Senin, 26 Agustus 2013

BRIVI JULI 2012


Tegal, 24 Juli 2012                                                                                                  
No : 59, Tahun Keenam

Penasehat                    :    Ketua Yayasan Metta Jaya
Penanggung Jawab     :    Ketua Dayakasabha Metta Vihara Tegal
Pimpinan Redaksi       :    Ibu Tjutisari
Redaksi Pelaksana      :    1.     Ibu Pranoto                 4.     Liliyani                                                
                                                        2.     Suriya Dhammo           5.     Sumedha Amaravathi
                                                        3.     Ade Kristanto
Alamat Redaksi           :    Metta Vihara
                                                        Jl. Udang No. 8 Tegal Telp. (0283) 323570
BCA No Rek : 0479073688  an. YUNINGSIH ASTUTI - TUSITA WIJAYA


DHAMMAPADA ATTAKHATA
Bab I - Syair 9 dan 10
Barangsiapa belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin, yang tidak memiliki pengendalian diri serta tidak mengerti kebenaran, sesungguhnya tidak patut ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri serta mengerti kebe­naran, maka sesungguhnya ia patut mengenakan jubah kuning.
     


Kisah Devadatta
Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha: Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.
Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan maka kain tersebut akan diberikan pada salah satu dari para Thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.
Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.
Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian
menghubungkannya dengan kisah berikut ini.
Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Paccekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat. Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. la bunuh gajah-gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.
Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.
Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak memakai jubah kuning.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:
Barangsiapa belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin, yang tidak memiliki pengendalian diri serta tidak mengerti kebenaran, sesungguhnya tidak patut ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri serta mengerti kebe­naran, maka sesungguhnya ia patut mengenakan jubah kuning.
Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

--- oOo ---



SEKAPUR SIRIH

Brivi edisi ke 59 terbit bersamaan dengan saat umat Buddha menyambut 2600 th Roda Dhamma diputar yaitu hari raya Asadha yang akan jatuh pada bulan Juli 2012.
Pada kesempatan ini Redaksi ingin menyampaikan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara kita umat Islam. Berpuasa termasuk usaha untuk mengendalikan diri dari nafsu dan keserakahan, bukan hanya sekedar menahan dahaga dan lapar, tetapi lebih diutamakan latihan olah batin dengan pengendalian diri yang sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Kisah Devadatta dalam kitab suci Dhammapada Attakhata syair 9 & 10 merupakan kisah pengendalian diri akan membawa manfaat bagi kemajuan batin seseorang yang akan membawa kebahagiaan. Barangsiapa tidak berusaha mengendalikan diri dan hanyut dengan kesenangan duniawi maka batinnya akan merosot dan terperosok ke jurang penderitaan.
Ajahn Brahm dengan Petunjuk Kedamaian Pikiran Untuk Si Bodoh. Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo dan Ajaran Agama Buddha dapat diikuti dalam Melangkah di Keheningan. Hanya kitalah yang dapat menolong diri sendiri diambil dari buku Segenggam Daun Bodhi.
Dengan segala kerendahan hati Redaksi menyadari masih banyak hal yang perlu kami perbaiki, untuk lebih meningkatkan isi dan kualitas agar dapat membawa manfaat bagi kita semua.
Semoga Dhamma menjadi tuntunan kita yang akan membawa kebahagiaan bagi kita semua.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Metta Cittena
Redaksi
--- oOo ---
Ralat Penerimaan Dana

Redaksi minta maaf pada edisi yang lalu laporan penerimaan dana ada kekeliruan, maka pada edisi ini kami ralat. Anumodana dan terima kasih.

Telah kami terima Dana Waisak
1.    Bpk/Ibu Liem Piet Hauw                                 Rp     100.000,-
2.    Bpk/Ibu Gan Sin Gwan                                    Rp       50.000,-
3.    Bpk/Ibu Lie Sem Kim                                      Rp     100.000,-
4.    Sdr. Sovenseti                                                Rp     100.000,-
5.    Bpk/Ibu Tjia Chandra Gunawan                      Rp     500.000,-
6.    Ibu dr. Nandavati Kurnia - Jakarta                  Rp    200.000,-
7.    PT. Gresik Mustika Timur                                Rp     200.000,-
8.    Ibu Djumini Agus Sukamto                             Rp       50.000,-
9.    Bpk/Ibu Budi (Toko Pilar Jaya)                        Rp     100.000,-

Telah kami terima dana untuk Metta Vihara
1.    Kel. Alm. Bapak Tan Tjwan Kiem                     Rp     500.000,-
2.    Bpk/Ibu Liem Peng Liat                                  Rp     100.000,-
3.    Bpk/Ibu Loe Lian Phang                                 Rp     100.000,-
4.    Sdr. Wina Stania Jotya                                   Rp     300.000,-
5.    Sdr. Suryanto Wangsahar Surya - Jakarta       Rp     200.000,-
6.    Sdr. Frans Susanto                                         Rp     300.000,-
7.    Sdr. Sura Jotya Kitti                                        Rp     400.000,-
8.    Kel. W. Adinoto (Tan Tjay Kwan)                    Rp     200.000,-
9.    Sdr. Adang Laksana                                        Rp       20.000,-
10.  dr. Inka Abimayu - Jakarta                              Rp     300.000,-
11.  Adik Kimberly (Kimmy)                                   Rp     500.000,-
12.  Almh. Ibu Tan Kwie Wen                                Rp     500.000,-
13.  Ibu Tjoeng Ye Lie                                           Rp       30.000,-
14.  Kel. Andrianto (So An Sui)                              Dana konsumsi Minggu pagi

Semoga kebajikan yang telah dilakukan berbuah umur panjang, sehat dan bahagia.


















 







































Kesempurnaan dan Kesalahan

Petunjuk Kedamaian Pikiran untuk Si Bodoh


Saya menceritakan kisah sebelumnya kepada sekelompok besar pendengar pada suatu hari Jumat petang di Perth. Pada hari Minggunya, seorang ayah datang marah-marah untuk berbicara kepada saya. Dia telah mengikuti ceramah tersebut dengan anak remajanya. Masalahnya, ketika hari Sabtu siang si anak ingin pergi bersama teman-temannya, si ayah menanyai anaknya, "Kamu sudah bikin PR belum?" Anaknya menjawab, "Seperti yang diajarkan Ajahn Brahm semalam di vihara, Papa, yang sudah selesai, ya sudah selesai! Da... da...."
Pada hari minggu berikutnya, saya menceritakan kisah yang lain.
Kebanyakan orang di Australia mempunyai taman di rumahnya, tetapi hanya segelintir orang yang tahu bagaimana menemukan .kedamaian di taman mereka. Bagi sisanya, taman hanyalah tempat lain untuk bekerja. Jadi saya menganjurkan mereka yang punya taman untuk memelihara keindahan taman dengan berkebun sejenak, dan memelihara hati mereka dengan sejenak duduk dalam damai di tamannya, menikmati berkah alam.
Orang bodoh pertama akan berpikir ini gagasan bagus yang mengasyikkan. Jadi, pertama-tama mereka memutuskan untuk membereskan segala pekerjaan remeh temeh lalu membiarkan diri larut dalam damai di taman mereka. Jadi, hamparan rumput harus dipotong, bunga perlu disirami, dedaunan perlu dipangkas, semak-semak harus dibabat, jalan setapak harus disapu....Tentu saja itu semua menghabiskan seluruh waktu luang mereka, sekalipun untuk merampungkan sebagian kecil pekerjaan remeh-temeh itu. Pekerjaan mereka jadinya tak pernah selesai, dan mereka tak akan pernah memiliki sejenak waktu untuk diam dalam damai. Pernahkah Anda perhatikan bahwa di dalam budaya kita, orang-orang yang "istirahat dalam damai" hanya dapat ditemukan di pekuburan?
Orang bodoh kedua berpikir bahwa diri mereka lebih pintar dari orang bodoh pertama. Mereka menyingkirkan semua garu dan penyiram, lantas duduk di taman sambil membaca majalah, bisa jadi yang berisi gambar pemandangan alam nan aduhai. Tetapi, itu berarti menikmati majalah, bukannya menemukan kedamaian di taman.
Orang bodoh ketiga menyingkirkan semua peralatan berkebun, semua majalah, semua koran dan radio, dan duduk diam dalam damai di tamannya... selama kira-kira 2 detik! Lalu mereka mulai berpikir, "Rumput itu perlu dipotong dan semak-semak di sana harus dibabat segera. Jika saya tidak segera menyiram bunga-bunga itu, mereka akan layu. Dan rasanya tanaman gardenia yang indah akan tampak bagus di sudut itu. Ya! Dengan sedikit hiasan tempat mandi burung di depan situ. Saya bisa membelinya di tempat pembibitan...." Itu sih namanya menikmati berpikir dan berencana. Tak ada kedamaian pikiran di situ.
Pekebun yang bijak akan mempertimbangkan, "Saya telah bekerja cukup lama, sekarang waktunya untuk menikmati buah dari pekerjaan saya, untuk mendengarkan kedamaian. Jadi biarpun rumput perlu dipotong dan dedaunan harus dipangkas dan bla, bla, bla! TIDAK SEKARANG." Dengan cara inilah, kita temukan kebijaksanaan untuk menikmati taman, sekalipun tidak sempurna.
Siapa tahu ada seorang bhikkhu tua Jepang bersembunyi di balik salah satu semak dan siap untuk melompat keluar dan memberitahu kita betapa sempurnanya taman tua kita yang kacau. Sungguh, jika kita memusatkan perhatian kepada pekerjaan yang telah kita selesaikan alih-alih memusatkan pada pekerjaan yang masih harus diselesaikan, mungkin kita akan mengerti bahwa yang sudah selesai, ya sudah selesai. Namun jika kita memusatkan perhatian hanya untuk melihat kesalahan pada sesuatu yang harus diperbaiki, seperti dalam kasus tembok bata di vihara saya, kita tak akan pernah tahu apa itu kedamaian.
Pekebun yang bijak akan menikmati lima belas menit kedamaian di tengah kesempurnaan dari tidak sempurnanya alam, tidak berpikir, tidak berencana, dan tak merasa bersalah. Kita semua berhak untuk pergi dan mendapatkan kedamaian; tetapi yang lainnya pantas kehilangan kedamaian dengan caranya sendiri! Lalu, setelah memperoleh bagian penting dan vital dari lima belas menit dalam damai, kita bisa lanjut dengan tugas berkebun kita.
Saat kita memahami bagaimana menemukan kedamaian di taman kita, kita akan tahu bagaimana menemukannya kapan saja, di mana saja. Khususnya, kita akan tahu bagaimana menemukan kedamaian di dalam taman hati kita, sekalipun pada saat-saat kita berpikir bahwa ada begitu banyak ketidakberesan, begitu banyak yang harus diselesaikan.
SEGENGGAM DAUN BODHI
KUMPULAN TULISAN
BHIKKHU DHAMMAVUDDHO MAHA THERA

HANYA KITALAH YANG DAPAT MENOLONG DIRI KITA SENDIRI

Terdapat sebuah Sutta yang sangat penting (A.N.5.43) dimana Buddha berkata bahwa ada beberapa hal di dunia yang diinginkan setiap orang namun sulit untuk diperoleh, yakni, terlahir menawan, memiliki kebahagiaan, berkedudukan, berumur panjang., dan memiliki kelahiran kembali yang baik setelah meninggal dunia. Buddha berkata bahwa hal-hal ini tidak dapat diperoleh lewat doa atau sumpah, atau bahkan dengan cara sering-sering memikirkannya setiap hari - jika saja semuanya dapat diperoleh dengan cara demikian, mengapa makhluk hidup menderita di hidup ini? Kita mengetahui adanya makhluk yang tak terukur jumlahnya di alam yang penuh penderitaan, berteriak meminta pertolongan dengan sia-sia.
Ini adalah titik yang sangat penting : Jika doa dan sumpah sendiri dapat memberikan kita hal-hal yang kita inginkan, lalu mengapa terdapat penderitaan di dunia ini? Kita sebutkan sebelumnya tentang murid yang berusaha mendapatkan sepuluh A tanpa belajar, dan sebaliknya berdoa dan bersumpah, dan pergi dari satu dewa ke dewa lainnya. Murid ini tentu saja tidak akan pernah mendapatkan sepuluh A.
Jadi Buddha berkata bahwa kita harus berjalan di jalur yang membawakan kita hal-hal yang kita inginkan. Ini berarti apabila kita menginginkan umur panjang, maka kita tidak seharusnya membunuh. Jika anda tidak membunuh, maka anda bahkan tidak perlu berdoa karena umur panjang akan datang secara alamiah. Jika anda ingin terlahir menawan, bersikaplah ramah-tamah, jangan marah. Jika anda menginginkan kebahagiaan, berilah kebahagiaan, dan anda pantas mendapatkan kebahagiaan.
Tentu saja, cukup alami bagi kebanyakan orang untuk berdoa ketika mereka sedang menderita, dan kadang-kadang ketika kita berdoa, doa kita terjawab alasan utama karena kita memiliki kamma pendukung. Sebagai contohnya, seseorang mungkin sangat kaya, dan dia tiba-tiba mendapatkan kanker. Dia kemudian pergi berkeliling dunia untuk mendapatkan dokter ahli spesialis yang terbaik. Tetapi apabila kammanya tidak sedang mendukung dia, bahkan dokter-dokter terbaik dari Amerika dan Eropa tidak mampu mengobatinya.
Orang lain mungkin saja sangat miskin, dan juga mendapatkan kanker, tetapi jika dia sedang didukung oleh kammanya, dia akan sembuh walaupun dia tidak mempunyai uang untuk pergi ke tempat spesialis. Seseorang mungkin merekomendasikan dia beberapa daun obat, atau minum air seninya sendiri! Jadi jalan yang tepat untuk terkabulnya permintaan kita, dan memiliki hidup yang bahagia adalah dengan melaksanakan kamma bajik, menghindari kamma tak bajik, dan tanpa perlu bergantungan pada doa dan sumpah, seluruh akibat dari kamma yang bajik akan matang dan membawakan kita kebahagiaan.
Ada Sutta lainnya yang juga penting (S.N. 42.6) dimana kepala dari suatu desa datang untuk berbicara pada Buddha. Kepala desa tersebut berkata pada Buddha bahwa di sana di sebelah Barat terdapat kumpulan Brahmana yang memiliki tradisi yang aneh. Di samping tradisi memikul air. mandi di air untuk memurnikan diri mereka dan memuja api, ketika sanak keluarga mereka meninggal dunia, mereka segera membawa jasad tubuh keluar dari rumah, dan merentangkan jasad tersebut tinggi-tinggi di udara. Jasad tersebut dihadapkan ke langit, clan mereka meneriaki nama dari orang yang meninggal tersebut, dan menunjukkan dia jalan ke surga. Mereka percaya karena jasad tersebut menghadap langit, yang meninggal dapat melihat langit, dan ketika mereka meneriaki rohnya, secara otomatis, rohnya akan naik ke surga. Lalu kepala desa berkata mungkin Buddha (yang memiliki kekuatan supranormal) dapat membawa setiap orang yang telah meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam surga. Ini adalah pertanyaan yang menarik karena bahkan sampai pada era yang modern ini, orang-orang tertentu masih mempercayai Buddha dapat membantu kita untuk terlahir kembali di alam surga.
Jadi Buddha membalas dengan memberikan satu pertanyaan terlebih dahulu pada kepala desa tersebut. Beliau berkata andaikan seorang pria datang menuju ke tepi danau yang sangat dalam, dan memegang sebuah batu besar yang berat di kedua tangannya, dan kemudian melemparnya ke tengah danau. Sekarang, dikarenakan batunya mulai tenggelam ke dalam air, semua orang ramai berdatangan dan berteriak pada batu tersebut, dan memuji batu itu, dan meminta batu tersebut untuk mengapung di permukaan dan mengapung menuju tepian.
Selanjutnya Buddha bertanya pada kepala desa tersebut apakah batunya dapat mengapung. Kepala desa tersebut menjawab bahwa itu tidak mungkin karena batunya berat, secara alamiah akan tenggelam ke dalam air. Jadi Buddha berkata, dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan banyak kejahatan, dia telah membunuh, mencuri, berasusila, berbohong, dan sebagainya. Ketika dia meninggal dunia (dan kamma buruknya menarik dia ke bawah), orang ramai berdatangan dan meneriaki dia untuk pergi ke surga; mungkinkah ia dapat pergi ke sana? Kepala desa tersebut menjawab itu tidak mungkin karena ia telah banyak melakukan kejahatan, sama kasusnya dengan batu tersebut, dia akan tenggelam menuju kelahiran kembali yang buruk.
Kemudian Buddha berkata andaikan seseorang lainnya datang ke tepian danau yang dalam. Dia mengambil secangkir minyak dan melemparkan secangkir minyak itu ke tengah danau. Cangkirnya akan tenggelam tetapi minyaknya, karena ringan, akan mengapung di permukaan. Dikarenakan minyaknya mengapung di permukaan, orang berdatangan dan meneriaki minyaknya untuk tenggelam ke dalam air. Mungkinkah minyak tersebut dapat tenggelam? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin karena minyaknya ringan, dan secara alami akan mengapung. Buddha kemudian berkata, dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan banyak kebajikan, tidak pernah melukai makhluk hidup, dan ketika saatnya tiba dia meninggal dunia. Jika banyak orang berdatangan dan berteriak, dan mengutuknya pergi ke neraka, mungkinkah ia dapat pergi ke neraka? Kepala desa menjawab itu tidak mungkin karena dia adalah orang yang baik. Secara alamiah dia akan pergi ke surga, diangkat oleh kamma baiknya sendiri.
Dengan menjawab pertanyaan ini, kepala desa memahami apa yang dimaksudkan Buddha, yakni Buddha tak dapat menolong kita. Apakah kita mengapung atau tenggelam, adalah tergantung pada kamma kita. Itulah sebabnya mengapa ajaran Buddhis berbeda dengan ajaran lainnya, dengan kata lain Buddha tidak berkata bahwa dengan menjadi seorang Buddhis. anda dijaminkan suatu tempat di surga. Tidak ada pilih kasih. Apakah anda pergi ke surga atau tempat manapun, tergantung pada kamma anda sendiri. Kita tidak dapat menyuap surga untuk membukakan pintu bagi kita - ini adil.
Di Sutra Mahayana Patriarch ke Enam, seseorang bertanya pada seniornya apakah benar ketika orang-orang melafal nama Buddha Amitabha, mereka dapat terlahir kembali di tanah suci Barat. Senior tersebut membalas bahwa Tanah Suci sangat dekat dengan mereka yang teramat bijaksana tetapi sangat jauh dengan mereka yang dungu. Dia menambahkan, "Orang dungu melafalkan nama Buddha untuk terlahir di sana, sementara yang bijaksana mensucikan batinnya sendiri." Dari sini jelaslah bahwa batin kita (atau hati) sangat penting.
Dalam ajaran Buddha, dunia adalah ciptaan kesadaran atau pikiran kita. Pikiran yang murni menciptakan dunia yang bahagia, pikiran yang jahat menciptakan dunia yang menyedihkan. Jadi menyucikan pikiran adalah yang paling penting untuk kelahiran kembali di alam yang bahagia, bukan membaca paritta atau berdoa atau bersumpah.
Ini adalah prinsip dasar lainnya yang penting dari kamma yang harus kita ingat. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah cara kerja hukum kesunyataan dari kamma. Semua makhluk berhubungan dengan hukum kamma vipaka. Buddha menjelaskan kebenaran dari keberadaan hukum kesunyataan kepada kita; tetapi hukum itu berlaku sepanjang masa, terlepas dari apakah kita memahami hukum itu atau tidak.

--- oOo ---
SEGENGGAM DAUN BODHI
Penerjemah :
Yuliana Lie Pannasiri, MBA
Andromeda Nauli, Ph.D
Penyunting :
Nana Suriya Johnny, SE






Melangkah di Keheningan
Mengenal lebih dekat Bhikkhu Uttamo
dan ajaran Agama Buddha
Dibalik Kisah :
Bagaimana Bambang menjadi Uttamo?
Sebuah Pendekatan

Sebelum acara Sharing Dhamma dimulai muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik kita untuk bisa tampil seprima dan sebugar Bhante Uttamo yaitu :
"Bhante, kok bisa bagi waktu ? Selalu kelihatan segar bugar dan prima gitu? Apa rahasianya Bhante?"
Wah, kalau saya ceritakan rahasianya, nanti banyak saingan nih. Memang sebetulnya ada banyak jabatan, banyak kerjaan yang harus dilaksanakan, namun kenapa saya bisa tetap bugar? Sebenarnya kondisi ini dapat tercapai apabila seseorang tidak terlalu memaksakan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu sehari saja. Kenapa demikian? Pemahaman ini saya pelajari dari pada tukang bangunan yang bekerja di Panti Semedi Balerejo. Apabila diperhatikan, maka pada waktu tukang bangunan sedang memasang batu bata, ia akan berhenti bekerja tepat pada pukul 12 siang, la berhenti dan beristirahat walau pemasangan batu bata hanya tinggal satu batang saja. Setelah makan siang, ia kemudian beristirahat. Tepat jam 13.00 ia mulai bekerja kembali untuk menyelesaikan tugas yang telah ditinggalkannya. Dengan melihat pola kerja tukang bangunan itulah saya belajar tentang kehidupan. Ketika seseorang sedang asyik bekerja, ia hendaknya juga mengenal istirahat pada waktunya. Kalau hanya memikirkan pekerjaan, maka tentunya sulit untuk menyelesaikannya. Dengan mampu membagi waktu kerja dan istirahat itulah maka saya bisa hidup sehat, segar bugar sampai hari ini.
"Jadi, disiplin dalam mengatur waktu. Begitu ya Bhante?"
Benar sekali. Dalam Dhamma kemampuan mengatur waktu ini disebut dengan "kalacari". "Kala" berarti waktu, "cari" adalah hidup sesuai dengan. Jadi, kalacari adalah kemampuan mempergunakan waktu. Kemampuan seseorang untuk membagi waktu antara saat ia bekerja dengan saat ia beristirahat.
"Baik. Terima kasih Bhante. Itulah resep dari Bhante, Kalacari. Mungkin 'jurus' itu dapat dipergunakan oleh siapapun juga agar kelak ia sukses menjadi seorang sarjana.

SHARING DHAMMA
Saudara-saudara, saya mau meminjam topik yang telah disebutkan tadi   yaitu : "Bagaimana Bambang Pratignyo menjadi Bhante Uttamo? Jawabannya, sebenarnya gampang yaitu karena adanya kelahiran kembali!
Namun, ada baiknya perlu saya ceritakan terlebih dahulu riwayat hidup saya. Mungkin cerita ini lebih cocok untuk diberikan kepada wartawan tabloid gosip daripada untuk Anda.
Sebenarnya pada mulanya saya tidak mengenal Agama Buddha sama sekali. Saya malahan Anti Buddhis. Loh? Apa buktinya? Ketika saya menonton siaran televisi Mimbar Agama Buddha, saat diucapkan salam penutup "Sadhu, sadhu, sadhu", saya yang masih belum mengetahui makna kata tersebut memperkirakan ucapannya adalah 'sapu, sapu, sapu'. Namun, memang itulah proses yang harus saya alami untuk lebih mengenal Dhamma. Pada waktu itu, kehidupan beragama saya diwarnai dengan persoalan yang menimbulkan tanda tanya besar dalam batin saya. Pertanyaan itu adalah, apabila dunia dan manusia ini diciptakan, kenapa terdapat orang yang terlahir sehat, kuat namun juga ada orang yang sakit-sakitan, lemah. Ada orang yang terlahir tidak lengkap badannya. Kenapa pula ada bayi yang terlahir di tengah keluarga miskin ataupun kaya? Kenapa ada orang yang berwajah ganteng atau cantik. Sebaliknya juga ada orang yang berwajar buruk. Kenapa? Kenapa? Pertanyaan semacam itulah yang selalu muncul dalam batin saya.
Kemudian saya bertanya kepada banyak fihak. Jawaban yang saya peroleh sangatlah umum namun nyaris seragam. Mereka mengatakan, 'Hal ini terjadi karena kehendakNya'. Saya jawab,' Bagaimana kamu tahu kalau hal itu timbul karena kehendakNya? Jika demikian, kamu pasti si "Nya" itu karena kamu mengetahuinya. Kalau demikian, tolong sebutkan kehendakNya yang lain.' 'Wah, saya tidak tahu', jawabnya. "Kalau demikian, bagaimana kamu mengetahui bahwa kondisi ini karena kehendakNya?" "Ini rahasiaNya", jawabnya di lain kesempatan. "Kalau kamu mengetahui ini sebagai rahasiaNya, maka paling tidak ada dua pilihan atas Jawaban tersebut. Pertama, kamu adalah si Nya sehingga mengetahui rahasiaNya. Kedua, masalah itu sudah bukan rahasia lagi sehingga dapat kamu ketahui. Kalau demikian, 'rahasia' apalagi yang bisa diinformasikan kepada saya?"
Akhirnya, pertanyaan tersebut menjadi tidak terjawab. Jawaban yang diberikan selalu melingkar-lingkar dan berbelit-belit. Karena rata-rata orang yang dijumpai terasa sulit menjawabnya, saya semakin penasaran, 'mengapa pertanyaan yang sedemikian sederhana ini sulit dijawab?'
"Kenapa saya terlahir di keluarga ini bukan di keluarga itu?" Dijawab, "Memang begitulah kehendakNya, terima saja apa adanya." Bagi saya jawaban ini agak sulit diterima.
Selanjutnya saya berusaha mempelajari banyak agama. Si Bambang itu tadi mulai belajar melalui buku-buku maupun diskusi. Namun, jawaban yang memuaskan belum pernah diperolehnya. Bahkan, salah satu jawaban yang paling konyol atas pertanyaan kenapa manusia berbeda adalah 'agar dunia menjadi lengkap!' Luar biasa anehnya. Mendengar jawaban yang sangat tidak masuk akal ini, saya kemudian berkata, "Kalau tujuannya agar dunia menjadi lebih lengkap, kamu sekarang yang bertangan dua, potonglah salah satunya agar dunia menjadi lebih seimbang jumlahnya dengan orang yang hanya memiliki sebelah tangan". Mereka dengan cepat dan tegas menolak permintaan ini. "Kalau demikian, kamu mengatakan agar dunia menjadi lengkap karena bukan kamu yang mengalami kekurangan, tetapi orang lain," tegas saya sebagai penutup tanya jawab yang tidak akan mencerahkan itu.
Sulit! Sungguh sulit! Dalam penjelajahan berbagai pengertian agama itu, umur saya juga bertambah terus. Sampai pada waktunya, saya masuk perguruan tinggi, yaitu IKIP Sanata Dharma. Perguruan Tinggi ini bukan berdasarkan Agama Buddha. Selama duduk di bangku kuliah, pertanyaan yang mendasar tentang kemanusiaan itu terus menerus bergema dalam pikiran sendiri tanpa ada jawaban yang memuaskan dari segala pihak. Saya kemudian mencoba mencari jawaban melalui Agama Buddha.
Pertama kali saya ke vihara di awal tahun 1980, saya belum mau masuk ke dalam ruangan vihara. Saya pada waktu itu masih Anti Buddhis. Sebutan 'kelenteng' lebih sesuai untuk vihara yang saya kunjungi di kota Yogyakarta itu. Saya datang dan duduk di bagian depan kelenteng, tepat di tangga granit di muka sepasang tiang yang berukiran naga. Di situlah saya duduk, dekat dengan tempat parkir sepeda motor. Jadi! begitu turun dari kendaraan, saya bisa langsung duduk di tempat tersebut. Di sana saya berjumpa dengan seseorang yang juga duduk di tangga utama kelenteng tersebut. la ternyata seorang pandita atau pemuka Agama Buddha yang tinggal di kelenteng itu. Seperti biasanya, pertanyaan pertama yang saya ucapkan untuknya adalah: "Kenapa manusia berbeda-beda?" Pandita Buddhis itu menjawab: "Perbedaan itu timbul karena setiap orang telah membawa karmanya masing-masing. Mereka yang terlahir buruk muka karena pada kehidupan yang sebelumnya suka marah. Lihatlah orang yang sedang marah, ia pasti memburukkan wajah sedemikian rupa agar orang yang kena marah takut untuk membantah. Sebaliknya, mereka yang terlahir dengan wajah cantik ataupun ganteng karena pada kehidupan yang lalu ia lebih suka tersenyum dan memaafkan orang." Mendengar jawaban tentang kehidupan lampau seperti itu, saya kemudian mengejar dengan berbagai pertanyaan lain untuk membuktikan kebenaran adanya kehidupan lampau. Saya tidak ingin jawaban tentang kehidupan lampau hanyalah jawaban pelarian yang lain setaraf dengan 'rahasiaNya'. Kualitas jawaban semacam itu sudah saya tolak sejak lama
Namun, ternyata jawaban Pandita tersebut mencengangkan saya. Katanya, "kelahiran lampau sekarang sudah bisa dibuktikan secara ilmiah. Fakta adanya kelahiran lampau sudah bukan milik umat Buddha saja." la kemudian menceritakan bahwa baru-baru ini di Eropa itu terdapat satu kelompok psikolog klinis yang ingin mengetahui melalui hipnosis tentang penyebab seseorang mempunyai tanda-tanda bawaan ataupun berbagai kebiasaan dan masalah kejiwaan lainnya. Masalah kejiwaan yang dipelajari penyebabnya, misalnya hidrophobia yaitu orang yang takut secara berlebihan terhadap air Ada juga orang yang takut berlebihan terhadap ketinggian dsb. Mereka yang mempunyai kelainan tersebut setelah dihipnosis atau seperti ditidurkan, diberikan beberapa pertanyaan awal. Misalnya, mereka di tanya nama, nama orangtua, alamat, hobby, serta berbagai data pribadi lainnya. Ternyata, seluruh jawaban orang yang dalam pengaruh hipnosis ini tepat sama dengan isian formulir yang sudah dilakukan sebelum ia dihipnosis. Pada ahli tersebut juga telah memasang berbagai peralatan elektronik untuk mengukur denyut nadi, pernafasan, gelombang otak dsb. Hasil pertanyaan awal dan data biologis ini menunjukkan bahwa pasien walaupun dalam kondisi seperti tidur akibat pengaruh hipnosis, ia sesungguhnya sehat dan normal. Pertanyaan awal kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang lain, kemana ia pergi satu hari yang lalu, dua hari yang lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, sepuluh tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu. Demikian seterusnya, berbagai kisah dan cerita yang disampaikan pasien itu direkam dengan baik. Salah satu cerita yang terekam misalnya tentang ingatan seseorang pada kehidupan sebelumnya sebagai prajurit Jerman. la tertangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah penjara. la mampu menceritakan detail penjara dan lokasinya, la juga bercerita bahwa dalam penjara ia tinggal bersama dengan seekor tikus besar. Ketika ia sedang tidur, ujung jari kakinya digigit tikus besar itu sampai infeksi dan penyakit inilah menjadi penyebab kematiannya. Dalam kehidupan yang sekarang, ia akhirnya sangat takut dengan tikus. Para ahli tidak hanya berhenti di ruang hipnosis saja, mereka juga menyelidiki lokasi tempat ia dipenjara dahulu. Setelah dicari, ternyata tempat itu memang pernah ada, persis sama dengan penggambaran yang diberikan orang tersebut. Namun, penjara itu sekarang sudah menjadi supermaket yang sangat terkenal di kota tersebut.
Ternyata, berbagai kelainan yang dimiliki pasien sangat berhubungan dengan kehidupan lampau mereka. la yang takut sekali dengan air, ternyata dalam kondisi hipnosis menceritakan bahwa dalam kehidupan lampaunya ia pernah meninggal tenggelam. la yang mengaku pernah terlahir di Afrika, diminta untuk menyanyikan lagu daerah yang dimengerti, ternyata setelah dicocokan dengan keterangan dari staf kedutaan salah satu negara di Afrika, memang benar lagu itu pernah dikenal pada jaman dahulu. Padahal, orang yang dihipnosis sama sekali tidak bisa bahasa yang ia pergunakan untuk menyanyi ketika dalam pengaruh hipnosis. Jadi, pada intinya, keterangan yang diberikan oleh pandita itu menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia selalu ada sebabnya dan bisa dibuktikan. Jawaban yang sangat menarik dan mempengaruhi diri saya untuk bertekad mengenal, mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha.
BERSAMBUNG




TANYA JAWAB DENGAN BHIKKHU UTTAMO

Dari: Guntur Kurniawan, Aliso viejo, US
Namo Buddhaya,
Bhante, saya diberi tugas oleh dosen untuk menerangkan arti dan makna patung "eleven-headed Avalokiteshvara, Tibet, 19th century".
Saya mohon bantuan dari Bhante.
1.    Mengapa si pembuat patung ini membuat tangan Avalokiteshvara menjadi 1.000 buah?
2.    Mengapa si pembuat patung juga mengolah kepala Avalokiteshvara menjadi 11 buah?
3.    Untuk apakah patung ini dibuat pada masa itu (abad 19-20)?
4.    Apakah makna sebenarnya dari patung ini?
Berikut adalah situs yang memuat gambar patung tersebut:
http://vww.asianart.com/exhibitions/bowers/6.html
Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuannya.

Jawaban:
Sesungguhnya untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan benar seputar makna serta tujuan pembuatan arca Avalokiteshvara berkepala sebelas, bertangan dan bermata seribu ini seharusnya ditanyakan kepada para pemuka Agama Buddha dengan tradisi Tibet.
Namun, agar tidak mengecewakan, saya akan mencoba menguraikan sedikit yang saya ketahui tentang arca yang dibuat sekitar abad ke 19 Masehi dan sering disebut sebagai "EkadasamukhaAvalokiteshvara".
Avalokiteshvara atau disebut juga sebagai 'Che nrezi' oleh orang Tibetan adalah bodhisattva yang penuh cinta kasih. Bodhisattva ini menjadi tokoh yang sangat penting dalam Agama Buddha aliran Tibet Secara harafiah, nama ini berarti "Sang Agung yang dengan penuh welas asih memandang dunia". Bodhisattva ini adalah bodhisattva utama dari Jina Buddha Amitabha yang memimpin kalpa atau masa sekarang ini. Hubungan Avalokiteshvara dengan Amitabha yang kesemuanya mempunyai kemampuan untuk menolong umat manusia yang sedang dalam kesulitan menjadikannya salah satu Bodhisattva yang sangat terkenal dan dipuja oleh umat Buddha di Tibet. Bagaimanapun juga sebagai perwujudan cinta kasih dari semua Buddha, Avalokiteshvara juga memiliki peranan penting dalam Tantric Buddhism.
Meskipun berbusana sebagai pangeran India dan memakai perlengkapan sebagai seorang Bodhisattva, dalam beberapa kondisi Avalokiteshvara adalah sebagai Buddha yang telah mencapai kesempurnaan. Sebagai pujaan pokok dalam bermeditasi di berbagai aliran Tantra, Avalokiteshvara dianggap sebagai ariya, peran utama dan juga menjadi sumber timbulnya semua pujaan yang lain. Ada salah satu penggambaran Bodhisattva Avalokiteshvara yang berwujud agung serta gagah dengan sebelas muka, seribu mata dan seribu tangan. Bodhisattva ini dihormati dalam doa di Tibet yang bila diartikan adalah: "Avalokiteshvara yang suci, yang memiliki seribu tangan dari seribu raja dunia, seribu mata dari seribu Buddha yang ada di jaman baik ini. Beliau mampu mewujudkan dirinya sebagai apapun juga agar sesuai untuk membimbing siapapun yang memerlukannya.
Ada beberapa versi legenda yang menerangkan tentang sebelas kepala ini. Namun, kesemuanya itu dapat disimpulkan sebagai berikut: Avalokiteshvara yang penuh cinta kasih masuk ke dalam neraka untuk mengajar mereka yang jahat menjadi baik, membebaskan mereka dari neraka dan memimpin mereka menuju ke Sukhavati yaitu surga Sang Bapa Spiritualnya, Amitabha. Beliau kemudian mengetahui serta mencemaskan bahwa untuk setiap makhluk yang telah diajarkan kebajikan dan dibebaskan dari neraka itu ternyata tempatnya di neraka langsung digantikan oleh makhluk yang lain. Dengan kecemasan, kesedihan serta keputusasannya menyaksikan sedemikian besar kejahatan yang ada di dunia ini serta ketidakmampuannya untuk menolong semua umat manusia, kepala Sang Bodhisattva kemudian terbelah menjadi sepuluh bagian. Amitabha menjadikan setiap bagian dari kepala itu menjadi sebuah kepala yang baru dan kesepuluh kepala itu ditempatkan pada badan Sang Anak Spiritual, Avalokiteshvara. Sembilan kepala mempunyai wajah yang ramah dan digambarkan dalam tiga deretan, kepala yang ke sepuluh digambarkan dengan wajah marah sedangkan kepala yang paling atas adalah kepala milik Amitabha. Semua kepala kecuali milik Amitabha mengenakan mahkota. Namun, apabila ketiga deret kepala itu mengenakan mahkota bunga, maka kepala dengan wajah yang menunjukkan kemarahan tersebut mengenakan mahkota tengkorak.
Dalam pengertian simbolis, kedelapan kepala melambangkan arah mata angin dan ketiga lainnya diartikan sebagai atas, tengah dan bawah. Ada pula yang mengaitkan bahwa kesepuluh kepala melambangkan dasabhumi atau sepuluh tingkat pencapaian kesucian. Sedangkan karena kepala ke sebelas milik Amitabha terletak di atas sepuluh kepala yang lain maka hal itu melambangkan Avalokiteshvara dianggap telah mencapai kesucian dan kesempurnaan. Amitabha kemudian berkata kepada Avalokiteshvara bahwa ia masih mempunyai jalan lain untuk mencapai tujuannya. Mahakala yang merupakan faktor kemarahan Avalokitesvara dapat dipergunakan untuk melawan kekuatan negatif dengan cinta kasih dan menghancurkan segala rintangan yang ada pada Jalan untuk mencapai kebenaran, dengan demikian ia akan dapat menolong semua makhluk hidup agar mencapai pencerahan. Kepala ke sepuluh itulah Mahakala.
Sebagai tambahan, Avalokiteshvara kemudian diberi seribu tangan yang membentuk sebuah mandala di sekitar badannya dan ini melambangkan kemampuannya untuk menolong semua makhluk. Pada setiap telapak tangan ditandai dengan sebuah mata yaitu 'mata cinta kasih' untuk melihat penderitaan semua makhluk hidup.
Dua tangan yang berada di tengah memegang secara tersembunyi sebutir permata yang dapat memenuhi semua permintaan atau sering juga diartikan sebagai permata pencerahan. Dengan gemar berbakti kepada Avalokiteshvara, maka permata ini akan dapat dilihat oleh mereka yang telah mencapai tujuan akhir seorang umat Buddha.
Satu tangan kanan yang utama memegang sebuah roda atau cakra untuk menggambarkan Roda Dhamma dan juga diartikan penggabungan ajaran spiritual dan pengaruh kebajikan.
Tangan kanan lainnya diangkat dan memegang sebuah tasbih yang dipergunakan untuk membaca mantra utama Avalokiteshvara yaitu: OM MA NI PAD ME HUM.
Setiap suku kata dalam mantra ini melambangkan salah satu dari enam alam kelahiran kembali yaitu alam para dewa di surga, alam asura atau setan raksasa, alam manusia, alam binatang, alam setan kelaparan atau peta dan berbagai tingkat alam neraka.
Dipercaya bahwa Avalokiteshvara dapat muncul di salah satu alam tersebut untuk membantu mereka yang membutuhkannya.
Satu tangan kiri memegang busur dan anak panah yang menggambarkan perpaduan kebijaksanaan dan metoda untuk mencapainya yaitu dengan meditasi. Busur dan anak panah juga melambangkan persatuan antara kebijaksanaan dan konsentrasi.
Satu tangan kiri lainnya yang terangkat memegang sebatang teratai yang mekar sempurna sebagai lambang kesucian atau pencerahan yang dapat dicapai dengan pengembangan cinta kasih yang universal.
Tangan kanan sebelah bawah dalam mudra atau posisi memberikan berkah. Sebuah kundika atau tabling yang berisikan air kehidupan dibawa dengan tangan kiri yang di bawah.
Pembuatan arca ini menurut beberapa sumber disebutkan sebagai sarana menambah kebajikan untuk dilimpahkan jasanya kepada anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Dengan melakukan pelimpahan jasa, umat Buddha di Tibet mengharapkan agar anggota keluarganya yang telah meninggal dapat terlahir di alam yang lebih baik.
Orang Tibet meyakini bahwa Avalokiteshvara akan dapat melihat semua penderitaan serta mengurangi semua bentuk kesakitan.
Mereka juga mempercayai bahwa Dalai Lama adalah perwujudan nyata dari bodhisttva yang memiliki cinta kasih tanpa batas kepada semua makhluk tersebut.
Demikianlah yang dapat diterangkan di sini. Semoga jawaban ini dapat memberikan sedikit gambaran tentang "Ekadasamukha Avalokiteshvara"
Semoga jawaban ini dapat dilengkapi oleh mereka yang jauh mengetahui tentang Agama Buddha aliran Tibet
Semoga bahagia.


JADWAL KEGIATAN RUTIN
METTA VIHARA TEGAL
JADWAL PUJA BAKTI
Puja Bakti Umum Minggu Pagi            :   Pk. 07.30 WIB - 09.00 WIB
Puja Bakti Sekolah Minggu                 :   Pk. 09.30 WIB - 11.00 WIB
Puja Bakti Remaja Hari Sabtu              :   Pk. 18.30 WIB - 19.30 WIB
Puja Bakti Uposatha                        :   Setiap tanggal 1, 15, Penanggalan Lunar
                                                      Jam 19.30 WIB - 21.00 WIB
Kitab Suci Agama Buddha bagian dari
Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka
Judul asli : The Sutta-Nipata
Translated from The Pali by H. Saddatissa
2.  DHANIYA SUTTA
Dhaniya Penggembala
7     Dhaniya: Aku adalah majikan bagi diriku sendiri dan aku menyokong diriku sendiri. Putra-putraku semuanya sehat. Mengenai mereka, aku tidak mendengar apa pun yang jahat..................................................................... (24)
8     Sang Buddha: Aku bukanlah pelayan siapa pun. Dengan tercapainya tujuanku [Ke-Buddha-an], aku berkelana di dunia; tidak lagi aku perlu melayani. ....................................................................................................... (25)
9     Dhaniya: Aku memiliki banyak sapi jantan muda dan sapi jantan kecil, juga banyak sapi betina kecil dan calon induk, serta seekor sapi jantan dewasa yang merupakan pemimpin kelompok  itu. ................................................... (26)
10   Sang Buddha: Aku tidak memiliki sapi jantan muda atau sapi jantan kecil, tidak juga sapi betina kecil atau calon induk, atau pun sapi jantan dewasa yang merupakan pemimpin kelompok       itu................................................. (27)
11   Dhaniya: Pancang telah ditegakkan dengan kokoh. Tali-talinya terbuat dari rumput munja baru dan dipintal kuat. Bahkan sapi-sapi muda pun tidak dapat mematahkannya............................................................................... (28)
12   Sang Buddha: Setelah mematahkan segala belenggu bagaikan seekor banteng, sebagaimana seekor gajah telah mematahkan tanaman rambat putilata, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. ................................................. (29)
13   (Namun kemudian tiba-tiba turunlah hujan deras yang membanjiri segala permukaan, segala tempat dan celah. Ketika mendengar gelegar badai itu, Dhaniya mengucapkan kata-kata berikut ini................................................. 13)

14   Amat besar, sungguh besar keuntungan yang kita peroleh karena dapat bertemu dengan Sang Buddha, Yang Maha Tahu. Kepada Yang Mulia kami datang untuk berlindung, O, Yang Maha Melihat. Jadilah pelindung kami ! ................ (31)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar