangkan
salah satu dari enam alam kelahiran kembali yaitu alam para dewa di surga, alam
asura atau setan raksasa, alam manusia, alam binatang, alam setan kelaparan
atau peta dan berbagai tingkat alam neraka.
Dipercaya bahwa Avalokiteshvara dapat muncul di
salah satu alam tersebut untuk membantu mereka yang membutuhkannya.
Satu tangan kiri memegang busur dan anak panah
yang menggambarkan perpaduan kebijaksanaan dan metoda untuk mencapainya yaitu
dengan meditasi. Busur dan anak panah juga melambangkan persatuan antara
kebijaksanaan dan konsentrasi.
Satu tangan kiri lainnya yang terangkat
memegang sebatang teratai yang mekar sempurna sebagai lambang kesucian atau
pencerahan yang dapat dicapai dengan pengembangan cinta kasih yang universal.
Tangan kanan
sebelah bawah dalam mudra atau posisi memberikan berkah. Sebuah kundika atau
tabling yang berisikan air kehidupan dibawa dengan tangan kiri yang di bawah.
Pembuatan arca ini menurut beberapa sumber
disebutkan sebagai sarana menambah kebajikan untuk dilimpahkan jasanya kepada anggota
keluarga yang telah meninggal dunia. Dengan melakukan pelimpahan jasa, umat
Buddha di Tibet mengharapkan agar anggota keluarganya yang telah meninggal
dapat terlahir di alam yang lebih baik.
Orang Tibet meyakini bahwa
Avalokiteshvara akan dapat melihat semua penderitaan serta mengurangi semua
bentuk kesakitan.
Mereka juga mempercayai bahwa Dalai Lama adalah
perwujudan nyata dari bodhisttva yang memiliki cinta kasih tanpa batas kepada semua
makhluk tersebut.
Demikianlah yang dapat diterangkan di sini.
Semoga jawaban ini dapat memberikan sedikit gambaran tentang "Ekadasamukha
Avalokiteshvara"
Semoga jawaban ini dapat dilengkapi oleh mereka
yang jauh mengetahui tentang Agama Buddha aliran Tibet
Semoga bahagia.
|
JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi : Pk. 07.30 WIB -
09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu : Pk. 09.30
WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu : Pk. 18.30 WIB -
19.30 WIB
Puja Bakti Uposatha : Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
Jam
19.30 WIB - 21.00 WIB
Kitab Suci Agama Buddha bagian
dari
Khuddaka
Nikaya, Sutta Pitaka
Judul
asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H. Saddatissa
2. DHANIYA SUTTA
Dhaniya
Penggembala
7 Dhaniya:
Aku adalah majikan bagi diriku sendiri dan aku menyokong diriku sendiri.
Putra-putraku semuanya sehat. Mengenai mereka, aku tidak mendengar apa pun yang
jahat..................................................................... (24)
8 Sang
Buddha: Aku bukanlah pelayan siapa pun. Dengan tercapainya tujuanku
[Ke-Buddha-an], aku berkelana di dunia; tidak lagi aku perlu melayani. ....................................................................................................... (25)
9 Dhaniya:
Aku memiliki banyak sapi jantan muda dan sapi jantan kecil, juga banyak sapi
betina kecil dan calon induk, serta seekor sapi jantan dewasa yang merupakan
pemimpin kelompok itu. ................................................... (26)
10 Sang
Buddha: Aku tidak memiliki sapi jantan muda atau sapi jantan kecil, tidak juga
sapi betina kecil atau calon induk, atau pun sapi jantan dewasa yang merupakan
pemimpin kelompok itu................................................. (27)
11 Dhaniya:
Pancang telah ditegakkan dengan kokoh. Tali-talinya terbuat dari rumput munja
baru dan dipintal kuat. Bahkan sapi-sapi muda pun tidak dapat mematahkannya...............................................................................
(28)
12 Sang
Buddha: Setelah mematahkan segala belenggu bagaikan seekor banteng, sebagaimana
seekor gajah telah mematahkan tanaman rambat putilata, maka tidak akan ada lagi
kelahiran bagiku. ................................................. (29)
13 (Namun
kemudian tiba-tiba turunlah hujan deras yang membanjiri segala permukaan,
segala tempat dan celah. Ketika mendengar gelegar badai itu, Dhaniya
mengucapkan kata-kata berikut ini................................................. 13)
14 Amat
besar, sungguh besar keuntungan yang kita peroleh karena dapat bertemu dengan
Sang Buddha, Yang Maha Tahu. Kepada Yang Mulia kami datang untuk berlindung, O,
Yang Maha Melihat. Jadilah pelindung kami ! ................ (31)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar